“Dianggap penting, tetapi kadang terlupakan,” Begitulah cara jurnalis Elsa Emiria Leba membuka tulisannya yang berjudul “Jalan Panjang Film Pendek”, mengenai bagaimana masyarakat memandang film pendek. Jika tidak dimainkan dalam film festival bergengsi seperti Cannes atau Venice, dalam kurun waktu 2-3 bulan film-film ini akan perlahan menghilang dalam radar pembicaraan. Padahal film pendek yang kerap tidak dibuat untuk kepentingan pasar mempunyai kebebasan lebih dalam seni bercerita; yang memungkinkan pembuat film lebih bebas dalam menyampaikan pendapat baik dalam tema dan juga tekniknya.
Program S-Express 2024: Indonesia yang diseleksi oleh Fransiska Prihadi mewakili Minikino sepertinya menegaskan kekuatan seni bercerita tersebut. Membuka program ini dengan catatan yang bertuliskan bahwa film-film yang terpilih dalam lineup ini adalah sebuah perayaan terhadap “keahlian luar biasa mereka (pembuat film) dalam pembuatan film pendek”. Mengajak penonton untuk melihat potensi yang dapat ditawarkan film pendek walaupun dengan durasi yang terbatas.
Alegori Dalam Cerita
Saat dulu bersekolah, guru Bahasa Indonesia saya pernah berkata bahwa sebuah tulisan yang menarik—baik fiksi, non-fiksi, ataupun puisi—adalah gaya bahasa yang digunakan penulis. Film juga seperti itu, di mana gaya bercerita adalah elemen penting untuk membuat penonton tersedot masuk ke dalam dunia sinematik yang ditawarkan pembuat film. Salah satunya adalah gaya bercerita menggunakan alegori.
Pembuka Blue Poetry (2023) karya Muhammad Heri Fadli terasa tidak begitu asing dengan dunia yang kita tinggali di mana seorang nelayan bernama Ucup mencoba menghidupi keluarganya dengan menangkap ikan untuk bertahan hidup. Namun di tengah film, penonton dapat memperhatikan kejanggalan dan sadar bahwa ikan adalah sampah, dan sampah adalah ikan. Di akhir hari, sampah yang ditangkap dijual kepada penduduk desa dan sisanya dikonsumsi oleh keluarga Ucup sebagai sumber nutrisi.
Penukaran fungsi objek yang digunakan dalam Blue Poetry tidak sekedar berfungsi untuk membuat penonton penasaran dengan konsepnya yang unik, namun juga berguna dalam menyampaikan pesannya terhadap keadaan bumi yang semakin mengkhawatirkan. Mendorong penonton untuk berpikir kritis bahwa sampah plastik tidak hanya mempengaruhi alam saja, tetapi segala makhluk hidup yang tinggal di bumi termasuk kita. Jika penjelasan di atas belum cukup untuk membujuk penonton, sekuens terakhir dalam film 18-menit ini tentu akan membuat penonton merenung terhadap kerusakan yang sudah kita lakukan selama ini.
Domio Instano Extendido (2023) karya Gugun Arief juga menggunakan teknik bercerita yang sama namun untuk efek yang berbeda; memakai alegori secara hiperbolik untuk mengkritik kondisi Indonesia di masa kini. Animasi pendek 11-menit ini berlatar di Negara Wakuwaku yang mempunyai undang-undang bahwa rakyat hanya boleh mengkonsumsi mie halal “Javomie”. Namun disaat Senior Sekte Caping Montanus memakan mie terlarang yang ditawarkan oleh Disastrus—seorang pria yang dianiaya karena penistaan agama—Montanus langsung kehilangan kepercayaannya dan diburu oleh negara karena aksinya.
Harus saya akui bahwa terkadang saya kehilangan fokus di beberapa momen saat menonton. Bagaimana tidak? Premisnya yang absurd dan juga narasi Jepang KW sepanjang film membuat saya terus tertawa terbahak-bahak. Namun dibalik semua komedi yang ditawarkan, tema yang diangkat Domio Instano Extendido sebenarnya cukup menuai pro dan kontra di dalam masyarakat kita. Dapat saya bayangkan jika sutradara menggunakan pendekatan dengan cara yang serius dan mungkin saja film ini dapat dicap sebagai kontroversial oleh kalangan tertentu. Tetapi penggunaan mie instan sebagai MacGuffin untuk menggerakan narasi, membuat film ini terasa ringan dan di saat yang bersamaan masih dapat menyampaikan pesannya yang efektif mengenai kuasa dan agama.
Penggunaan Teknik Non-Konvensional
Berdasarkan pengalaman saya menonton film panjang di bioskop atau platform OTT, jarang sekali sutradara mencoba mengaplikasikan teknik non-konvensional ke karyanya. Ada berbagai alasan, tetapi yang paling utama adalah ketakutan para produser dan distributor bahwa teknik tersebut dapat menjadi sebuah kelemahan di saat mereka ingin memikat berbagai kalangan pasar. Berbeda dengan film pendek di mana filmmaker mempunyai kanvas untuk bereksperimen teknik bercerita mereka sebagai bentuk ekspresi.
