Sebenarnya siapakah orang yang pertama memberi label pada kita laki-laki atau perempuan? Tentu dokter atau tenaga medis yang mengatakan jenis kelamin dari organ seksual yang dimiliki ketika kita baru lahir.
Padahal, jenis kelamin hanyalah satu bagian saja dari SOGIESC. Akronim dari Sexual Orientation (Orientasi Seksual), Gender Identity (Identitas Gender), Gender Expression (Ekspresi Gender), dan Sex Characteristics (Karakteristik Jenis Kelamin).
SOGIESC digunakan sebagai kerangka atau pendekatan hak asasi manusia untuk memahami keberagaman seksualitas dan gender, serta untuk melawan stigma dan diskriminasi terhadap individu dengan beragam hal tersebut.
Isu dari SOGIESC itu menjadi bidikan Monica Vanesa Tedja, terutama tentang identitas gender, setelah filmnya Dear to Me, di tahun 2021. Sekali ini dari sisi seorang yang terlahir berkelamin perempuan, dalam proses menyadari ada hal berbeda pada dirinya, dan yang menarik, tokoh utama Monik diperankan Monica sendiri.
Film “My therapist said, I am full of sadness”dibuka pada menit-menit pertama dengan rekaman masa kecil Monica yang penuh keriaan. Bergulir sampai menit terakhir, hal-hal dalam keluarga berkelindan dengan pergumulan batin Monik (panggilan untuk Monica) ketika studi di Berlin seiring prosesnya mendewasa.
“… di satu sisi ada perasaan lega, karena gue jadi nggak harus confront ngapain-ngapainnya, tapi di satu sisi, I don’t think i’m there anymore. Do I want to go to the period again where i just call them and then pretend a double life? Cuma gimana ngomongnya aku nggak tahu.”
Kesedihan menjadi diksi Indonesia yang paling mudah untuk mendefinisikan sadness ala terapis Monik, meski bila mengamati film secara menyeluruh, kesedihan yang dimaksud lebih kepada ketidakberdayaan. Penonton ditawarkan memilih merasai dan menginterpretasikan rasa sedih itu.
Karena sesungguhnya yang hendak diceritakan dalam film ini adalah yang disebut Gender Dysphoria (disforia gender). Sebuah ketidaknyamanan yang dialami karena ketidaksesuaian antara jenis kelamin biologis dan identitas gender. Dalam film ini tokoh utama terlahir sebagai perempuan, tapi merasa dirinya tak beridentitas gender yang sama.
Hal itu digambarkan dalam sebuah adegan simbolik pada salah satu bagian film. Bagaimana Monica menolak ketubuhannya sebagai perempuan dengan menyembunyikan bagian dirinya yang sering dianggap banyak budaya, perlambang kemampuan perempuan untuk mengasuh dan menjaga kehidupan.
Meski singkat, adegan itu sesungguhnya menyembunyikan kegundahan yang lebih besar. Karena rekaman adegan itu di Berlin, tempat yang kata Monica, safe space, nyaman, dan di mana dia menjadi diri sendiri. Tanpa perlu menyembunyikan identitas gender, dibanding bila dia kembali ke tanah kelahirannya, Indonesia.

Disforia Gender dan ‘Kesedihan’ Monica
Merujuk pada teori, para ahli menyatakan gender sebagai konstruksi sosial, memiliki serangkaian ekspektasi bagaimana seseorang bersikap. Monica tak mengajak penonton untuk berpendapat sama.
Bila cermat mengamati, tak ada scene yang mendeskripsikan Monica sebagai perempuan berambut panjang, memakai rok, bertabur pita-pita, dan bermain boneka.
Dia muncul sebagai anak perempuan berkaos bercelana pendek, dengan perlakuan yang sama seperti saudara lelakinya ketika bermain di air. Pakaian yang nyaris selalu sama seiring dia dewasa, kaos atau atasan dan celana (panjang).
Satu-satunya penunjukkan eksplisit role perempuan agar tampak santun seperti harapan publik, adalah cara tersenyum yang tak boleh kelihatan gigi ketika difoto, itu pun baru dimunculkan pada akhir film.
Sejak kecil Monica membangun keyakinan bahwa dia anak perempuan baik-baik, dari keluarga baik-baik. Tak ada percakapan panjang lebar orang tua yang menceramahinya tentang harapan mereka kepadanya sebagai perempuan.
Semua obrolan baik di ruang percakapan maupun keseharian adalah kecemasan orang tua terhadap anak di perantauan; yang terasa hangat dan memberi perhatian. Tentang apakah sudah makan, apakah sudah minum obat, bagaimana tempat tinggalmu, termasuk pesan moral untuk beribadah.
Sampai suatu ketika, komunikasi mereka agak terganggu dan berbalut kesalahpahaman oleh sebuah pesan Papi Monica, yang menyinggung isu disforia gender tersebut. Monica terluka hatinya, merasa dicecar, lalu menjadi diam tak menjawab pesan-pesan yang dikirimkan. Ketika akhirnya dia mampu memberitahu orang tuanya ketidaksenangan menerima pesan itu, komentarnya pun tak bisa berterus terang tentang identitas gendernya, tapi lebih kepada pertanyaan kenapa video itu penuh kebencian, padahal katanya Tuhan penuh cinta.
