Hidup di negara yang cukup sering mengintervensi masalah moral masyarakatnya, membuat kita mau tak mau harus mematuhi batas-batas moral yang pemerintah terapkan, termasuk dalam hal menonton. Apa yang boleh dan tidak boleh ditonton diatur oleh negara. Sehingga tidak mungkin rasanya kita melihat adegan ciuman di tayangan televisi, juga pada film-film bioskop (meskipun ironisnya ada banyak adegan syur dalam film seks-berhantu yang lulus sensor dan direkam jelas oleh mata penonton).
Selain gambar-gambar yang dianggap tak senonoh, arena kuasa sensor pemerintah juga mencakup hal-hal yang dianggap berlawanan pada Pancasila dan nilai-nilai agama. Misalnya, di layar TV tidak mungkin kita menyaksikan film yang mengajarkan ideologi komunisme atau bercerita soal seorang ateis yang hidup bahagia sampai akhir hayatnya. Kita tentu belum lupa akan aksi pemotongan pita pada film Perempuan Punya Cerita yang ketika itu hendak ditayangkan di bioskop. Dalam film itu banyak adegan yang dipotong karena dianggap bertentangan dengan susila. Tidak menjunjung nilai moral sebagaimana yang berlaku di Indonesia. Padahal, guntingan-guntingan itu adalah bagian penting dari cerita, juga kelompok masyarakat yang diwakilkan di dalamnya. Lembaga sensor tak mau tahu, tak peduli jika bangunan film akan runtuh, tak peduli bahwa sebelum direalisasikan, cerita dalam film melalui tahap riset yang tak muluk-muluk. Pokoknya kalau dianggap melanggar nilai-nilai ke-Indonesia-an maka harus disensor. Entah nilai ke-Indonesia-an seperti apa yang dimaksud.
Ruang menonton kini telah berkembang. Begitu juga dengan strategi produksi. Ada banyak pembuat film yang sejak awal tidak meniatkan filmnya diputar di televisi atau bioskop arus utama. Film-film mereka sering kita generalisasikan sebagai film indie. Film-film yang bergerak di jalur alternative. Dalam konteks ini mari kita sebut film non-bioskop (meskipun juga mencakup TV). Sebagai film-film yang tak perlu berhadapan dengan lembaga sensor, para pembuat film yang bergerak di alur ini memiliki keleluasaan yang lebih lapang dalam mengeksplorasi ide-ide dan gagasan, serta bermain-main dengan medium. Itulah mengapa film-film ini sering disebut sebagai film-film indie (dalam hal ini indie mengacu pada film-film yang merdeka secara gagasan, tak melulu independent dari segi pendanaan, atau penggarapan).
Pada tahun 2014 Kalyana Shira merilis kompilasi film bertajuk “Cerita Tentang Rahasia” yang di dalamnya berisikan 3 film : Sleep Tight, Maria, Pertanyaan untuk Bapak, dan Emak dari Jambi. Sesuai dengan tajuk yang diberikan, ketiga film ini menceritakan tentang rahasia masing-masing tokohnya. Film Sleep Tight, Maria mengisahkan tentang ketakutan Maria yang kerap memikirkan seorang lelaki idamannya untuk masturbasi. Selama ini, adalah tabu bagi perempuan untuk membicarakan masturbasi. Bukan hanya karena hal itu jarang dibicarakan masyarakat kita, juga karena adanya stigma moral yang dilekatkan pada perempuan. Bahwa perempuan tak layak membicarakan tubuhnya sendiri, apalagi yang menyangkut kebutuhan seksual. Tabu katanya. Semakin sering ia mengeksplor tubuh dan seksualitas dalam dirinya, semakin dipertanyakan moralnya.
Pertanyaan untuk Bapak adalah film yang akan mengejutkan bagi penonton homophobic. Film ini tak hanya membicarakan si tokoh utama sekaligus sang sutradara, Yatna, sebagai seorang gay, tapi juga mengajak penonton untuk menelusuri masa lalu Yatna, untuk bertemu bapaknya dan bertanya mengapa dulu ia tega menyodomi anaknya? Film ini adalah cara Yatna untuk berdamai dengan masa lalunya yang masih menghantuinya hingga dewasa. Film berikutnya, Emak dari Jambi menceritakan tentang seorang ibu dari Jambi yang menengok anaknya yang seorang transgender di Jakarta. Selama di Jakarta, alih-alih menolak keadaan anaknya, seperti halnya kebanyakan orangtua dari para transgender, sang ibu memilih untuk “mengenali” ulang anaknya yang kini telah menjadi seorang perempuan dengan mengikuti kesehariannya.
Ketiga film dalam kompilasi “Cerita Tentang Rahasia” mengajak penonton untuk mempertanyakan ulang standar moral yang diberlakukan di masyarakat, film-film ini menyuguhkan cerita yang tak mungkin kita lihat di televisi. Dengan cara “menelanjangi” dirinya sendiri, ketiga film ini tak hanya bercerita soal tokoh-tokoh dalam ketiga film itu, tapi juga konteks masyarakat yang lebih luas, yang cerita-cerita dan identitasnya nyata, tapi tak mendapatkan tempat di tengah masyarakat, khususnya di layar TV dan bioskop kita. Kisah-kisah seperti ini selalu absen dari layar kaca kita. Tak ada tempat untuk seorang gay dan transgender di televisi kecuali sebagai contoh buruk bagi masyarakat yang berkahir dengan dua pilihan, bertaubat atau terkena azab. Setali tiga uang dengan terbatasnya ruang bagi perempuan untuk mendefinisikan tubuhnya sendiri yang selama ini lebih sering hadir sebagai objek dominasi suatu kuasa.
ditulis oleh Ayu Diah Cempaka, Desember 2016
Dokumentasi diskusi terbuka bersama Ricky & Anggun (film “Emak dari Jambi”)
Discussion about this post