• MINIKINO.ORG
  • FILM WEEK
  • INDONESIA RAJA
  • BEGADANG
Minikino
  • Home
  • SHORT FILMS
    Still Film of Eclipse (2016) directed by Jerrold Chong (dok: istimewa)

    Eye of the Sun: Symbolizing The Star and Its Absence

    Still Film Saya di Sini Kau di Sana  directed by Taufiqurrahman Kifu (dok: Sinekoci)

    Membicarakan Bencana yang Bukan Mengundang Bencana

    Lika Liku Laki Karya Khozy Rizal di MMSD Januari 2023: Let The Masculinities Burn di MASH Denpasar (20/01/2023) (dok: Rayhan/Minikino)

    Ketika Program Film Pendek Jadi Cerminan Masyarakat (Yang Maskulin)

    Still Film of Eyes and Horns (2021) directed by Chaerin Im (dok: istimewa)

    Eyes And Horns: A Sensual Adventure In Perception

    Still Film of Apostrophe (2018) directed by Paopoom Chiwarak (dok: istimewa)

    Narrating our memory: Understanding The Past Through Short Film

    Still Film of Amelis (2016) directed by Dery Prananda (dok: istimewa)

    Fine Line Between Tragedy and Comedy

    Still film of Annah the Javanese (2020) directed by Fatimah Tobing Rony (dok: istimewa)

    Annah the Javanese, An Animated Ode to Untold Stories

    Still film of The Sound of the Time (2021) directed by Jeissy Trompiz (dok: istimewa)

    Kuasa, Suara, dan Nestapa

    Still Film of Chicken Awaken (Nol Derajat Film) (dok: istimewa)

    Begadang boleh saja, asal ada batasnya

  • NOTES
  • INTERVIEWS
  • INTERNATIONAL
  • OPINION
  • CONTACT
No Result
View All Result
Minikino Articles
  • Home
  • SHORT FILMS
    Still Film of Eclipse (2016) directed by Jerrold Chong (dok: istimewa)

    Eye of the Sun: Symbolizing The Star and Its Absence

    Still Film Saya di Sini Kau di Sana  directed by Taufiqurrahman Kifu (dok: Sinekoci)

    Membicarakan Bencana yang Bukan Mengundang Bencana

    Lika Liku Laki Karya Khozy Rizal di MMSD Januari 2023: Let The Masculinities Burn di MASH Denpasar (20/01/2023) (dok: Rayhan/Minikino)

    Ketika Program Film Pendek Jadi Cerminan Masyarakat (Yang Maskulin)

    Still Film of Eyes and Horns (2021) directed by Chaerin Im (dok: istimewa)

    Eyes And Horns: A Sensual Adventure In Perception

    Still Film of Apostrophe (2018) directed by Paopoom Chiwarak (dok: istimewa)

    Narrating our memory: Understanding The Past Through Short Film

    Still Film of Amelis (2016) directed by Dery Prananda (dok: istimewa)

    Fine Line Between Tragedy and Comedy

    Still film of Annah the Javanese (2020) directed by Fatimah Tobing Rony (dok: istimewa)

    Annah the Javanese, An Animated Ode to Untold Stories

    Still film of The Sound of the Time (2021) directed by Jeissy Trompiz (dok: istimewa)

    Kuasa, Suara, dan Nestapa

    Still Film of Chicken Awaken (Nol Derajat Film) (dok: istimewa)

    Begadang boleh saja, asal ada batasnya

  • NOTES
  • INTERVIEWS
  • INTERNATIONAL
  • OPINION
  • CONTACT
No Result
View All Result
Minikino
No Result
View All Result
Home SHORT FILMS

Ulasan Program Film Pendek ‘Focus on Bani Nasution’

Fransiska Prihadi by Fransiska Prihadi
January 19, 2017
in SHORT FILMS
Reading Time: 3 mins read

Empat film pendek fiksi dan satu film pendek dokumenter karya Bani Nasution diputar di Little Talk’s Ubud hari Minggu 15 Januari 2017. Kelima film pendek ini diputar dengan urutan kronologis tahun produksinya. Program film malam tersebut seolah menjadi perjalanan lintas waktu perkembangan Bani Nasution sebagai pembuat film. Pengalaman malam itu, para penonton menjadi juru cicip seorang calon koki yang selalu mencoba resep baru di tiap masakannya.

