Ada satu pengalaman yang cukup melekat di kepala saya ketika demonstrasi Omnibus Law di Jogja tahun 2020. Kala itu menjelang sore di Malioboro, demonstran ketar-ketir dipukul mundur aparat negara. Saya lari-lari bersama beberapa kawan dari Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan demonstran lainnya sambil ngobrol-terengah. Dan di sela obrolan ada seseorang kawan dari AMP yang nyeletuk “tenang saja kawan, kita masih di Jawa. Kalau di Papua, ditembak mati sudah kita ini”.
Satu celetukan itu rasanya merangkum banyak cerita yang belum saya tau-menau tentang Papua. Saya punya keyakinan, apa yang menyatukan seluruh umat manusia adalah cerita. Kita memahami dunia dan tempat kita hidup dengan mengolah pengalaman-pengalaman menjadi sebuah cerita. Dari cerita kita dapat terhubung dengan orang lain dan tentu menemukan kembali siapa jati diri kita. Dalam konteks sedikitnya pengetahuan dan cerita yang saya dengar tentang Papua dan relasinya dengan Indonesia. Saya merasa terhubung dengan Papua di dalam sebuah kesadaran: kemudahan akses dan kenyamanan yang saya dapatkan di Jawa, ditopang oleh penindasan dan penderitaan yang dialami masyarakat adat dan mama-mama di Papua sana.
Kesadaran itu membawa saya pada sikap solidaritas, empati dan upaya penuh untuk mendengarkan kisah tentang Papua. Terlebih seperti yang dikatakan antropolog asal Maori, Linda Tuhiwai Smith dalam bukunya Decolonizing Methodologies: Research and Indigenous Peoples (1999). Cerita tentang masyarakat adat (terutama) yang tertindas, memiliki peran sentral dalam upaya memahami dunia mereka. Hal ini berkaitan dengan cara masyarakat adat memahami dunia yang berakar pada tradisi naratif yang merangkum nilai, pengetahuan, dan hikayat penindasan. Dengan adanya banyak kasus penindasan masyarakat adat di Papua atas nama pembangunan oleh pemerintah Indonesia, apa yang dikatakan Smith tentu relevan.
Teknologi film yang berbasis audio-visual pun dapat memfasilitasi kebutuhan bercerita ini. Sehingga dengan bantuan teknologi, cerita menjadi punya banyak kemungkinan untuk dipresentasikan. Ketika saya mendapat informasi akan ada tiga film pendek karya Iam Murda, Miki’s Hope (2018), Mimpi Untuk Negeriku (2020), Romawa For (2021) ditayangkan dalam MMSD Mei, saya semangat sekali ingin menonton. Terlebih, film-film asal Papua jarang sekali muncul di ruang pemutaran alternatif seperti MMSD sekalipun. Tentu bukan karena Minikino tidak memberi ruang, terakhir Fransiska Prihadi dalam MMSD membuat program film “Suara Perempuan Papua” pada tahun 2015 bekerja sama dengan Papuan Voices dan EngageMedia.
Kesempatan langka ini, membuat saya ingin melihat bagaimana Iam Murda sebagai sutradara asal Jayapura dalam mengemas kisah-kisah dari Papua sebagai representasi masyarakat Papua. Selain pertanyaan “bagaimana”, dalam konteks isu representasi saya rasa penting juga untuk mengajukan pertanyaan “siapa bercerita tentang apa?”. Oleh karenanya dalam tulisan ini, posisi Iam Murda sebagai sutradara dan latar belakangnya yang saya ketahui lewat diskusi setelah pemutaran di Mash Denpasar pada 20 Mei 2022 jadi konteks yang penting.
Simbol-Simbol Ketercerabutan
Kemungkinan yang dihadirkan oleh teknologi film bisa berupa kemudahan dalam proses pembuatan cerita menjadi karya gambar bergerak. Tak terkecuali, kemungkinan lainnya untuk menghadirkan bahasa-bahasa simbolis yang tidak jarang memperluas konteks sebuah cerita. Dalam film Miki’s Hope simbol-simbol hadir secara sporadis dalam mimpi yang berwarna yang hitam putih. Simbol-simbol itu ada di dalam kepala Miki, berbentuk lokasi seperti pasar, diskotik, hutan, hutan yang hancur, sekolah, gereja, masjid yang bisa saya simpulkan sebagai serba-serbi simbol dari dunia yang Miki alami.
Dari permainan simbol dalam Miki’s Hope, saya menangkap kegelisahan yang (mungkin) sangat personal. Prihal ketercerabutan yang menjadi bayang-bayang setiap orang yang beririsan dengan pembangunan dan urbanisasi. Dua hal itu datang sepaket dengan mobilitas yang semakin lentur. Fenomena merantau jadi lumrah, dan Miki sebagai tokoh utama dijelaskan oleh Iam sebagai seorang yang merantau mencari ilmu.
