Dr. Samsi (1952) karya Ratna Asmara adalah arsip film dari sutradara perempuan di masa lalu yang sebagian besar tidak diketahui oleh publik. Pemutaran Dr. Samsi pada Selasa, 7 Maret 2023 menjadi semacam syukuran atas selesainya proses digitisasi yang dilakukan oleh Kelas Liarsip dan beberapa rekan kolaboratornya. Dalam proses digitisasi film yang diyakini karya sutradara perempuan pertama di Indonesia ini, Minikino Studio terlibat dalam pembuatan takarir (subtitle) untuk menambal lubang-lubang kosong dari kondisi arsip audio film yang tidak sempurna.
Kelas Liarsip sendiri merupakan kelompok belajar virtual yang memfokuskan studinya pada arsip film, restorasi, dan sejarah perempuan dalam sinema Indonesia. Kelas Liarsip berdiri sejak Maret 2021 dan dijalankan oleh 6 perempuan dan non-biner dengan latar belakang yang beragam. Lisabona Rahman yang merupakan bagian dari Kelas Liarsip datang ke MASH Denpasar untuk berbagi pengalaman mengenai proses digitisasi film Dr. Samsi.
Lisabona adalah pelaku pelestarian dan programmer film dengan ketertarikan khusus terhadap praktik kajian sejarah kritis dan pemikiran perempuan. Lisabona memberikan konsultasi pelestarian film kepada beberapa lembaga seperti Arsenal Institut (Berlin), Yayasan Pusat Film Indonesia (Jakarta) dan arsip film Cimatheque (Kairo). Bersama dengan rekan-rekan puan dari beragam latar belakang, Lisabona menjalankan penyelenggaraan presentasi publik dalam bentuk pemutaran film, pameran, berbagai format siaran serta praktik sirkulasi pengetahuan feminis dalam bentuk kelompok belajar (Sekolah Pemikiran Perempuan dan Kelas Liarsip). Di MASH Denpasar, Ahmad Fauzi (Ozi) berkesempatan untuk berbincang dengan Lisabona mengenai pengalaman dan pandangan Lisabona mengenai praktik-praktik pengarsipan.
Ozi: Pertama, aku mau ke pertanyaan yang lebih personal dulu. Dari mana Lisa tertarik dengan kerja-kerja pengarsipan?
Lisa: Kalau secara ringkas, sebenarnya kecelakaan ya. Jadi awalnya karena aku harus mengelola bioskop terprogram di Jakarta. Namanya Kineforum, programnya Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Di situ salah satu tugasku adalah bikin pemutaran sejarah film. Saat itu, karena aku nggak punya pengalaman sama sekali dalam programing, jadi aku iya-iya aja kan. Percaya diri lah, bisa nih sejarah sinema gitu. Tapi waktu itu briefnya spesifik oleh para anggota DKJ, waktu itu ada Riri Riza, (alm) Abduh Aziz, Shanty Harmayn, Farishad Latjuba. Mereka bilang “kita nggak mau hanya sejarah film dunia yang luar Indonesia, kita juga mau sejarah film Indonesia”. Dan waktu itu aku masih optimis juga, karena belum tau medannya.
Tapi ketika mulai bikin programnya, loh kok ternyata nggak sesimpel itu ya. Arsipnya berantakan, aksesnya susah dan nggak terkelola dengan baik. Dan kemudian aku sadar, ternyata kayak nggak ada pengelolaan arsip dengan perspektif yang profesional. Di situlah aku awalnya tertarik untuk belajar lebih jauh dan memfokuskan karier, yang tadinya lebih umum di programing, manajemen bioskop, dan kuratorial, akhirnya aku ingin fokus ke Archival films.
Ozi: Itu tahun berapa Lisa kira-kira?
Lisa: 2006 sampai 2009.
Ozi: Setelah berganti dari perspektif dari programing, managemen bioskop, kuratorial dan lain-lain ke pengarsipan, bagaimana kamu saat itu memaknai pengarsipan?
Lisa: Jalurnya kalau boleh aku refleksikan kayak gini, jadi ketika aku melihat aku pengen bawa pengetahuan mengenai sejarah film Indonesia ke penonton, tapi arsipnya berantakan, aksesnya juga tidak terkelola dengan baik. Aku mencoba menjembatani dengan belajar dan mencontoh arsip film, yang katakanlah di Eropa atau Amerika gitu, negara-negara yang tradisi pengarsipannya cukup panjang, dan secara resource cukup baik. Negara yang punya privilege lah. Dan itu berlangsung sampai aku sekolah pelestarian film sampai akhirnya aku kerja gitu di laboratorium restorasi film. Ini laboratorium yang sangat highly specialized ya tempatnya di laboratorium L’immagine ritrovata, Bologna, Italia.