Teknik yang digunakan Science Around Us (2021) karya Arif Abdillah mungkin tidak terkesan begitu segar mengingat sudah ada beberapa film panjang yang menggunakan one-take secara keseluruhan seperti Macbeth (1982) karya Béla Tarr atau 1917 (2019) karya Sam Mendes. Namun, terasa jelas intensi sang sutradara mengapa ia ingin mengambil film ini dalam one-take. Bercerita mengenai Budi, pria Indonesia paruh baya yang bekerja di Belanda sebagai pemilik Airbnb yang mencoba membujuk ayahnya di Indonesia untuk berobat sambil membersihkan pesta liar kemarin malam sebelum tamu selanjutnya datang; dan semua ini harus dilakukan dalam 20 menit.
Persis dengan durasi film pendek ini, Science Around Us berhasil memberikan efek tegang dan cemas. Membuat penonton bertanya-tanya apakah Budi berhasil melakukan kedua hal tersebut dalam waktu yang terbatas. Bayangkan saja jika sutradara Abdillah menggunakan teknik konvensional dengan mengambil berbagai kamera angle dan menyatukannya di editing. Tidak akan penonton merasakan Sense of urgency tersebut akibat hilangnya kesan realisme long take yang bertujuan untuk membangun ketegangan penonton.
Trashtalk (2023) karya Rizqullah Ramadhan Panggabean juga menggunakan teknik non-konvensional dalam bercerita yaitu screenlife. Sebuah teknik yang dipopulerkan oleh sutradara-produser Timur Bekmambetov—pemilik Production House Bazelevs yang mendanai film Unfriended (2015), Searching (2018) dan Profile (2018)—screenlife adalah konsep cerita visual di mana semua nya terjadi di layar; baik itu komputer, tablet ataupun smartphone. Pemenang Minikino Begadang Filmmaking Competition 2023 ini bercerita mengenai Sulis si tukang sampah yang mengupload kehidupan sehari-harinya lewat WhatsApp Story.
Penonton ditempatkan dalam sudut pandang pertama yang setidaknya sekedar tahu tentang Sulis. Menghabiskan waktu scrolling di sosial media dan kebetulan melihat story yang diupload olehnya. Keluh kesahnya membuat kita sadar mengenai kehidupan seorang tukang sampah yang direndahkan oleh masyarakat dan dijauhi hanya karena statusnya. Konsep storytelling yang digunakan sutradara membuat saya merasa dekat dengan Sulis mengingat dia ada di dalam “daftar kontak”; membangun simpati tidak hanya kepada tokoh utama namun juga yang sudah berjasa membuat lingkungan kita bersih dan nyaman.
Mengungkap Tabu
Tidak dapat dipungkiri beberapa tahun terakhir film-film pendek Indonesia terasa lebih berani dalam berekspresi. Berfokus kepada isu-isu yang sepertinya masih tabu untuk dibicarakan dalam lingkungan masyarakat. Film penutup program S-Express 2024: Indonesia Bising (2023) karya Amar Haikal dapat dibilang masuk ke dalam radar tersebut.
Pemenang kompetisi nasional Minikino Film Week ke-9 ini bercerita mengenai remaja bernama Dewo dan pemilik bengkel Gunawan yang baru saja kehilangan sesuatu berharga dalam hidupnya. Babak kedua film ini penuh dengan keheningan, hanya terisi sepatah dua kata untuk menghindari kecanggungan; membuat saya penasaran apa yang sebenarnya bikin bengkel ini spesial. Pertanyaan saya semua terjawab di saat film mencapai klimaks yang sederhana namun tak terpikirkan oleh saya sebagai penonton bahwa Dewo hanya butuh tempat untuk pelampiasan emosinya.
Bukan sebuah kebetulan bahwa film ini ditempatkan sebagai film penutup oleh programmer. Dengan teknik pengambilan gambar yang cukup konvensional dan juga latar filmnya yang kita alami sehari-hari, Bising mungkin tidak begitu menonjol jika dibandingkan dengan film-film sebelumnya. Namun saya merasa film pendek karya mahasiswa film Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ini paling menyentuh; mengingat posisi saya sebagai laki-laki yang masih dikelilingi stigma konservatif bahwa pria harus selalu terlihat kuat. Mengangkat masalah toxic masculinity yang memang seharusnya dibicarakan lebih dan lebih lagi di negara kita.
Kelima film yang ditayangkan cukup mencakup kekuatan-kekuatan film pendek Indonesia melalui alegori, teknik non-konvensional dan juga isu-isu tersembunyi di negara kita. Aspek-aspek yang telah saya tulis di atas tentu tidak mencakup potensi-potensi lain yang dapat ditawarkan film pendek. Namun sepertinya program yang ditawarkan Fransiska Prihadi adalah sebuah selebrasi yang patut kita banggakan terhadap berkembangnya film pendek dalam negara kita; terutama sebagai seni yang mengedepankan ekspresi filmmaker dalam bercerita dan menyentuh hati penonton.
Discussion about this post