Film ke-1 ‘Ealah’ (2011) sebetulnya bisa menjadi sebuah cerita menarik, mengangkat ide bahwa bunuh diri hanya akan membuat susah orang-orang di sekitar. Sayangnya gaya bercerita maupun dialognya terasa sangat kental dipengaruhi gaya sinetron tv. Banyak dialog yang tidak perlu, seolah-olah khawatir penontonnya gagal paham.

Monolog seperti “Ah, ada sms, dari siapa?”, diucapkan padahal sudah jelas memang ada bunyi sms masuk dan karakternya memegang hp. Di adegan lain ada lagi yang terucap “Sepedaku rusak”, padahal jelas terlihat bahwa sepeda si karakter memang sedang rusak. Dialog-dialog seperti ini biasanya muncul dalam produksi film sinetron. Dalam konteks penulisan sebuah sinetron televisi, detail dialog seperti ini memang dibuat untuk para penonton televisi yang menonton sambil mengerjakan pekerjaan rumah tangga lainnya. Agar sebuah pesan tersampaikan kepada penonton yang kurang fokus, sebuah adegan dipertegas kembali dalam dialog.

Di film kedua ‘Jago Tarung’ (2012), Bani menampilkan lokasi di perkampungan dan para penjudi kampung. Ada 4 karakter utama, seorang bandar, seorang penjudi ‘profesional’ yang digambarkan sukses, melebihi karakter seseorang yang putus sekolah yang terobsesi kerja kantoran, ditambah 1 lagi, seorang bapak pemalas yang ingin mencari uang cepat. Karakter yang kompleks namun dengan jalinan cerita yang lemah. Banyak dialog dan ekspresi para pemain di film ini terkesan teatrikal, dilebih-lebihkan, namun sayangnya artistik dan tata kameranya kurang berhasil mendukung suasana yang terbangun, sehingga dalam banyak adegan, masih terasa belum maksimal. Beberapa permasalahan yang sama seperti film pertama di atas juga masih terjadi.

Film ketiga ‘Bumbu-bumbu Rayu’ (2013) sebetulnya dibuka dengan cukup menjanjikan. Menampilkan narasi voice-over dan visual yang menarik. Namun lagi-lagi pupus karena ceritanya terasa belum dikembangkan secara mendalam. Agak sulit untuk diterima kenapa bapak cina Indonesia yang suka makan soto jeroan ini ngotot tetap makan diet yang berbahaya untuk kesehatannya, padahal dia begitu takut mati.

Dalam diskusi seusai pemutaran, Bani bercerita bahwa film ketiga ini merupakan hasil dari program khusus pertukaran naskah 6 script-6 filmmaker Jogja NETPAC Asian Film Festival 2013. Pada program ini ia berbarter naskah dengan Jason Iskandar, yang waktu itu menyutradarai naskah karya Bani, ‘Seserahan’, sementara Bani kemudian menyutradarai ‘Bumbu-Bumbu Rayu’ yang ditulis Jason.

Dalam film ketiga ini, pemilihan pemeran juga terasa gagal. Mengangkat karakter sosok cina indonesia, satu-satunya petunjuk jejak etnis yang ingin memberikan gambaran latar belakang karakter utama hanya muncul dalam bentuk dekorasi gambar Budha dan dupa, dan hanya itu. Banyak lubang dalam cerita yang terasa belum selesai dipikirkan tapi sudah terburu-buru diproduksi.

Film keempat ‘Panduan Wisata’ (2014) menampilkan adegan pembuka yang kemudian diulang-ulang sampai hambar. Bani sebagai sutradara kelihatannya punya potensi menyajikan dua menit pertama yang memikat. Keempat filmnya pertama ini juga memiliki masalah terutama pada kualitas audio.