Tapi dari situ juga aku mulai belajar, bahwa ada beda kasta juga nih. Beda kasta, beda nasib antara tempat-tempat yang pengarsipan filmnya sudah menjadi agenda politis entah nasional atau regional, dengan tempat-tempat kayak Indonesia. Indonesia yang pengarsipan sejarahnya itu problematis secara politik. Kalaupun ada pengarsipan yang baik sifatnya harus mendukung kekuasaan. Tapi arsip dari perspektif yang berlawanan atau arsip pinggiran, itu nggak diarsipkan atau dipinggirkan, dalam artian secara politik arsipnya tidak diberi makna dan tidak diberi resource. Itu aku baru sadar setelah aku meninggalkan dunia profesional yang berada di Eropa, ketika aku kembali ke Indonesia.
Aku mulai sadar ada masalah-masalah kasta ini waktu aku di Italia. Di sana kelihatan dari film-film yang aku tangani, misal kondisi film-film yang asalnya dari Asia, Afrika, Amerika latin, “kok berantakan banget ya?”. Status preservasinya buruk, vinegar syndrome, terus ya babak belurlah, dibandingkan dengan film-film dari Perancis misalnya yang kondisinya sempurna banget. Tentu namanya barang tua ada cacatnya, tapi nggak ada seujung kukunya, kalau dibandingkan sama challenge pelapukan yang dialami oleh film-film yang berasal dari luar Eropa dan luar Amerika Utara. Dan di situ aku baru sadar. Wow, ternyata aku butuh perangkat/perspektif baru untuk bekerja dengan archival film yang berada di luar framework Amerika dan Eropa. Dan praktik pengarsipanku di Indonesia, pengalamanku bekerja bersama teman-teman di Indonesia, itu yang membantu aku membentuk cara berpikir seperti ini.
Ozi: Tadi kamu menyinggung tradisi yang lebih panjang gitu di Eropa soal pengarsipan, apakah bisa dibilang tradisi pengarsipan di Indonesia itu berumur pendek? atau bahkan belum mulai? Atau justru mungkin sebetulnya ada gejala lain yang bukan perkara “panjang-pendek”?
Lisa: Kayaknya mungkin aku bisa ngambil contoh dari project yang akan kita tonton dan bicarakan malam ini, soal menelusuri jejak-jejak Ratna Asmara, lewat film dan penelitian arsip non-film semacam kertas atau yang lain-lain. Dari situ, benar apa yang kamu pertanyakan, ini bukan soal “panjang-pendek”, “lama atau sebentar’. Tetapi lagi-lagi ini persoalan yang politis. “Dengan perspektif apa kerja pengarsipan itu dijalankan?”. Entah itu sejarah yang panjang, atau yang pendek, kalau prinsip-prinsip atau filosofi politiknya salah, dan hanya berfungsi untuk memperkuat apa yang sudah privilege dan berkuasa, apa gunanya?.
Makanya di project ini, ketika kita menelusuri Ratna Asmara ini jelas sekali terlihat, bahwa kita di Indonesia diperkenalkan ke sejarah film Indonesia yang ada “Bapak Perfilmannya Nasional”-nya. Dan kalau kita mau bedah elemen-elemennya, “Bapak” dan “Perfilman Nasional”. “Perfilman Nasional” ini juga ada turunannya lagi, dia harus pribumi, apapun konsep pribumi itu, yang tentu pada dulu diformulasikan di tengah-tengah politik rasial-kolonial. Jadi ada pribumi yang statusnya lebih rendah daripada kolonial kulit putih dan ras Asia Timur. Tapi dari dua elemen ini, yang “Bapak” dan “Nasional” ini, Ratna nggak masuk di keduanya.
Pertama, dia jelas bukan “Bapak”, dia perempuan. Dan yang kedua soal “Nasional” ini, Ratna agak dipertanyakan karena logika nasionalismenya Ratna nggak sama dengan logika nasionalisme yang diekspresikan lewat film-film “Bapak Perfilman Nasional” yang isinya perang. Film-film nasional yang diakui itu isinya perang, pejuang yang adalah tentara, gitu. Lantas orang-orang lainnya mana nih? Orang lain itu yang keluar di dalam filmnya Ratna. Jugun Ianfu misalnya, atau ibu-ibu di dalam film Dr. Samsi yang akan kita tonton malam ini. “Ibu” dalam film ini punya posisi yang penting. Jadi kesimpulan dari Liarsip sebagai tim, ketika aku bekerja dengan satu tim dengan concern yang sama dengan aku, yang melihat bahwa, pengarsipan itu perlu posisi politis yang lebih tegas. Kita ini mau mengarsipkan siapa, berpihak ke siapa, dan apa yang kita cari.
