Dari ilmu fisika hingga hukum, kuasa merupakan satu kata yang memiliki banyak makna. Biasanya kita mengingat kuasa sebagai sesuatu yang memiliki kekuatan. Kuasa mengendalikan bola, kuasa di wilayah, atau kuasa atas diri sendiri.
Beruntungnya kalau bisa memiliki kuasa atas diri sendiri. Tapi bagaimana kalau jalannya hidup, ditentukan oleh kuasa dari orang lain? Apakah pejabat publik sudah pasti melayani rakyatnya? Apakah pemuka agama benar-benar mengamalkan kebaikan sesungguhnya?
Pertanyaan itu mencuat ketika saya menonton program S-Express 2024: Malaysia, yang memiliki 7 film. Dimulai dari Tahu Sumbat (2023) karya Feisal Azizuddin, Kumbang (2022) karya Gwai Lou, Garek (2022) karya Cech Adrea, Phone Call Man Woman (2023) karya Lim Kean Hian, Durian Trees (2023) karya Cheun Shi Chin, Dropping Ashes (2023) karya Phang Jing Xian, dan Sayang (2021) karya Roanne Woo yang diprogram oleh Yow Chong Lee yang saat ini menjadi bagian dari programmer Mini Film Festival, Malaysia.
Di antara ketujuh film tersebut, ada dua film yang menyorot perhatian saya karena menunjukan bagaimana manusia memiliki kuasa seperti piramida. Film-film tersebut adalah Tahu Sumbat (2023) dan Durian Trees (2023).
Dalam program S-Express 2024: Malaysia ini, benang antara peran kuasa manusia satu dengan yang lain dari berbagai perspektif tergambar di sini. Bagaimana kuasa bisa berperan sangat penting, menjadikan manusia lain tak berkuasa atas dirinya sendiri, menjadikannya terkurung atas kebebasan yang seharusnya.
Bayar Pajak, Untuk Siapa?
Durian Trees (2023) besutan Cheun Shi Chin mengajak kita untuk melihat bagaimana kapitalisme mengendalikan kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini, mengisahkan hilangnya hak masyarakat dalam konflik tanah tentang kepemilikan kebun durian.
Chan, karakter utama, berjuang mempertahankan hak tanahnya dari perusahaan swasta Durian Diraja. Awalnya, pemerintah memerintahkan para petani, termasuk Chan, untuk menyiapkan lahan perkebunan durian. Namun, mereka diusir setelah perusahaan swasta mengklaim tanah tersebut. Meskipun rutin membayar pajak tanah, Chan tidak menyerah dan mencari surat kepemilikan tanah sebagai bukti bahwa tanah tersebut miliknya. Akhirnya, ia menemukan sertifikat tanah tersebut.
Surat tanah yang ditandatangani oleh Dato, seorang pejabat tanah, membuat Chan nekat pergi ke kota sendirian untuk menemui Dato. Namun, Dato justru sibuk menanyakan kepada pegawai perusahaan Durian Diraja tentang kebun durian baru, yang berkaitan dengan hak tanah yang diperjuangkan Chan. Usahanya menemui Dato dengan motor butut tidak membuahkan hasil, karena Dato mempertanyakan asal usul tanda tangannya dan menyatakan bahwa sertifikat itu sudah usang dan tidak dapat digunakan akibat perubahan kebijakan.
Bagi saya, Cheun Shi Chin sebagai sutradara benar-benar memposisikan dirinya sebagai rakyat yang turut mengalami keresahan dengan sistem kapitalis di pemerintahan. Ia seolah tahu bagaimana pemerintah memainkan regulasi, memberi terhadap pihak yang menguntungkan untuk mengisi perut pemangku kebijakan. Seperti yang digambarkan pada film ini. Kebijakan yang seharusnya dirumuskan untuk kepentingan bersama, sepertinya tidak menjadi agenda untuk didiskusikan. Mungkin, mobil apa yang perlu dibeli untuk kunjungan pemerintahan lebih menjadi urgensi. Mungkin, ya.
Chan dipaksa pergi dan surat tanahnya disobek-sobek, gugatan yang dilayangkan oleh para petani durian terhadap perusahaan Durian Diraja jelas tidak ada gunanya. Para petani seolah tidak memiliki kekuatan apapun, meskipun kebun durian itu adalah milik mereka.
Seperti biasa, kita yang rakyat biasa tak bisa apa-apa, Mahkamah Agung akhirnya memutuskan bahwa pemerintah berhak menyewakan tanah ke Durian Diraja. Film ini ditutup dengan sangat pilu karena Chan akhirnya nekat membakar seluruh kebun durian miliknya.
Konflik agraria yang terjadi di Malaysia ini, bukanlah hal baru yang juga dialami oleh masyarakat Indonesia. Negara bertetangga, dengan rupa-rupa konflik yang sama, miris sebenarnya. Biasanya, karena hal ini, yang dirugikan justru masyarakat yang akhirnya terlempar dari tanahnya sendiri dan terpaksa menjadi tenaga kerja upah murah.
