Ketika kecil, aku pikir, hidup itu seperti naik kereta antarkota: sudah ada karcis, rute, tempat duduk, dan tujuan pastinya. Tinggal tidur, nanti pasti bakal sampai juga. Tapi, semakin bertambah usia, aku menyadari bahwa kereta antarkota pun tidak tentu bisa membawaku ke tujuan meski sambil ketiduran. Keterlambatan, kerusakan teknis, dan kecelakaan bisa terjadi kapan saja di tengah perjalanan. Hidup pun rupanya demikian, bahkan lebih menantang. Hanya ada karcis di tangan. Sisanya? Selamat datang pada petualangan.
Itulah yang terlintas pertama kali dalam benakku ketika membaca buku Clarissa Jacobson yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Minikino menjadi Aku Bikin Film Pendek Sekarang Aku Harus Ngapain Cuk (Panduan Festival Film, Promosi, dan Petualangan). Panggilan—dengan setengah umpatan—“Cuk” di judulnya terasa begitu pas mengartikulasikan kebingungan sekaligus kegairahan para pembuat film pendek yang baru selesai memproduksi filmnya. Karena ternyata, tugas pembuat film tidak berhenti hanya sampai membuat film, tapi juga memastikan bagaimana film itu akan (dan harus!) bertemu dengan penontonnya lewat berbagai upaya promosi dan distribusi. Bagaimana caranya?

Clarissa menulis bukunya dengan gaya penceritaan yang ringan (meski berkebalikan dengan isinya, yakni: sangat berbobot). Rasanya seperti sedang menyimak curhatan dari seorang sahabat dekat: begitu detail dan blak-blakan. Bahkan, Clarissa dengan sukarela berbagi “bumbu rahasia” yang biasanya cukup disimpan rapat-rapat di dapur saja. Ia tidak hanya merentangkan obrolan soal hal dan kiat teknis mempromosikan hingga mendistribusikan film pendek ke festival, tapi juga memberi suntikan mental yang realistis bahkan kadang menamparuntuk para pembuat film pendek. Ia membagikan petualangannya bersama Lunch Ladies (2017), film pendeknya yang berhasil diputar di lebih dari 120 festival, memenangkan 45 penghargaan, dan didistribusikan ke berbagai platform di seluruh dunia.
Dari halaman pertama, rasanya Clarissa sudah duduk di samping kita dengan senyumnya yang tenang sambil bilang, “Kamu hebat!” (Ini benar-benar dia tulis di awal bukunya, btw, dan ada lebih banyak lagi kata-kata motivasi di sekujur bab yang membuat sensasi baca buku ini jadi semi-semi baca buku self-help.)
Buku ini dikemas seperti panduan, tapi rasanya lebih seperti teman perjalanan yang ramah dan benar-benar paham apa yang barangkali para pembuat film pendek hadapi. Clarissa begitu dermawan dalam membagikan pengalamannya. Sampai aku sempat berpikir, “Apa iya ini nggak apa-apa diceritakan segamblang ini?” Dari cara menghadapi penolakan, tips promosi murah meriah, sampai spreadsheet jadwal festival—semuanya dibagikan.
Ini dia beberapa “menu” dari sang produser dan penulis Lunch Ladies (2017) yang dibagi lewat buku ini.
- Film kamu ternyata memang jelek
- Bagaimana menghadapi penolakan
- Kewalahan, rasa takut, dan cara memulai promosi
- Hal-hal yang perlu dilampirkan dalam email
- Souvenir murah dan efektif untuk promosi
- Sh*t happens (kesialan pasti terjadi)
- Sepuluh “perintah” sakral untuk pembuat film
- Referensi platform promosi dan distribusi

Sebenarnya, buku ini bukan hanya panduan, tapi juga suntikan mental. Clarissa mengajak pembuat film pendek untuk siap menghadapi kenyataan sambil tetap merayakan setiap langkah yang ditempuh di sepanjang perjalanan. Pada akhirnya, bikin film pendek, sama halnya seperti kehidupan, lebih mirip seperti naik roller coaster ketimbang kereta antarkota; cuma ada karcis sekali jalan, sisanya? Selamat datang pada petualangan. Kabar buruknya, tidak ada panduan pakem untuk menghadapi setiap liuk cobaan di dalamnya. Kabar baiknya, kita selalu punya pilihan untuk terus maju dengan penuh keyakinan. Kabar baiknya lagi, buku ini bisa membantumu mendapatkan secercah keyakinan itu. Barangkali, setelah halaman terakhir, kamu tanpa ragu akan bilang, “Oke, aku tetap akan bikin film, Cuk, apa pun risikonya!”
Penulis: Hesty N. Tyas




















Discussion about this post