Ketika aku bekerja dengan kelas Liarsip, semakin terasa dan semakin mengkristal, sikap-sikap yang tumbuh dari pengalamanku, dan observasi akademis dari sejarawan Umi Lestari, Julita Pratiwi yang memang praktiknya lebih cenderung membaca semiotika dan estetika. Dari situ, aku belajar untuk memformulasikan posisi ini. Bahwa yang ingin aku praktikkan adalah cara bekerja dengan pengarsipan atau pelestarian yang membela apa-apa yang berada di pinggiran dan dilupakan. Kalau arsip yang statusnya paralel sama yang berkuasa, dan udah dikasih resource yang banyak. Secara politis misalnya didaulat menjadi “pahlawan nasional”, ya itu sudah bukan urusanku. Urusan kita adalah apa-apa yang dipinggirkan dan dilupakan.
Ozi: Oke-oke posisi politis dalam kerja pengarsipan itu penting ya. Selanjutnya, aku pernah nonton presentasinya Lisa dan Umi Lestari tentang sejarah film di Eye Filmmuseum, lalu ada ungkapan “preservation comes before restoration”. Bisa tolong dijelaskan maksud dari kedua hal itu apa dan bagaimana hubungannya?
Lisa: Iya dua istilah, preservasi atau kalau kita terjemahkan jadi pelestarian. Preservasi ini adalah penyimpanan jangka panjang dan tujuannya memelihara, supaya apa yang kita simpan itu kondisinya stabil dan baik. Dan itu berarti dalam preservasi film, bentuknya bisa bikin ruang penyimpanan, menjaga suhunya, menjaga kelembabannya supaya kondisinya stabil. Yang kedua restorasi. Restorasi ini ibaratnya, kalau yang pertama tadi penyimpanan, ibaratnya seperti kita rutin check-up ke dokter gigi. Nah kalau restorasi ini, kamu bayangkan seperti operasi ke dokter gigi. Misal ada satu film yang karena banyak alasan, sering kali karena filmnya sudah rusak, jadi harus dioperasi dengan teknologi restorasi supaya filmnya bisa ditonton lagi dengan kondisi yang lebih baik.
Buat aku, yang seharusnya lebih kita dorong dan dikerjakan dengan baik ini, preservasinya. Karena dengan preservasi, biayanya sebenarnya relatif lebih rendah dan yang bisa kita selamatkan lebih banyak. Kalau restorasi, karena biayanya mahal kita hanya bisa nyelametin sedikit. Lagi-lagi hanya yang privilege aja yang akan diselamatkan. Yang lainnya tetep aja tuh telantar. Semoga cukup jelas.
Ozi: Jelas-jelas Lisa, dari produk film saya mau lanjut ke pertanyaan yang agak luas tentang festival film. Bicara festival film seperti misalnya Minikino yang sudah berumur 20 tahun lebih, bagaimana si dia mesti memperlakukan arsipnya?
Lisa: Dulu tahun antara 2008 sampai 2011, aku pernah bikin pameran namanya, “Sejarah Bioskop di Indonesia” bekerjasama dengan peneliti Ardi Yunanto dan Agus Mediarta. Itu pameran tahunan, jadi setiap tahun dia tumbuh. Tambah panjang-tambah panjang pamerannya. Dan pameran itu materinya adalah bahan-bahan pustaka atau arsip dari bioskop. Kalau aku usul cara pengarsipan itu yang barangkali bisa dicoba. Arsip itu nggak cuma disimpan, tapi didialogkan. Karena ini arsip ini ada ceritanya. Ketika cerita itu ditawarkan ke orang lain secara terbuka, akan ada respons yang memperkaya ceritanya. Dalam konteks festival, bisa mulai dari misalnya kumpulan posternya Minikino, mungkin juga kumpulan-kumpulan rekamannya Minikino, entah diskusinya atau foto-fotonya. Tawarkan arsip itu ke penonton, nanti responnya bagaimana, itu yang akan membentuk bagaimana arsip ini berkembang selanjutnya. Aku cuma usul langkah pertama ya, setelah itu terserah kalian.
Ozi: Oke, kita ke pertanyaan terakhir ya Lisa. Dalam konteks skalanya ekosistem perfilman. Siapa sih yang paling penting untuk terlibat dalam kerja pengarsipan?
Lisa: Yang paling penting menurutku komunitasnya. Komunitas yang melahirkan arsip itu. Karena arsip itu seperti rekaman suaranya. Suara yang diproduksi oleh komunitasnya, jejaknya akan terbaca di arsipnya. Karena itu aksesnya, perawatannya, menurutku seharusnya berada di tangan komunitasnya itu. Jangan sampai arsip itu seperti pengalaman kita jaman kolonial. Jejak-jejak budaya yang kita produksi dibawa ke luar negeri, dan di sana jadi barang museum. Sedangkan kita di sini nggak punya barangnya. Kalau menurutku, arsip paling bener dia harus ada dan dikelola oleh komunitas yang memproduksi arsipnya.
Discussion about this post