Film kelima ‘Sepanjang Jalan Satu Arah’ (2016) ialah film pendek dokumenter. Satu-satunya film pendek pada program ini yang memiliki struktur bercerita yang jelas dengan kualitas teknis produksi yang paling baik dari antara keseluruhan yang ditampilkan. Ini juga adalah karya dokumenter Bani yang pertama. Bani menempatkan dirinya sebagai sutradara sekaligus subjek bersama dengan ibunya. Ketika politik, agama, dan keluarga bertemu, perlu sebuah keberanian untuk menarik garis batas yang jelas. Semua adegan tampil dengan kamera yang terasa dekat dan intim dengan subjeknya. Dan inilah menjadi kesuksesan Bani membawa topik ini ke sebuah bentuk film dokumenter pendek.

Dari diskusi setelah pemutaran, Bani bercerita bahwa ibu dan keluarga besarnya bereaksi positif ke film ini karena melihatnya dari sudut bahwa ‘dakwah memang berasal dari keluarga’. Sementara dalam forum diskusi yang lain, film ini menjadi sebuah cermin penduduk Indonesia dan fanatisme agama. Dari kelima film yang ditampilkan dalam program ini, hanya film terakhir ini yang berhasil menampilkan kekuatan film pendek sebagai sebuah bentuk literatur multi-tafsir yang memicu diskusi dan pemikiran kritis penontonnya.

Dengan pengambilan lokasi gambar serta inspirasi cerita seluruhnya di Surakarta, penonton dapat menikmati kampung, gang-gang di Surakarta dan cerita serta harapan masyarakat penghuninya.

Eksplorasi Bani terhadap berbagai permasalahan aktual di lingkungan sekitarnya dapat dinikmati sebagai pembuat film yang sedang berproses, mengembangkan diri lewat karyanya. Bila karya selanjutnya tetap dikembangkan dengan kepercayaan diri seperti ini, sekaligus terus menantang diri sendiri untuk keluar dari zona nyaman. Misalnya seperti yang muncul di film ke-4 dan ke-5, maka saya yakin kita semua bisa berharap untuk menonton lebih banyak lagi film karya Bani Nasution. Yang pasti, saya menantikan film dokumenter panjang Bani yang akan diluncurkan tahun 2017 ini, ‘Setyowati The Invisible Wife’.

Ulasan Program Film ‘Focus on Bani Nasution’ ditulis oleh Fransiska Prihadi, Januari 2017
Programmer: Bani Nasution
Durasi 56 menit
ditonton di Little Talk’s, Ubud hari Minggu, 15 Januari 2017 pukul 19.15
Moderator Diskusi: Ayu Diah Cempaka

Tags: 2017artikelbaninasutioncika
ShareTweetPin
Previous Post

Cerita tentang Rahasia: Yang Tidak Dibicarakan Ketika Membicarakan Tubuh

Next Post

Ulasan Pemutaran S-Express 2016 Myanmar di Irama Indah, Denpasar

Fransiska Prihadi

Fransiska Prihadi

FRANSISKA PRIHADI is an architect, co-founder of art-house cinema MASH Denpasar in Bali. She is Program Director of Minikino. She served as guest programmer & jury for various national and international short film festivals, with experience as facilitator and mentor for filmmaking and film festival writing workshops. She completed her thesis based on a research about Festival and Destination Qualities Influence on Tourist Satisfaction and Revisit Intention: a Case Study of Minikino Film Week in Bali (2021). Her present research interest revolving around the sustainability of artistical, social, economical and environmental value of short film festivals, inclusive cinema, and children education through films.

Related Posts

Still Film of Eclipse (2016) directed by Jerrold Chong (dok: istimewa)

Eye of the Sun: Symbolizing The Star and Its Absence

May 2, 2023
Still Film Saya di Sini Kau di Sana  directed by Taufiqurrahman Kifu (dok: Sinekoci)

Membicarakan Bencana yang Bukan Mengundang Bencana

March 29, 2023
Lika Liku Laki Karya Khozy Rizal di MMSD Januari 2023: Let The Masculinities Burn di MASH Denpasar (20/01/2023) (dok: Rayhan/Minikino)

Ketika Program Film Pendek Jadi Cerminan Masyarakat (Yang Maskulin)

February 22, 2023
Still Film of Eyes and Horns (2021) directed by Chaerin Im (dok: istimewa)

Eyes And Horns: A Sensual Adventure In Perception

October 18, 2022
Still Film of Apostrophe (2018) directed by Paopoom Chiwarak (dok: istimewa)

Narrating our memory: Understanding The Past Through Short Film

October 2, 2022
Still Film of Amelis (2016) directed by Dery Prananda (dok: istimewa)

Fine Line Between Tragedy and Comedy

October 1, 2022

Discussion about this post

Kirim Tulisan

Siapapun boleh ikutan meramaikan halaman artikel di minikino.org.

