Pilihan terbaik dari Tim Programmer diputar pada hari terakhir rangkaian festival film pendek Internasional the 2nd Minikino Film Week 2016. Acara penutup ini diselenggarakan pada hari Sabtu,15 Oktober 2016,di Minihall Irama Indah, tepat dimulai jam 14.00. Fransiska Prihadi sebagai direktur program menegaskan bahwa film-film yang tersusun dalam program ini adalah film yang dianggap terbaik dari seluruh pendaftaran film yang masuk tahun 2016.Artinya, inilah 7 film pilihan dari 6557 submission dari seluruh dunia. Tentu saja ini adalah pilihan yang sangat istimewa, namun sayangnya acara pemutaran tidak terlalu banyak dihadiri penonton lokal, kemungkinan karena mayoritas masyarakat yang beragama Hindu Bali harus melakukan persembahyangan Purnama Kapat. Selain itu jam acara yang terlalu siang juga menjadi halangan bagi beberapa orang yang masih bekerja setengah hari. Kira-kira 40 orang hadir dalam ruang pemutaran.
Program ini diawali sebuah film dari Turki yang berjudul “Hursit” karya sutradara Selcen Yilmazoglu. Mengisahkan seorang anak bernama Hursit yang tinggal di Capadoccia, sebuah daerah di Turki yang berbatas langsung dengan Syria. Hursit hidup dalam keluarga yang religius dan dia disekolahkan di sebuah sekolah Islam untuk belajar tentang agama. Dalam kesehariannya Hursit sering diminta mengurus kakaknya yang difabel sambil bermain dengan teman-temannya, dan nampaknya tidak semuanya memiliki agama yang sama. Hursit bertemu tetangganya Leylo, seorang anak perempuan dari Syria. Percakapan antara keduanya memperlihatkan bahwa walaupun mereka ‘bertetangga’ namun mereka sulit untuk berada dalam sebuah kesepakatan. Hursit dan Leylo juga memperlihatkan bahwa anak-anak di daerah konflik sebetulnya tidak pernah terlahir dengan rasa benci terhadap suku, agama dan ras lain, namun rasa benci ini dibentuk oleh konflik perbedaan yang ditanamkan oleh orang dewasa.
Dari segi pembuatan film, menyutradarai aktor anak-anak memiliki tantangan yang cukup tinggi, karena aktor anak-anak tentunya memiliki keterbatasannya dalam berakting nonstop untuk mencapai kesempurnaan. Pastinya proses penyutradaraan ini perlu melakukan proses casting (pemilihan aktor) yang sangat ketat. Casting dalam film Hursit terbukti berhasil, karena mendapatkan aktor anak-anak yang dapat mengendalikan bahasa tubuhnya dengan baik dan terlihat fokus pada persona karakternya.
Film ke-2 terpilih dari Indonesia berjudul “A Silent Night” karya Yopi Kurniawan. Film ini menceritakan seorang perempuan yang datang ke pengakuan dosa, namun malah membuat pastur yang mendengarkan menjadi teringat akan dosa-dosanya sendiri. Namun diakhir cerita, ternyata perempuan yang mengaku dosa tidak pernah hadir di gereja tersebut menurut pengakuan penjaga.Cerita semi misteri ini pasti menjadi pilihan orang Indonesia yang amat menggemari film-film jenis ini.
Film pendek ini termasuk panjang, dengan durasi 23 menit, namun scriptwriting-nya terutama dari segi dialog dikemas dengan menarik sehingga padat dan menghibur.Mungkin film ini juga berusaha memberi pernyatan bahwa toleransi antar umat beragama itu amat penting, karena menjadi seorang pemuka agama harus mengajarkan cinta kasih yang tidak pilih-pilih.Film ini memberikan ruang yang cukup lega bagi penonton untuk membuat interpretasinya masing-masing.
Film ke-3 adalah satu-satunya film dokumenter dalam program pilihan ini, berjudul “Djinns, Les Espirits De Patras” atau Djinns, The Spirit of Patras. Film karya sutradara Jeac-Jacques Cunnac ini menampilkan topik tentang 50 orang pengungsi dari Afghanistan yang mencoba peruntungan di Eropa dan tinggal bersama di sebuah bekas pabrik. Namun yang membuat film ini menarik adalah cerita yang tidak biasa seputar penderitaan pekerja ilegal. Ternyata mereka menderita karena mereka harus menghadapi ‘jin’ yang sering mengganggu mereka di malam hari. Ada beberapa dari mereka yang akhirnya memutuskan pergi dari tempat itu karena ketakutan.