Ilmu yang berguna adalah ilmu yang bermanfaat bagi sekitar. Diktum ini menjadi keyakinan yang diwakilkan oleh simbol tunas kelapa yang selalu dibawa-bawa oleh Miki di sepanjang film. Tunas kelapa sendiri menyimbolkan kebermanfaatan, karena pohon dikenal sebagai pohon seribu manfaat. Mulai dari daun, buah, hingga pohonnya dapat memberikan manfaat yang banyak bagi makhluk hidup. Tapi Miki yang membawa tunas kelapa adalah Miki di dalam mimpi.
Dan bagi saya yang menarik dari film ini adalah bagian akhir ketika Miki terbangun dari mimpinya. Miki memandangi pakaian adat (saya tidak tau namanya) dan kita akan melihat teknik Montase Eisensteinian. Ketika pakaian adat yang digantung di tembok, ditampilkan bergantian dengan adegan seseorang yang bermain Kecapi Mulut (saya akrab dengan suaranya karena mirip Karinding dari Sunda). Setelah itu, bergantian lagi dengan adegan mama-mama yang bernyanyi tentang “anak yang pergi”. Rangkaian adegan yang disusun sedemikian rupa bagi saya berhasil melahirkan sebuah makna baru: Miki telah menggantungkan identitasnya. Tak ayal lagi air mata yang dikeluarkan Miki adalah kesedihan atas ketercerabutan yang terjadi dalam dirinya.
Ketercerabutan nampaknya menjadi isu yang personal bagi Iam. Iam sendiri berkuliah dan mengenal film di IKJ. Ia kemudian kembali ke Jayapura dan menjadi dosen di ISBI Tanah Papua. Saya tidak begitu mengerti bagaimana relasi Iam dengan Jayapura terbangun. Yang saya tau dari diskusi pasca pemutaran filmnya, sepertinya ada semacam relasi yang cukup kuat antara Iam dengan kota Jayapura, sehingga ia berkeinginan untuk membangun budaya film fiksi di sana.
Latar belakang Iam yang merupakan dosen, dancer dan juga musisi yang cukup terkenal, saya anggap sebagai modal yang baik untuk membangun jejaring. Titik berangkat Iam juga jelas, “kota Jayapura adalah kota urban, tapi budaya produksi film fiksi belum banyak berkembang di sini”. Usaha dan semangat ini tentu baik dan patut didukung. Karena suatu kota dengan budaya sinema yang baik, saya yakin punya banyak potensi untuk menunjang keberlangsungan ekonomi dan budaya suatu kota. Namun, sebelum ke sana, dua film setelah Miki’s Hope membawa saya pada kegelisahan yang nampaknya perlu saya utarakan. Terutama soal budaya film seperti apa yang ingin dibangun?
Teknologi Film dan Strategi kontrol
Untuk menyertai pertanyaan itu, saya akan menjelaskan hal-hal membuat saya gelisah. Pertama, film Mimpi Untuk Negeriku, dan Romawa For adalah film yang didanai oleh Pemerintah Indonesia. Modal produksi kedua film ini penting untuk disinggung karena pemilik teknologi juga pengampu rezim nilai. Teknologi bukanlah sesuatu yang netral, ia tidak pernah bebas nilai karena ia produk buatan manusia yang tindak-tanduknya selalu bernilai politis.
Konsekuensinya muatan simbolis di beberapa scene dalam kedua film ini yang terasa kental nuansa nasionalisme Indonesia-nya. Misal dalam Mimpi Untuk Negeriku ada dialog di antara tokoh utama anak-anak yang masih sekolah dasar dengan dengan seorang fotografer (wartawan) mengenai cita-cita. Percakapan itu terjadi dalam pengadeganan yang politis. Jika kita jeli melihat mise-en-scène-nya kentara bagaimana Iam menghadirkan bendera Indonesia diatas percakapan tentang cita-cita perubahan. Anak-anak itu bilang pada si wartawan ingin menjadi gubernur dan ingin jadi guru. Dan bendera merah putih “gagah” berkibar-kibar ditengah atas layar, melatarbelakangi percakapan itu.
Selanjutnya dalam film dokumenter Romawa For, kegiatan adat Apen Bayeren yang sarat akan nilai-nilai kesetiaan dan kekeluargaan. Iam memilih menempatkan retorika penghargaan dari kementrian kebudayaan Indonesia sebagai informasi yang pertama hadir dalam filmnya. Foto dan berita-berita bombastis tentang Apen Bayeren sebagai kegiatan adat yang perlu dirawat, terkotakan dalam kepentingan rekognisi negara dan perspektif turisme.
