Di hari kemerdekaan Indonesia bulan Agustus kemarin yang seringkali disemarakkan dengan upacara pengibaran bendera merah putih, Masyarakat di Timbulsloko melaksanakan tradisinya dengan kondisi yang sama sekali berbeda dengan biasanya. Dilansir dari Detik, Warga Dukuh Timbulsloko, Desa Timbulsloko, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, menyelenggarakan upacara bendera bukan lagi di tanah lapang, melainkan hambaran banjir rob yang meliputi seluruh desa. Realita ini kemudian dikemas ulang oleh Afif Fahmi melalui film pendek berjudul Laut Masih Memakan Daratan (2023) untuk selalu mengingatkan kita tentang sempitnya ruang hidup masyarakat Timbulsloko yang tenggelam karena krisis iklim.
Film yang termasuk ke dalam Indonesia Raja 2024: Jawa Tengah ini, dibuka dengan Arga yang tiba di desa dengan kebingungan setelah melihat google maps desa Timbulsloko yang berair di atas wilayah pemukiman. Setelahnya, Arga disambut oleh seorang Bapak yang telah lama tinggal di desa Timbulsloko. Bapak itu juga bercerita tentang bagaimana desa tersebut bisa tenggelam.
Isu lingkungan di Demak juga diekspresikan melalui buku yang berjudul “Urip Dioyak-oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung” yang ditulis Mila Karmilah, Dkk. Dari data buku itu, desa Timbulsloko mulai tergenang rob pada tahun 1995 yang mulai merendam lahan pertanian dan perkebunan warga.
Dalam film, berita banjir rob yang dicetak di koran juga ditampilkan. Tertulis bahwa pembangunan pelabuhan Semarang (Tanjung Mas) pada kisaran 1990-2000an juga menjadi salah satu penyebab banjir rob semakin sulit ditanggulangi. Secara tegas menyampaikan bahwa isu ini telah berulang kali.
Banjir Rob yang begitu masif kemudian merampas yang ada bagi warga Timbulsloko, pada masanya nanti, kenangan, kepemilikan, juga bahkan pengetahuan tentang silsilah keluarga mungkin akan terlupakan. Bisa dibayangkan air akan menerabas makam yang bersemayam di sana, atau benda historis yang tidak sempat diselamatkan.
Rasanya kondisi seperti sekarang terutama dengan majunya peradaban, setiap manusia selalu bersejarah, mencari jati dirinya yang pada akhirnya akan hilang. Pada akhirnya, hilangnya sejarah sama saja dengan hilangnya kemanusiaan, perampasan perasaan dan memori menjadi seorang manusia.
Ketika Arga berkeliling untuk melihat sisa desanya, ia menemukan perabotan serta foto yang tertinggal di sebuah rumah. Bukti bahwa adanya tanda-tanda kehidupan yang terjadi sebelumnya, namun ditinggalkan secara cuma-cuma karena alam yang memaksa. Perabotan dan foto kemudian memperlihatkan bahwa di kemudian harinya, seiring dengan air laut yang semakin naik dan menyusuri daratan, pada akhirnya akan menenggelamkan kenangan dan menghilangkan semua yang semulanya berlangsung di daratan.
Adegan terakhir di makam mbah yang disambangi Arga diartikan bahwa pada akhirnya kita akan memiliki keterikatan batin pada setiap tempat. Ia mengobrol dengan bapak yang menyambutnya diawali, beliau mengatakan bahwa faktor warga sekitar tidak kunjung pindah, selain karena dengan faktor ekonomi, ada juga perasaan sense of belongness yang dipunya. Keterikatan setiap warga dengan leluhur yang sebelumnya tinggal di sana, ada rasa tanggung jawab pada tanah di mana mereka lahir dan besar. Akan tetapi, sampai kapan mereka akan bertahan? Pada akhirnya leluhur, makam, rumah yang biasa digunakan sebagai aktivitas warga akan tenggelam juga.

Hal yang serupa diilustrasikan ketika Arga kehilangan kameranya. Kamera adalah alat untuk mengabadikan momen yang ada. Ketika hal itu hilang maka kenangan, kepunyaan, ingatan, pada akhirnya akan sirna dengan waktu dan tenggelam karena paksaan, nyaris kemudian tidak akan lagi yang mengenali.
Memang pada dasarnya, film adalah medium seni yang utuh. Aspek estetikanya tidak pernah murni dan tidak terlepas dari ideologi atau konteks sosialnya. Hal itulah yang membawa film ini juga berperan sebagai medium refleksi nilai dan kondisi masyarakat.
Tanpa perlu menggunakan semiotika yang rumit sebagai gaya untuk menyampaikan cerita. Laut Masih Memakan Daratan menjadi medium menyuarakan isu dan kegelisahan warga. Dalam hal ini, nampak dalam film bagaimana pemerintah abai dengan kondisi yang menimpa warga desa Timbulsloko. Meskipun dalam layar kita lihat banyak sekali poster kampanye pemilihan pejabat banyak tersebar di seluruh pemukiman, tapi nihil usaha yang mereka lakukan.
Secarik pesan dari laut yang akan terus memakan daratan: bahwasanya musibah iklim yang terjadi di desa Timbulsloko bukan sebuah nasib yang digariskan untuk menimpa desa tersebut. Adanya campur tangan manusia yang menyebabkan krisis iklim hampir tidak terobati dengan efek yang sangat kompleks, salah satunya adalah mempercepat kondisi air laut pasang meninggi sampai pada kondisi saat ini.
Pada akhirnya, semua kembali pada kita masing-masing sebagai sesama manusia. Rasa tanggung jawab kepada bumi yang telah menyediakan tempat dan kita manfaatkan seperlunya, menggarisbawahi seperlunya, bukan berarti seenaknya. Tidak hanya peran pemerintah, peran individu pun diperlukan. Banjir rob di desa Timbulsloko adalah 1 dari jutaan peristiwa hasil dari krisis iklim yang terjadi di bumi. Laut Masih Memakan Daratan menjadi pengingat kita untuk memberikan perhatian menyeluruh untuk bumi kita yang telah menyediakan sumber daya, waktunya memperbaiki untuk menciptakan kondisi berkehidupan selayaknya bagi sesama manusia di masa kini maupun masa depan.
Discussion about this post