Empat film pendek fiksi dan satu film pendek dokumenter karya Bani Nasution diputar di Little Talk’s Ubud hari Minggu 15 Januari 2017. Kelima film pendek ini diputar dengan urutan kronologis tahun produksinya. Program film malam tersebut seolah menjadi perjalanan lintas waktu perkembangan Bani Nasution sebagai pembuat film. Pengalaman malam itu, para penonton menjadi juru cicip seorang calon koki yang selalu mencoba resep baru di tiap masakannya.
Film ke-1 ‘Ealah’ (2011) sebetulnya bisa menjadi sebuah cerita menarik, mengangkat ide bahwa bunuh diri hanya akan membuat susah orang-orang di sekitar. Sayangnya gaya bercerita maupun dialognya terasa sangat kental dipengaruhi gaya sinetron tv. Banyak dialog yang tidak perlu, seolah-olah khawatir penontonnya gagal paham.
Monolog seperti “Ah, ada sms, dari siapa?”, diucapkan padahal sudah jelas memang ada bunyi sms masuk dan karakternya memegang hp. Di adegan lain ada lagi yang terucap “Sepedaku rusak”, padahal jelas terlihat bahwa sepeda si karakter memang sedang rusak. Dialog-dialog seperti ini biasanya muncul dalam produksi film sinetron. Dalam konteks penulisan sebuah sinetron televisi, detail dialog seperti ini memang dibuat untuk para penonton televisi yang menonton sambil mengerjakan pekerjaan rumah tangga lainnya. Agar sebuah pesan tersampaikan kepada penonton yang kurang fokus, sebuah adegan dipertegas kembali dalam dialog.
Di film kedua ‘Jago Tarung’ (2012), Bani menampilkan lokasi di perkampungan dan para penjudi kampung. Ada 4 karakter utama, seorang bandar, seorang penjudi ‘profesional’ yang digambarkan sukses, melebihi karakter seseorang yang putus sekolah yang terobsesi kerja kantoran, ditambah 1 lagi, seorang bapak pemalas yang ingin mencari uang cepat. Karakter yang kompleks namun dengan jalinan cerita yang lemah. Banyak dialog dan ekspresi para pemain di film ini terkesan teatrikal, dilebih-lebihkan, namun sayangnya artistik dan tata kameranya kurang berhasil mendukung suasana yang terbangun, sehingga dalam banyak adegan, masih terasa belum maksimal. Beberapa permasalahan yang sama seperti film pertama di atas juga masih terjadi.
Film ketiga ‘Bumbu-bumbu Rayu’ (2013) sebetulnya dibuka dengan cukup menjanjikan. Menampilkan narasi voice-over dan visual yang menarik. Namun lagi-lagi pupus karena ceritanya terasa belum dikembangkan secara mendalam. Agak sulit untuk diterima kenapa bapak cina Indonesia yang suka makan soto jeroan ini ngotot tetap makan diet yang berbahaya untuk kesehatannya, padahal dia begitu takut mati.
Dalam diskusi seusai pemutaran, Bani bercerita bahwa film ketiga ini merupakan hasil dari program khusus pertukaran naskah 6 script-6 filmmaker Jogja NETPAC Asian Film Festival 2013. Pada program ini ia berbarter naskah dengan Jason Iskandar, yang waktu itu menyutradarai naskah karya Bani, ‘Seserahan’, sementara Bani kemudian menyutradarai ‘Bumbu-Bumbu Rayu’ yang ditulis Jason.
Dalam film ketiga ini, pemilihan pemeran juga terasa gagal. Mengangkat karakter sosok cina indonesia, satu-satunya petunjuk jejak etnis yang ingin memberikan gambaran latar belakang karakter utama hanya muncul dalam bentuk dekorasi gambar Budha dan dupa, dan hanya itu. Banyak lubang dalam cerita yang terasa belum selesai dipikirkan tapi sudah terburu-buru diproduksi.
Film keempat ‘Panduan Wisata’ (2014) menampilkan adegan pembuka yang kemudian diulang-ulang sampai hambar. Bani sebagai sutradara kelihatannya punya potensi menyajikan dua menit pertama yang memikat. Keempat filmnya pertama ini juga memiliki masalah terutama pada kualitas audio.
Film kelima ‘Sepanjang Jalan Satu Arah’ (2016) ialah film pendek dokumenter. Satu-satunya film pendek pada program ini yang memiliki struktur bercerita yang jelas dengan kualitas teknis produksi yang paling baik dari antara keseluruhan yang ditampilkan. Ini juga adalah karya dokumenter Bani yang pertama. Bani menempatkan dirinya sebagai sutradara sekaligus subjek bersama dengan ibunya. Ketika politik, agama, dan keluarga bertemu, perlu sebuah keberanian untuk menarik garis batas yang jelas. Semua adegan tampil dengan kamera yang terasa dekat dan intim dengan subjeknya. Dan inilah menjadi kesuksesan Bani membawa topik ini ke sebuah bentuk film dokumenter pendek.
Dari diskusi setelah pemutaran, Bani bercerita bahwa ibu dan keluarga besarnya bereaksi positif ke film ini karena melihatnya dari sudut bahwa ‘dakwah memang berasal dari keluarga’. Sementara dalam forum diskusi yang lain, film ini menjadi sebuah cermin penduduk Indonesia dan fanatisme agama. Dari kelima film yang ditampilkan dalam program ini, hanya film terakhir ini yang berhasil menampilkan kekuatan film pendek sebagai sebuah bentuk literatur multi-tafsir yang memicu diskusi dan pemikiran kritis penontonnya.
Dengan pengambilan lokasi gambar serta inspirasi cerita seluruhnya di Surakarta, penonton dapat menikmati kampung, gang-gang di Surakarta dan cerita serta harapan masyarakat penghuninya.
Eksplorasi Bani terhadap berbagai permasalahan aktual di lingkungan sekitarnya dapat dinikmati sebagai pembuat film yang sedang berproses, mengembangkan diri lewat karyanya. Bila karya selanjutnya tetap dikembangkan dengan kepercayaan diri seperti ini, sekaligus terus menantang diri sendiri untuk keluar dari zona nyaman. Misalnya seperti yang muncul di film ke-4 dan ke-5, maka saya yakin kita semua bisa berharap untuk menonton lebih banyak lagi film karya Bani Nasution. Yang pasti, saya menantikan film dokumenter panjang Bani yang akan diluncurkan tahun 2017 ini, ‘Setyowati The Invisible Wife’.
Ulasan Program Film ‘Focus on Bani Nasution’ ditulis oleh Fransiska Prihadi, Januari 2017
Programmer: Bani Nasution
Durasi 56 menit
ditonton di Little Talk’s, Ubud hari Minggu, 15 Januari 2017 pukul 19.15
Moderator Diskusi: Ayu Diah Cempaka
Discussion about this post