“SAURAT, SABUKU” (SATU PANGKAL, SATU TITIK TEMU)
Sebuah gambar: Dua bukit hijau berjejer, matahari bersinar terang di tengahnya, di kaki bukit membentang sawah-sawah yang dibelah oleh jalan raya, sedangkan di langit burung-burung terbang tinggi. Jika Anda mempunyai gambaran jelas tentang deskripsi gambar tersebut, kemungkinan besar Anda pernah menggambarnya pula. Entah siapa yang memulai atau menyebarkan gambaran ini hingga menjadi templat bersama di buku gambar anak-anak Indonesia. Terlepas dari itu, ada dua hal yang menarik untuk kita renungkan kembali. Pertama, tentang bagaimana kita diajarkan bahwa pemandangan seperti itu merupakan sesuatu yang ‘indah’. Kedua, tentang bagaimana kemampuan seni dalam mencoba menggugah kesadaran.
Sepertinya ajaran yang telah dicoba ditanamkan sejak dini itu, ternyata tidak lantas membuat banyak dari kita untuk turut bertindak dalam usaha pelestarian lingkungan dan hanya menjadikannya bahan nostalgia belaka. Rasanya kita tidak perlu membahas panjang lebar tentang betapa krusialnya permasalahan lingkungan saat ini. Dengan melihat banyak kasus pelanggaran lingkungan yang terangkat di media-media belakangan ini, harusnya telah cukup untuk paling tidak sekecilnya memancing kesadaran, tanpa perlu menunggu hal itu terjadi di depan mata kepala sendiri. Kecuali, dengan keterbukaan arus informasi saat ini kita hanya terlarut dalam isu permukaan tentang politik, agama, dan gaya hidup. Kemampuan seni (film) untuk terus menggugah kesadaran itu pula harus terus dikembangkan, entah melalui isi atau gaya yang dipilih agar menghindari kebosanan dalam prosesnya untuk menajamkan kesadaran. Atas berbagai pemikiran dasar inilah saya memprogramkan Indonesia Raja Banjarmasin 2019: “Saurat, Sabuku”. Dua kata dalam bahasa Banjar yang dapat diartikan “Satu Pangkal, Satu Titik Temu”.
Dalam program “Saurat, Sabuku” terdapat empat film yang saya susun secara imajinasi kronologis (jika latar dalam film jika disambung seluruhnya).
Film “Sungai Untuk Banua”, sebuah dokumenter pendek yang ingin menyinggung jargon kota Banjarmasin yaitu: “Kota Seribu Sungai”. Ketika terdapat perbedaan pernyataan antara dari pihak pemerintah kota dan pengamat mengenai hal tersebut, kita dibuat untuk kembali mempertanyakan tentang sebuah citra dan kenyataannya.
Selanjutnya film “Tanjung Dewa”, film yang diadaptasi dari sebuah puisi yang berjudul sama karya Eko Suryadi WS. Penggambaran kehidupan keluarga nelayan yang tinggal di sekitar pulau Tanjung Dewa dalam menghadapi permasalahan untuk bertahan hidup akibat perubahan lingkungan yang terjadi. Gaya penuturan yang cukup unik dalam menyampaikan pesan, membuat film ini juga mampu meninggalkan kesan.
Lalu, film “Ujar Pang Jua’ mengajak kita untuk membayangkan jika satwa endemik yang juga dijadikan sebagai maskot kota Banjarmasin yakni Bekantan, dikabarkan telah punah. Dibungkus dengan sedikit komedi, perbincangan beda generasi yang disajikan dapat jadi bahan renungan bersama.
Terakhir “Last Breath”. Walau bertemakan post-apocalytic dengan konflik antara dua tokoh dari masyarakat distopia, film ini masih menghadirkan optimisme untuk masa depan yang lebih baik.
Melalui program “Saurat, Sabuku” saya mencoba menyediakan ruang pertukaran wacana tentang kesadaran lingkungan dan media perjuangannya (film), yang bisa dibahas terpisah atau bersamaan. Memantik kritik dan otokritik terhadap dua hal tersebut. Serta, berharap itu semua menjadi pengikat kebersamaan karena kita ‘satu pangkal’ dan berbuah tawaran solusi karena bertemu dalam ‘satu titik temu’. Apalagi mengingat saat ini di Banjarmasin dan beberapa daerah lainnya di provinsi Kalimantan Selatan, masyarakat sedang berjuang untuk menyelamatkan pegunungan Meratus dari ancaman usaha tambang, dalam kampanye #SaveMeratus.
Banjarmasin, 14 Mei 2019
- DURASI TOTAL : 35:03
- PANDUAN USIA : 13+
DAFTAR FILM
SUNGAI UNTUK BANUA
M. Rizky Ramadhan / Banjarmasin / 2017 / 16:00 / Dokumenter
Sungai sebagai sumber mata pencaharian warga Banjarmasin dan sekitarnya. Selain itu, juga menjadi alternatif jalur transportasi dan tempat silaturahmi.
TANJUNG DEWA
Anggi Pradana Ifansyah / Banjarmasin / 2018 / 09:36 / Fiksi
Seorang nelayan yang mencari ikan di sekitaran pulau Tanjung Dewa, namun hasil yang didapat tak sesuai dengan yang diharapkan. Apakah yang sebenarnya terjadi dengan pulau Tanjung Dewa?
UJAR JUA PANG
Rizwan Azhar / Pelaihari / 2018 / 07:00 / Fiksi
Perbincangan antara paman dan keponakan tentang satwa endemik yang dikabarkan telah punah.
LAST BREATH
Ferdy Parker / Banjarmasin / 2018 / 02:33 / Fiksi
Dua orang yang sedang menempuh perjalanan untuk menyelamatkan kehidupan.
PROGRAMMER
MUNIR
Munir Shadikin
Mengenal film lebih lanjut sejak menempuh studi Broadcasting & Film pada salah satu kampus di Yogyakarta dan memimpin UKM film yang ada di sana. Terakhir menjadi programmer di ajang “Aruh Film Kalimantan 2018”. Saat ini Munir aktif sebagai pengurus Forum Sineas Banua di bidang Edukasi.
FB: Munir Shadikin
IG: @mun.shad
e: munirshadikin@gmail.com