Home / FILM VERTIKAL – SINEMA SORA

FILM VERTIKAL – SINEMA SORA

SINEMA SORA

Judul/Title
: Kepada Para Rekan Media / Trial by Press
Genre
: Fiksi / Fiction
Durasi/Duration:
: 05:12
Lokasi Produksi/Filming Location:
: Jawa Barat / West Java

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Logline:

ALANA (F/21), pendamping kasus kekerasan seksual di Universitas Jaya, menjadi korban dari DANU (M/21), Ketua BEM kampusnya sendiri. Namun, Danu memanfaatkan ketenarannya dengan menyebarkan ke media berita bahwa laporan tersebut adalah upaya pembungkaman. Akhirnya, Alana membuat sebuah rekaman klarifikasi, membiarkan penonton menjadi hakim terakhir yang menentukan kebenaran.

ALANA (21), a sexual assault case advocate at Jaya University, becomes a victim of DANU (21), the head of the student body. Danu exploits her fame by portraying her report as a strategic attempt to silence him, spreading this narrative through the news media. In response, Alana records a clarifying statement, leaving it to the audience to judge the truth.

Sinopsis Pendek / Short Synopsis:

Seorang MAHASISWI melapor sebagai korban kekerasan seksual oleh KETUA BEM yang menggiring opini bahwa laporan tersebut palsu.

A student reports being sexually assaulted by the chairman of the student body, which leads to widespread skepticism and the belief that the report is false.

Writer’s Statement:

Sosok yang pernah saya kagumi karena memperjuangkan isu kekerasan seksual, ternyata merupakan pelaku kekerasan seksual. Lantas, siapa yang bisa diandalkan untuk menegakkan kebenaran?  Menjadi mahasiswa dan tergabung ke dalam ormawa (organisasi mahasiswa) menjadi momentum yang membuka mata saya sekaligus membuat saya mempertanyakan kembali makna kebenaran. Apa yang biasanya diasosiasikan kepada mahasiswa—pergerakan mahasiswa, aktivisme, demonstrasi, aksi turun ke jalan—untuk pertama kalinya saya saksikan langsung. Saya mengenal orang-orang yang tumbuh dengan nama besar sebagai pionir bak “pahlawan” yang mengusung berbagai isu sosial-politik. Termasuk isu mengenai kekerasan seksual.  Pemaknaan saya terhadap aktivisme berubah ketika terdapat berita bahwa aktivis dengan nama “besar” tersebut justru terbukti merupakan pelaku kekerasan seksual. Mereka berlindung di balik nama “besar” yang berhasil menggiring kasus kekerasan seksual menjadi sebuah premis palsu, bahwa kasus tersebut hanyalah upaya segelintir kelompok untuk membungkam dan menghalau mereka dalam menantang sistem dan oligarki. Mereka abai dan acuh terhadap fakta bahwa apa yang mereka lakukan mengkhianati “pergerakan aktivisme” mereka.  Hal ini bermuara kepada keresahan terbesar dalam diri saya: jika kontradiksi masih terus mengiringi perjuangan melawan kekerasan seksual, perjalanan ini masih sangat panjang. Inilah isu utama yang saya ingin suarakan melalui film “Kepada Para Rekan Media” yang menceritakan dua sisi: Sisi ketika korban sering kali disalahkan, dan sisi ketika korban berjuang untuk melawan suara-suara yang menyalahkan tersebut.

A figure I once admired for championing sexual violence issues turned out to be a perpetrator of sexual violence themselves. This revelation made me question who can truly be relied upon to uphold the truth. Becoming a student and joining an ormawa (student organization) opened my eyes and challenged my understanding of truth. I experienced firsthand the dynamic world of student movements, activism, and demonstrations, and met individuals who were celebrated as “heroes” for addressing various socio-political issues, including sexual violence. However, my perspective on activism shifted when I learned that some prominent activists were actually perpetrators of sexual violence. These individuals used their “big” names to shield themselves and turned the case into a false narrative, claiming it was an attempt by certain groups to silence and discredit them. They ignored the fact that their actions betrayed the very activism they purported to support. This contradiction in the fight against sexual violence is deeply concerning. It highlights the challenges we face in achieving genuine progress. This is the central issue I aim to address through the film *Kepada Para Rekan Media*, which portrays two perspectives: one where victims are often blamed, and another where victims struggle to confront and resist those blaming voices.

Producer’s Statement:

“Satu kata yang kerap terlintas dalam benak saya setiap melihat atau mendengar kabar mengenai kasus kekerasan seksual; miris.

Miris melihat kasus-kasus yang diukur berdasarkan engagement media. Miris melihat relasi kuasa antara pelaku dan korban yang sudah timpang dibuat semakin timpang. Miris ketika melihat perspektif korban hanya dijadikan kiasan belaka. Banyaknya rintangan dalam penanganan kasus kekerasan seksual rasanya belum juga cukup bagi pihak-pihak yang bukannya membantu, justru mempersulit proses penyelesaian kasus serta pemulihan korban.

Sejak awal saya terpapar akan isu ini, saya selalu diingatkan bahwa penanganan kasus kekerasan seksual layaknya gunung es, di antara banyaknya kasus yang dilaporkan, ada jauh lebih banyak kasus yang tidak dilaporkan, entah atas dasar tidak mau, tidak bisa, atau mungkin tidak sanggup. Apapun alasannya, tentu fakta ini membuat saya semakin meringis sebab pada kenyataannya, menjamin hak atas rasa aman terhadap korban memang bukanlah hal yang mudah.

Maka dari itu, melalui film “Kepada Para Rekan Media”, saya melihat Rakha’ ingin menggarisbawahi poin besar, bahwa kesadaran secara menyeluruh mengenai perspektif korban ialah hal yang amat penting. Sebab, jika bukan kita, siapa lagi yang akan percaya pada korban?”

One word that often comes to mind when I see or hear about sexual violence cases is “sad.”

It’s disheartening to see cases evaluated based on media coverage. It’s heartbreaking to witness the power dynamics between perpetrators and victims being further skewed. It’s troubling that the victim’s perspective is often reduced to mere metaphor. The many challenges in addressing sexual violence are exacerbated by those who complicate the resolution process and hinder victim recovery.

From my initial exposure to this issue, I’ve been acutely aware that dealing with sexual violence is like an iceberg—many cases remain unreported due to various reasons, whether it’s reluctance, inability, or other barriers. This reality deepens my sadness, as ensuring the safety and rights of victims remains an enormous challenge.

Through the film *Kepada Para Rekan Media*, I hope Rakha underscores a crucial point: comprehensive awareness of the victim’s perspective is vital. If we don’t believe and advocate for victims, who will?

Produser/producer

Aura Galuh Aiyesa

auraiyesa@gmail.com

 

Penulis/writer

Rakha Ayu Rengganis

rakha.ayu@gmail.com

 

Kembali ke halaman Film Vertikal

Top