Isu gender dan perbincangan seputar hal tersebut masih menjadi hal yang tabu, sensitif atau sulit dibicarakan di masyarakat Indonesia apapun budayanya. Meski dibahas dengan keluarga atau orang terdekat, obrolan tentang itu tak selalu menemui jalan lurus. Banyak orang memilih membicarakan, dengan membelokkan atau tersirat, yang kelak tahu-tahunya lebih memperumit permasalahan.
Why therapy? Antitesis Fakta Monik
Menjadi gila atau mengaku mental terganggu kadang digunakan orang awam sebagai jawaban agar tidak didesak pertanyaan tak perlu. Mungkin cara ini juga yang diambil Monica dengan judul film, yang diawali “My therapist said …. “
Perasaan penuh dilema, gangguan kecemasan, termasuk gangguan makan sebagai ekses dari kondisi mental akibat disforia gender yang dialami Monica menjadi latar sebagian besar film ini.
Selama tiga tahun dia menjalani terapi, ada tarik menarik antara hubungan papa mama yang hangat dan harmonis, tetapi belum mampu juga mendorongnya berterus terang sejak awal, dan semudah bila bersama keluarga barunya-sesama queer- di Berlin, Jerman.
Sebagai penonton di Indonesia, kita bisa berasumsi, mengapa hal itu bisa terjadi. Bukan hal mudah bagi Monik untuk leluasa mengekspresikan identitas gender di Indonesia, yang masih cenderung melabeli seseorang hitam putih.
Bahwa selain lelaki dan perempuan, identitas gender lain adalah aib. Pelakunya berdosa besar, patut dikucilkan, karena bertentangan dengan agama. Belum lagi peluang kekerasan berbasis gender yang mengancam sewaktu-waktu, meski negara punya kewajiban perlindungan berdasarkan perjanjian hak asasi manusia internasional.
Dari Siaran Pers Gerak Bersama dalam Data: Laporan Sinergi Database Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2023-Komnas Perempuan, data korban dengan keragaman gender dan seksualitas menunjukkan adanya 54 kasus yang dilaporkan pada periode Januari-Desember 2023. Namun, laporan tersebut masih dibilang minim karena seringkali, korban dengan identitas gender tertentu malah mengalami kekerasan berlapis ketika melaporkan kasusnya.
Bias yang terjadi pada divisi kepolisian maupun layanan pendamping diasumsikan karena belum adanya pemahaman publik bahwa kekerasan, dalam bentuk apapun, tak seharusnya dibenarkan baik itu dialami oleh perempuan cisgender, teman-teman queer, maupun siapa pun yang dianggap berbeda oleh norma dominan.

“Penerimaan”
Coming out menjadi hal yang tak mudah bagi seseorang dengan identitas gender berbeda. Umumnya mereka menyembunyikan, karena disertai kecemasan membuat anggota keluarga lain terikut permasalahan.
Identitas Gender sering disejajarkan dengan isu keluarga broken home, seperti kebanyakan prasangka tentang individu dengan identitas gender berbeda. Padahal dalam film ini, papi mami Monica saling mencintai, agamis, dan tampak bersih dari segala skandal yang mungkin terjadi.
Situasi dilematis itu jeli dieksplor Monica dalam penyusunan script film, sebab dia menyadari bahwa kebanyakan film isu LGBTQ+, model narasi kami-versus-dunia tak selalu memberi cukup ruang bagi penonton untuk mendalami perspektif lain.
Perempuan Tionghoa Indonesia, kelahiran Jakarta tahun 1991, dan tinggal di Berlin dan Jakarta ini, menulis pada postingan Instagramnya, modal awal membuat film ini hanya keinginan saja. Dengan kamera Fuji XT-4 beserta lensa 50 mm, dan beberapa materi arsip liburan keluarga yang terekam dalam mini DV. Tanpa terduga, spontanitas itu membuatnya bisa mengikuti program development Open Table dari In-Docs, bertemu mentor-mentor bagus yang mau membimbingnya, sampai mendapat bantuan pendanaan dari Seoul Pride Festival dan Open Society Foundations.
Kesempatan emas itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Monica untuk menyajikan kisah “My therapist said, I am full of sadness” dengan pendekatan karakter yang lebih intim dan realitas yang lebih keseharian, tetapi dengan tantangan yang (justru) lebih sulit dihadapi, bahkan sebelum mereka berhadapan dengan masyarakat umum. Yaitu KELUARGA.
Pilihan penyajian film dengan model tersebut ternyata menghantarkan film ini meraih Piala Citra untuk kategori Film Dokumenter Pendek terbaik pada FFI 2024 yang lalu.
“… Papi merelakan untuk cita-cita Monik dan masa depan Monik. Monik bahagia, Papi Mami bahagia.”
Ketika credit title mengakhiri film ini, saya atau mungkin juga Anda bisa memahami bahwa bentuk penerimaan terbesar Papi Mami akan Monica adalah merelakannya menjadi diri sendiri, jauh dari keluarga, dan tentunya tidak di negara yang masih melakukan stigmatisasi dan diskriminasi.
Penulis: Ivy Sudjana | Editor: Fransiska Prihadi
Discussion about this post