Film ke-4 sedikit eksperimental berjudul “Sick To My Bones” karya Guy Davies & Matthew Leonhart. Film ini menggunakan narasi puitis dalam bahasa Jepang meski sesungguhnya sutradara film ini berasal dari Inggris. Menceritakan tentang seorang ksatria berwujud mirip malaikat yang menghabiskan hari terakhirnya hidup dengan menyeret iblis tawanannya ke dunia buangan.Film ini sedikit mengingatkan saya pada album visual Beyonce – “Lemonade” yang mengadaptasi puisi sebagai naratifnya. Sempat terlintas di pikiran saya apakah ada puisi dari bahasa Jepang yang diadaptasi dalam karya ini.Namun setelah menggali informasi lebih jauh, ternyata karya ini merupakan karya orisinil yang ditulis oleh Matthew Leonhart.
Secara visual film ini sangat indah, namun untuk beberapa orang yang tidak terbiasa menikmati karya eksperimental, film ini beresiko menjadi sangat membosankan. Film berdurasi 14 menit ini akan lebih menarik jika ditinjau dari segi filosofi visual dan narasi. Dalam poster resmi film ini dituliskan sebuah tagline ‘We are at war, and no one is winning.’,“Kita berada dalam peperangan, dan tak seorangpun menang” jika diperhatikan film ini memang menceritakan tentang perang internal dalam diri tokohnya dan eksternal dengan iblis-iblis di luar dirinya.
Bagi saya, film ke-5 “The Champion” merupakan film yang terbaik dari keseluruhan program.Jika diibaratkan sebuah cerita, bagian ini adalah klimaksnya. Predikat terbaik ini tentu bukan disebabkan oleh judul yang artinya ‘pemenang’, namun cerita cinta segitiga seperti ini jarang dibuat dengan karakter paruh baya. Dalam film ini seorang nenek berada diantara suaminya dan mantan kekasihnya di masa lalu yang datang kembali. Kedua kakek ini saling berebut perhatian dan kasih sayang sang nenek hingga berkali-kali melakukan duel menembak di hutan bersalju. Secara visual, film ini sangat menyenangkan untuk ditonton karena art directing yang sangat rapi dan color grading yang mendukung keseluruhan cerita. “The Champion” adalah satu-satunya film di program ini yang dibuat tanpa dialog, sehingga ekspresi dan bahasa tubuh aktor dituntut habis-habisan dan harus sangat kuat.
Film ke-6 “The Gift” mengambil setting pada tahun 1940-50an di Amerika. Bercerita tentang seorang anak laki-laki yang diajak ibunya pergi ke toko rupa-rupa untuk memilih hadiah ulang tahunnya sendiri. Statement film ini sesungguhnya sangat sederhana, hadiah yang anda berikan saat anak anda masih kanak-kanak akanmembentuk masa depan anak tersebut. Namun yang menarik dari pemutaran ini adalah shot terakhir bahwa anak tersebut tumbuh sebagai seorang tokoh legenda rock n roll tahun 1970an.
Film terakhir berjudul “Bubbles Don’t Lie” merupakan film komedi tentang kehidupan intim orang-orang di seluruh dunia. Di dalam film pendek pendinginan ini, diceritakan bahwa semua orang tiba-tiba memiliki lingkaran dengan angka di atas kepalanya.Tentunya hal ini menjadi pertanyaan banyak orang, termasuk para penonton siang itu, hingga akhirnya di bagian akhir film ditemukanlah arti dari angka-angka tersebut.
Film ini menggunakan banyak pengambilan gambar dengan kedalaman ruang yang besar (deep focus) sehingga terlihat seperti acara televisi. Ada spekulasi bahwa penggunaan deep focus ini untuk mempermudah visual effect artist menambahkan banyak angka di kepala orang-orang.Namun diluar keputusan teknis, film ini merupakan penutup yang sangat menghibur.
Secara keseluruhan, program ini dapat dinikmati oleh segenap penonton setia Minikino Film Week dan merupakan tontonan yang tak terlupakan. Menurut saya pribadi, pemenangnya adalah “The Champion” karena cerita cinta segitiga dengan twist karakter seperti ini merupakan hal yang baru bagi saya. Selama ini film yang diperankan kakek-nenek hanyalah bertema tentang hidup berdua sampai meninggal tanpa gangguan apapun. Film pendek ini menunjukkan bahwa tidak semua pasangan kakek-nenek punya hubungan yang solid, bisa saja ada hal tak terduga yang membuat keadaan berubah 180 derajat.
Ulasan Program :Minikino Programmer’s Pick
pada 2nd Minikino Film Week 2016
ditulis oleh Putri Harbie, Maret 2017