Silahkan kirim artikel anda ke info@minikino.org. Isinya bebas, mau berbagi, curhat, kritik, saran, asalkan masih dalam lingkup kegiatan-kegiatan yang dilakukan Minikino, film pendek dan budaya sinema, baik khusus atau secara umum. Agar halaman ini bisa menjadi catatan bersama untuk kerja yang lebih baik lagi ke depan.

Minikino Head Loop Mask Minikino Head Loop Mask Minikino Head Loop Mask
  • Trending
  • Comments
  • Latest
Still Film of Eclipse (2016) directed by Jerrold Chong (dok: istimewa)

Eye of the Sun: Symbolizing The Star and Its Absence

May 2, 2023

Omnibus 15, Kearifan Lokal Melalui Karya Film Pendek

April 6, 2017
Lika Liku Laki Karya Khozy Rizal di MMSD Januari 2023: Let The Masculinities Burn di MASH Denpasar (20/01/2023) (dok: Rayhan/Minikino)

Ketika Program Film Pendek Jadi Cerminan Masyarakat (Yang Maskulin)

February 22, 2023
Webinar dari Objectifs "How to Make The Most Of Film Festivals". -  Dok: Objectifs

Formula Jitu Agar Film Pendekmu Masuk ke Banyak Festival Film!

August 13, 2021
Film stills of Troubled Waters (2021) directed by Emmanuel Hyunh

L’eau à la bouche: From the Perspective of a Pedophile

August 30, 2022
Still Film of Eclipse (2016) directed by Jerrold Chong (dok: istimewa)

Eye of the Sun: Symbolizing The Star and Its Absence

May 2, 2023
Still Film Saya di Sini Kau di Sana  directed by Taufiqurrahman Kifu (dok: Sinekoci)

Membicarakan Bencana yang Bukan Mengundang Bencana

March 29, 2023
Cika dari Minikino membuka acara Belajar Bahasa Isyarat (dok: Nicho/Minikino)

Belajar Bahasa Isyarat, Membangun Budaya Inklusif

March 27, 2023
Lisabona Rahman Mempresentasikan Proses Digitisasi Dr. Samsi (1952)  (dok: Nicho/Minikino)

Wawancara Bersama Lisabona Rahman

March 20, 2023
Lika Liku Laki Karya Khozy Rizal di MMSD Januari 2023: Let The Masculinities Burn di MASH Denpasar (20/01/2023) (dok: Rayhan/Minikino)

Ketika Program Film Pendek Jadi Cerminan Masyarakat (Yang Maskulin)

February 22, 2023

ABOUT US

Minikino is an Indonesia’s short film festival organization with an international networking. We works throughout the year, arranging and organizing various forms of short film festivals and its supporting activities with their own sub-focus.

Follow us

LATEST ARTICLES

  • Eye of the Sun: Symbolizing The Star and Its Absence
  • Membicarakan Bencana yang Bukan Mengundang Bencana
  • Belajar Bahasa Isyarat, Membangun Budaya Inklusif
  • Wawancara Bersama Lisabona Rahman

CATEGORIES

  • Articles
  • INTERVIEWS
  • NOTES
  • OPINION
  • PODCAST
  • SHORT FILMS
  • VIDEO

Minikino Film Week 8

  • MINIKINO.ORG
  • FILM WEEK
  • INDONESIA RAJA
  • BEGADANG

© 2021 Minikino | Yayasan Kino Media

No Result
View All Result
  • Home
  • SHORT FILMS
  • NOTES
  • INTERVIEWS
  • INTERNATIONAL
  • OPINION
  • CONTACT

© 2021 Minikino | Yayasan Kino Media

-
00:00
00:00

Queue

Update Required Flash plugin
-
00:00
00:00