Hukuman mati adalah tragedi kemanusiaan yang bersembunyi dibalik asas legal-formal. Hukuman mati adalah pembunuhan yang direncanakan oleh negara dan aparatusnya. Negara menggunakan kekuasaannya yang lebih besar atas seseorang dan mengambil hak paling dasar dari manusia: hak untuk hidup. Maka tentulah hukuman mati adalah hukuman yang paling kejam, tidak manusiawi dan merendahkan kemanusiaan.
Film pendek While My Goatee Gently Bleats (2021) karya Pahurak Kong memotret jalannya proses hukuman mati dengan pendekatan yang absurd. Saya bilang absurd karena pendekatan visualnya, dan perasaan setelah menontonnya. Terlebih saya rasa apa yang membuat film dengan durasi lima menit ini menjadi pengalaman menonton yang absurd atau tidak masuk akal, adalah karena hukuman matinya sendiri tidak masuk akal.
Pertama-tama mari kita lihat bahasa visual dalam film pendek ini yang sangat terasa absurd dan tidak masuk akal. Dalam sinopsis tertulis “After having the last supper, a scapegoat is brought to the gallows”. Secara mentah, Kong menerjemahkan scapegoat (tertuduh, kambing hitam) dalam bahasa visualnya menjadi manusia berkepala kambing. Manusia berkepala kambing (scapegoat) ini menghadirkan banyak muatan makna yang simbolis dalam kepala saya. Jika ditilik secara literal, scapegoat adalah kambing hitam yang biasanya adalah korban atau seseorang yang ditumbalkan.
Tapi di sisi lain, scapegoat ini tidak bisa dikatakan sebagai manusia karena menu last supper-nya adalah jerami. Maka aman saja untuk mengatakan terpidana ini adalah seorang manusia yang dikambing hitamkan, atau memang seorang manusia setengah kambing.
Pendekatan simbolis dari terpidana ini saya pikir adalah keputusan yang menarik. Pasalnya, hukuman mati sering menyasar kambing hitam. Hukuman mati, sebagaimana hukuman yang lain, selalu beresiko menghukum mereka yang tidak bersalah. Misalnya, tercatat dalam dokumen Amnesty Internasional, sejak 1973, lebih dari 184 tahanan yang dipidana hukuman mati di AS kemudian dibebaskan atau dibebaskan dari hukuman mati dengan alasan tidak bersalah. Terpidana lainnya, tentu tetap dieksekusi dalam keraguan serius tentang kesalahan mereka.
Dalam film kita tidak diberi keterangan tentang kesalahan dari si scapegoat. Kita hanya melihat bagaimana ia gelisah dan tegang menunggu waktu eksekusi. Bahkan si scapegoat sempat ingin melarikan diri. Dia berlari dari pandangan kita sebagai penonton yang menyaksikan proses hukuman mati. Dia ingin off-screen, tapi gagal.
Selanjutnya, jika kita melihat terpidananya adalah manusia setengah kambing. Ini berkaitan dengan pandangan yang merendahkan martabat manusia, mensubordinasi suatu individu/kelompok. Hewan adalah salah satu kelompok makhluk hidup yang paling tersubordinasi. Tubuh hewan direduksi menjadi sebatas daging (secara harfiah) yang dapat dikonsumsi, atau digunakan dalam proyek ilmiah yang menyakitkan atau tidak etis. Lantas, bagaimana dengan kelompok manusia yang masih tersubordinasi dalam struktur masyarakat modern?
Faktanya, bobot hukuman mati secara tidak proporsional lebih sering didakwakan pada mereka yang tersubordinasi dalam latar belakang sosial-ekonomi yang kurang menguntungkan, minoritas ras, gender, etnis atau agama. Subordinasi ini juga termasuk perihal keterbatasan pengetahuan atau akses ke perwakilan hukum. Siapa yang ingin mengadvokasi manusia yang tidak dilihat kemanusiaannya (karena dia setengah kambing? setengah manusia?).
Dilihat dari sudut pandang manapun, tetap saja hukuman mati adalah hukuman yang sangat merendahkan martabat manusia. Dan negara adalah pihak yang harus bertanggung jawab. While My Goatee Gently Bleats adalah film yang diproduksi di Thailand dan menghadirkan negaranya dalam kerangka yang statis khas militer. Gerak-gerak aparat yang kaku seperti robot mekanik, menunjukan tampilan sejatinya jiwa korsa. Thailand sampai hari ini masih memberlakukan hukuman mati dan aparatus negara masih siap menjalankan hukumannya. Karena kerap kali hukuman mati juga digunakan sebagai alat politik untuk strategi kontrol.
Kembali lagi ke perasaan absurd yang saya singgung di atas. Film pendek ini menampilkan citraan seperti dibuat menggunakan roll film hitam putih—saya tidak tahu apakah benar-benar direkam dengan roll film atau grading effect. Yang pasti, efek jamur pada roll, garis-garis kasar khas roll film tua, membuat film pendek ini menembus dimensi waktu ke masa lalu.
Di sinilah perasaan absurd itu muncul, karena saya seakan menyaksikan masa lalu. Ada kontradiksi antara masa lalu dan masa kini. Dan kenyataannya, apa yang terjadi dalam film ini. Hukuman mati, tragedi kemanusiaan yang berlangsung dalam film ini, semuanya aktual. Masih berlangsung hingga hari ini.
Discussion about this post