Film serupa yang membuat saya teringat dengan masalah agraria yang berjudul Tanah Ibu Kami (2020) oleh The Gecko Project merupakan gambaran dekat dengan Durian Trees. Film dokumenter Tanah Ibu Kami juga mengangkat kisah perlawanan perempuan adat untuk mempertahankan wilayahnya terhadap ancaman eksploitasi sumber daya alam.
Saya rasa film Durian Trees menggambarkan aksi-reaksi pilu bagaimana sedihnya harus pergi dari rumah sendiri, setelah berpuluh-puluh tahun membayar pajak, menaati regulasi, yang sebenarnya tidak ada artinya di mata penguasa. Bagaimana pemerintah (hampir) tidak pernah memenuhi kewajibannya, selain menuntut hak mereka sebagai pemangku kebijakan.
Kekerasan Dengan Dalih Ketuhanan?
Tahu Sumbat (2023) karya Feisal Azizuddin merupakan film pembuka dalam program S-Express 2024: Malaysia. Film ini berlatar waktu bulan Ramadhan yang identik dengan bulan suci dalam agama Islam. Terdapat dua karakter utama yaitu seorang anak laki-laki bernama Daus, dan Mia yang dikenal Daus sebagai kakak perempuan. Daus dan Mia bukanlah adik kakak dalam hubungan biologis, namun keduanya berteman dekat.
Dalam film ini, terdapat satu tokoh sentral yang “mengendalikan” kehidupan Daus, yaitu pamannya. Hal ini dipraktikkan melalui regulasi yang diberi oleh pamannya, yaitu Daus hanya diperbolehkan untuk bermain sebelum azan asar berkumandang. Lebih dari itu, Daus akan “dihukum” oleh pamannya.
Suatu hari, Daus pulang terlambat, pamannya yang telah menunggu langsung memarahinya. Daus bilang, bahwa ia telah salat asar, dan pamannya tidak perlu “menemani” Daus untuk berwudhu. Namun, pamannya bersikeras untuk menemani Daus berwudhu dan berkata bahwa Daus tidak boleh berbohong saat bulan puasa. Mau tidak mau, Daus terus menuruti apa kata pamannya.
Curiga dengan apa yang dilakukan sang paman terhadap Daus, Mia mencoba untuk mengintip dari toilet yang tidak memiliki atap itu. Namun sayangnya, Mia terpeleset, dan meninggal dunia.
Meskipun tidak digambarkan secara eksplisit, ada kecurigaan terhadap tindakan paman Daus setiap kali azan Asar berkumandang, terutama setelah Mia terkejut saat mengintip mereka di toilet. Jika Daus hanya berwudhu, Mia tentu tidak akan terkejut hingga terjatuh. Kecurigaan saya semakin kuat ketika sang paman selalu ingin menemani Daus berwudhu di toilet dengan pintu tertutup, karena wudhu umumnya dilakukan di tempat terbuka di masjid atau musala, tanpa sekat antara satu dengan yang lain, kecuali pemisahan antara laki-laki dan perempuan.
Melihat kembali runtutan kejadian dengan apa yang diperintahkan paman Daus terhadap Daus. Saya melihat karakter Daus hidup di bawah tekanan. Di mana ada relasi, di situ ada kekuasaan, dan kekuasaan biasanya diwujudkan melalui pengetahuan. Pengetahuan dalam praktiknya seringkali digunakan untuk melanggengkan kekuasaan. Dalam konteks film ini, alih-alih mengajarkan yang benar, pamannya Daus justru menggunakan ilmu agama sebagai “alat” untuk memanipulasi Daus bagaimana cara Daus memandang apa yang benar dan salah.
Dalam relasi antar individu, pengetahuan tentang diri sendiri dan orang lain dapat menciptakan kekuasaan secara bersamaan, paman Daus yang melabeli diri dengan apa yang ia lakukan terhadap Daus adalah benar, tidak lain karena usia pamannya yang melampaui umur Daus yang masih anak-anak. Apabila sang paman betul-betul ingin mengajari tata cara berwudhu yang baik dan benar, saya yakin tidak perlu dilakukan terus menerus.
Terlepas dari sudut pandang yang mungkin berbeda sesama manusia. Saya percaya bahwa setiap makhluk hidup ingin memiliki kuasa atas apa yang kita punya, atas apa yang memang menjadi milik kita. Hal itu membawa kita berbagi pengalaman hidup, dan merefleksikan memori, termasuk melihat apa yang diproyeksikan di layar melalui film Durian Trees (2023) dan Tahu Sumbat (2023).
Kedua film dalam program ini mengingatkan saya tentang bagaimana kuasa berperan besar dalam membangun struktur sosial bahkan skala terkecil dalam kehidupan. Keluarga tak serta menjadi lingkungan yang aman dan adil, apalagi konflik dengan pemerintah yang kekuasaannya jauh lebih besar.
Durian Trees (2023) dan Tahu Sumbat (2023) menggunakan interaksi sebagai aspek utama untuk menggambarkan bagaimana relasi kuasa bisa langgeng dalam kehidupan bermasyarakat. Dari dinamika antara negosiasi serta kompromi pejabat dengan rakyat hingga dialog paman dengan keponakan, keduanya menampilkan interaksi yang timpang. Ada satu pihak yang menyalahgunakan kuasa untuk mencapai tujuannya, merenggut apa yang bukan menjadi milik mereka.
Discussion about this post