Kehadiran muatan simbolis ini tentu karena keterikatan Iam sebagai sutradara dan pemerintah Indonesia yang menyediakan modal untuk perangkat teknologinya. Hal-hal tersebut, sayangnya berakibat pada kaburnya isu yang menurut saya bisa dieksplor lebih jauh. Seperti isu yang ditawarkan dalam Mimpi Untuk Negeriku perihal pendidikan di masyarakat pesisir (Kampung Enggros) dan problem sampah di Kampung Enggros beserta hutan perempuan (Tonotwiyat) yang sedikit saja disinggung sebagai latar dalam film. Lalu perihal nilai tradisi dan pentingnya budaya tutur dalam Romawa For. Semuanya isu ini seakan dapat selesai jika negara “hadir”. Sebagai penonton, saya rasa tidak berlebihan jika mempermasalahkan hal-hal simbolis yang subtil ini. Karena Iam sendiri sadar jika simbol itu kuat (kalau tidak kenapa membuat film seperti Miki’s Hope).
Padahal di satu sisi, saya melihat film ini menawarkan hal yang signifikan dalam produksi film “arus pinggiran” terutama tentang penggunaan bahasa daerah. Penggunaan bahasa daerah bagi banyak Indigenous filmmaker adalah kekuatan. Beberapa Indigenous filmmaker dari dataran artik seperti Liisa Holmberg, Pipaluk K. Jørgensen, dan lain-lain, misalnya sepakat jika, “Indigenous Language in film, is what makes Indigenous Storytelling unique and powerful. Language – the first thing colonisers attack and try to destroy. Hard for Hollywood to appropriate or spin that”.
Pentingnya bahasa tersebut, saya rasa juga perlu diiringi dengan perhatian dan pemahaman bahwa film (secara teknis) punya bahasanya sendiri. Teknologi dan gaya tutur yang dihadirkan mestinya mengikuti konteks lokal, dan tidak memanjakan rezim tatapan yang dominan. Apa urgensinya penggunaan drone kalau tidak diiringi dengan narasi kedekatan masyarakat dengan lanskap geografisnya? Dalam Miki’s hope penggunaan drone masih dapat diterima, karena ia menangkap lanskap penting lingkungan sekitar Miki. Tapi di kedua film lainnya, drone hanya mengisyaratkan sebuah keberjarakan dan pengeksposan lanskap yang berlebih.
Jayapura seperti Iam katakan adalah kota urban, meski begitu dalam konteks sinema Indonesia, posisinya tetap ada di pinggiran (sidestream). Karenanya, muncul kebutuhan untuk menyikapi keberadaan produksi audio-visual arus pinggiran yang posisinya berada di balik bayang-bayang industri arus utama (mainstream) dan politik selera pusat (Jakarta atau jaringan bioskop). Terutama ketika film arus utama tentang Papua diisi oleh film-film yang disponsori pemerintah Indonesia dan film industri bioskop yang sarat akan diskriminasi rasial serta retorika cita-cita pembangunan.
Yang di butuhkan adalah film yang mampu melawan hegemoni narasi tentang Papua itu sendiri. Salah satu opsinya, dengan memproduksi film-film yang dibuat dalam perspektif adat sebagai akar dalam hubungan sosial, dengan dampak potensial pada komunitas lokal. Saya tidak sedang mencoba berbicara mewakili masyarakat adat Papua. Tapi pengetahuan saya tentang sejarah panjang penindasan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia melalui pencerabutan geografis melalui pembatas-batasan wilayah (dalam retorika otonomi khusus), penghancuran ekologis melalui ekstraksi besar-besaran terhadap tanah, rasisme dan penghapusan budaya, perlu direspons serius.
Muak juga rasanya ketika harus mengkonsumsi film-film semacam Tikam Polisi Noken (2022) yang melegitimasi negara Indonesia sebagai juru selamat. Apalagi ternyata Iam Murda terlibat dalam penulisan naskahnya. Apakah saya harus memahfum pilihan Iam untuk “main aman” karena tegangan politis yang terjadi di Papua Barat? Ketika ada keinginan untuk membangun budaya film di Jayapura, harapan saya Iam juga tidak tercerabut dari penghayatan perjuangan masyarakat adat di Papua yang memperjuangkan hak hidupnya.
Sampai sini, saya ingin kembali bertanya “budaya seperti apa yang ingin dibangun?” Karena jika terus dibayang-bayangi oleh sinema arus utama Indonesia, budaya sinema di Papua (takutnya) hanya akan jadi aparatur untuk mengukuhkan dan melipatgandakan kekuatan kekuasaan. Kalau tidak ingin seperti itu, maka saya ingin kembali lagi ke simbol buah kelapa yang selalu dibawa-bawa Miki dalam Miki’s Hope. Buah kelapa sekuat apapun dia juga butuh tanah, air dan ruang yang tepat untuk tumbuh. Buah kelapa harus selalu terikat dengan bumi-tanah dan ekosistemnya. Semoga juga buah kelapa (baca: pengetahuan dan teknologi film) yang ada di tangan Iam bisa selalu terikat dengan bumi-tanah dan masyarakat di Papua.
Discussion about this post