Home / FILM VERTIKAL – ASALOKA FILMS

FILM VERTIKAL – ASALOKA FILMS

ASALOKA FILMS

Judul/Title
: Sorrow in Moon’s Eyes
Genre
: Fiksi / Fiction
Durasi/Duration:
: 06:55
Lokasi Produksi/Filming Location:
: Daerah Istimewa Yogyakarta

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Logline:

Bulan (25), seorang bidadari, sangat ingin kembali ke khayangan dengan cara mengambil selendang miliknya. Namun, selendangnya dicuri dan ditahan oleh pacar paksaannya, Jaka (26), seorang pemburu dan penjaga hutan hingga ia mengancam kepada Bulan, jika ia pergi lelaki itu akan menyebarkan video mandinya.

When Bulan (25), an angel, loses her only ticket back to heaven—her mystical shawl—she’s trapped on Earth under the control of her possessive and manipulative boyfriend, Jaka (26), a cunning hunter who uses a forbidden video of her to keep her from leaving. Desperate to break free, Bulan must outwit Jaka and reclaim her stolen shawl before her wings are clipped forever.

Sinopsis Pendek / Short Synopsis:

Bulan seorang bidadari khayangan yang ingin kembali ke asalnya namun terhalangan oleh ancaman dan obsesi Jaka terhadapnya.

Bulan, a heavenly angel yearning to return to her roots, is trapped on Earth by Jaka’s threats and obsessive hold over her.

Writer’s Statement:

Dalam cerita rakyat Jaka Tarub, kita selalu diperlihatkan mengenai sudut pandang Jaka Tarub saja, tanpa mengetahui bagaimana sudut pandang dari perempuan, yakni Nawang Wulan itu sendiri. Dalam cerita rakyat tersebut, kita bisa melihat mengenai subjektivikasi perempuan dan dominasi dari maskulinitas laki-laki. Pada cerita rakyat ini, pemosisian perempuan pada objek kenikmatan laki-laki, objek kesewenangan, dan bahkan objek kekerasan laki-laki. Perempuan ditampilkan tidak berdaya dan lemah sehingga mudah diperdaya oleh laki-laki, sementara laki-laki diperlihatkan mengoperasikan dominasi dan kekuasaannya terhadap. Perempuan dengan bebas. Dalam film ini, saya berharap bahwa nilai-nilai yang saat ini dipegang perlu bersikap kritis terhadap cerita yang kita pilih, termasuk cerita rakyat itu sendiri.

In the folktale Jaka Tarub, we are traditionally presented with only Jaka Tarub’s point of view, leaving the perspective of the woman, Nawang Wulan, largely unexplored. The story perpetuates the subjectification of women and reinforces male dominance, positioning women as objects of male pleasure, abuse, and violence. They are portrayed as helpless and easily deceived, while men exercise their power and dominance over them without consequence. This film seeks to challenge these outdated values by critically examining the stories we embrace, including our folklore.

Producer’s Statement:

Hal utama yang saya sadari adalah, masih sangat kurangnya awarness masyarakat luas tentang kepentingan dan keselamatan wanita akan segala hal berkaitan tentang kekerasan seksual. Baik itu yang berskala kecil seperti catcalling, ataupun yang berskala besar seperti pengancaman. Baik itu yang bersifat secara langsung ataupun digital. Masih awamnya ternyata pengertian-pengertian seperti itu dapat dipahami oleh pelaku, hingga sampai saat ini wanita masih resah dengan hal-hal tersebut.

Berdasarkan ide film yang kami telah rancang, juga akan terikat dengan kasus pengancaman, dimana cerita tersebut akan dibalut dengan nuansa cerita rakyat. Terinspirasi pada cerita Jaka Tarub yang mengintip Nawangwulan, ternyata terselip kasus pelecehan yang semua orang tau yaitu pengintipan. Namun dunia dalam cerita akan dibuat sedikit modern, bahkan akan menggunakan VFX untuk mendukung narasi, dan atas Jaka Tarub yang akan membuat video pengintipan mandi di sungai itu, menjadi sebuah Kekerasan Seksual yang berbasis digital dan pengancaman penyebaran jika korban tidak menuruti kemauan sang pelaku.

Sebagai seorang wanita yang hidup di era modern dan menyadari akan kurangnya pengetahuan masyarakat tentang Kekerasan Berbasis Gender (KBG), saya yang mana adalah seorang mahasiswa aktif yang berkutat di dunia film,  merasa bahwa ini adalah langkah yang selaras dan dapat kami lakukan sebagai tindakan preventif dan penyampaian pesan yang terbalut dalam adegan-adegan di dalam film. Saya berharap dengan mengambil langkah ini, saya dapat berpartisipasi untuk melawan angka akan maraknya kejadian Kekeran Berbasis Gender (KBG) terutama kepada wanita.

I’ve come to realize that there is still a significant lack of awareness among the general public regarding the interests and safety of women in matters related to sexual violence. Whether it’s minor incidents like catcalling or more severe cases such as threats—whether direct or digital—these actions are often normalized by perpetrators, leaving women to constantly worry about their safety.

The film we’re designing ties into this theme, reimagining the folktale of Jaka Tarub through a modern lens. In the original story, Jaka Tarub peeps at Nawangwulan, an act that can be seen as a form of harassment. Our adaptation brings this into the present day, where Jaka uses modern technology to record Nawangwulan bathing, transforming this act into digital-based sexual violence. He then threatens to spread the video unless she complies with his demands.

As a woman living in the modern era, I am acutely aware of the public’s limited understanding of Gender-Based Violence (GBV). As an active film student, I believe this project is a crucial step toward raising awareness and preventing GBV. Through the narrative and visual effects, I hope to contribute to the fight against the pervasive issue of gender-based violence, particularly against women, by delivering a powerful and relevant message wrapped in the scenes of this film.

Director’s Statement:

Jaka Tarub adalah cerita rakyat yang sudah berputar sejak lama di Indonesia, terkhususnya pulau Jawa, bahkan terdapat beberapa versi lain diluarnya. Semuanya memiliki kesamaan, yaitu rasa kepemilikan yang berlebihan seorang pria terhadap wanita. Pada film ini, hubungan Bulan dan Jaka terinspirasi dari cerita rakyat tersebut. Ketika seorang pria bisa menghalalkan segala cara untuk memiliki, menahan, dan menyimpan wanita layaknya sebuah benda, hanya dikarenakan digemari parasnya. Dalam film ini saya berharap rakyat Indonesia dapat melihat bahwa pada cerita rakyat, cerita yang sering anak-anak dengar atau baca di buku bahwa, sudah terlihat jelas KBG yang berdampak kepada mental dan fisik seorang perempuan. Dan berharap bisa menumbuhkan keberanian kepada para wanita yang melalui hubungan dan hal yang sama untuk merampas kembali kebebasan mereka. 

Jaka Tarub is a longstanding folktale in Indonesia, especially in Java, with several regional variations, all sharing a common theme of a man’s excessive sense of ownership over a woman. In our film, the relationship between Bulan and Jaka is inspired by this folktale, depicting how a man justifies any means to possess and control a woman simply because he is attracted to her appearance. Through this film, I hope Indonesian audiences will see that folklore often reflects the real-world impact of gender-based violence (GBV) on women, both mentally and physically. I also aim for the film to empower women who have endured similar experiences to reclaim their freedom and find the courage to assert their autonomy.

Produser/Producer

Utari Hanif Assyuri

utarihanifassyuri@gmail.com

 

Penulis/Writer

Haniffia Shafa Mahartanti

haniffiashafa12@gmail.com

 

Kembali ke halaman Film Vertikal

Top