Penerimaan diri bukan hanya penting, tetapi juga kunci untuk tumbuh dalam hidup. Tak jarang, kenyataan tidak selalu sesuai harapan, namun kita harus belajar menerima apa yang sudah ada. Dalam proses ini, terutama bagi anak-anak yang masih berada dalam fase egois dan belum sepenuhnya memahami kenyataan, penerimaan diri bisa menjadi tantangan tersendiri.
Hal tersebut sangat terasa ketika saya menonton Mein Papa Fährt Ferrari (Philip Ivancsics, 2024), sebuah film pendek yang sederhana namun menyentuh, dengan tokoh-tokoh yang terasa apa adanya. Film ini dengan halus menggambarkan perjalanan emosional anak-anak yang masih harus belajar melepaskan ekspektasi dan menerima realitas kehidupan, meski seringkali terasa tidak adil atau membingungkan bagi mereka.
Cerita dimulai dari 2 anak, Nico dan Luisa yang bermain menendang kotak bekas minuman sepulang sekolah. Mereka sedang membincangkan kekesalan terhadap tugas esai yang diberikan oleh guru mereka – sebuah tugas untuk mendeskripsikan ayah masing-masing. Tidak ada yang tahu apa ditulis Nico dan Luisa dalam esainya. Namun dalam percakapan sepulang sekolah itu, Nico dan Luisa saling membandingkan ayah mereka. Nico berkoar-koar jika ayahnya adalah seorang pemburu yang hebat dalam menembak. Sementara itu, Luisa berkata jika ayahnya memiliki mobil Ferrari. Kedua tokoh ini berusaha menunjukkan jika mereka memiliki hidup yang lebih ideal dengan mengadu kualitas sosok ayah. Akan tetapi, hal tersebut hanyalah imajinasi anak-anak belaka.
Tanpa set-up yang bertele-tele, cerita kemudian berlanjut ke suatu kejutan. Kakek-kakek yang selama ini menjemput Nico setiap pulang sekolah adalah ayahnya, serta mobil Ferrari yang selalu dipamerkan oleh Luisa adalah sebuah mobil usang. Atas kejutan tersebut, maka runtuhlah sisi ideal yang berusaha ditunjukkan Nico dan Luisa. Ini adalah momen penting dalam film, yang mana imajinasi anak-anak bertabrakan dengan kenyataan. Imajinasi memang memainkan peran penting dalam kehidupan anak-anak, namun kenyataan seringkali lebih kompleks dan beragam dari apa yang bisa mereka bayangkan.
Tidak dijabarkan secara detail alasan mengapa ayah Nico bisa menjadi setua itu, atau kemana perginya ayah Luisa yang hanya meninggalkan mobil usang. Mein Papa Fährt Ferrari lebih menitikberatkan pada bagaimana tokoh Nico dan Luisa berusaha menerima keadaan tersebut. Nico menjadi lebih tenang dan tidak lagi merasa malu, saat diyakinkan oleh Luisa, jika dirinya juga tidak seideal itu – karena ketiadaan ayahnya. Mereka saling memahami dan mendukung satu sama lain dalam menerima ketidak-idealan masing-masing. Pertemanan dalam film pendek ini digambarkan sebagai solusi yang lebih organik bagi anak-anak dalam menghadapi kenyataan.
Sedari awal, Nico ditunjukkan begitu dekat dan menyayangi sang ayah, namun dia merasa tertekan untuk memenuhi gambaran ideal tentang ayahnya. Akan tetapi, pada akhir cerita, Nico menunjukkan cara menyetir mobil pada Luisa, seperti yang selalu diajarkan oleh ayahnya. Nico belajar menerima keadaan di sekitar dirinya, membagi pengalaman dan merayakannya bersama Luisa. Melalui peran yang antusias dari Maximilian Reinwald sebagai Nico dan Nora Reidinger sebagai Luisa saat berpura-pura menyetir, film pendek ini diakhiri dengan begitu menyenangkan.
Mein Papa Fährt Ferarri adalah salah satu film pendek dalam nominasi MFW 10 Best Children’s Short, bersama dengan Somni (Sonja Rohleder, 2023) dan Happy New Year (Saki Muramoto, 2023). Penempatan film pendek ini sebagai salah satu nominasi menurut saya sangat tepat. Sebab film pendek ini adalah salah contoh yang esensial dari bagaimana film anak-anak dapat menawarkan perspektif yang menginspirasi tentang pengalaman manusia yang universal. Akan menarik rasanya untuk melihat bagaimana respons anak-anak memaknai orang tua mereka setelah menonton film ini.
Philip Ivancsics, sutradara Mein Papa Fährt Ferarri, berhasil menyajikan sebuah film pendek yang sederhana namun terasa reflektif tentang penerimaan diri pada anak-anak. Jika ada yang belum selesai tentang film ini, mungkin itu adalah isi esai dari Nico dan Luisa. Saya sangat penasaran dengan apa yang mereka tulis tentang ayah mereka. Namun, jika dibayangkan, film pendek ini tampaknya menjadi pengantar esai yang sempurna bagi keduanya.
Discussion about this post