Di tengah gegap gempita kota yang jemarinya hendak mencakar-robek langit-langit, ia yang lalu lalang terjatuh, bersimpuh, terseok. Berlari, bergegas, tersandung, dan terhimpit. Dari sesuatu, oleh sesuatu, untuk sesuatu. Dan kemudian bergumam, “Jakarta, Jakarta.”
Judul film. Lirik lagu. Desahan seorang pengendara motor. Buaian seorang makelar lapangan kerja. Sahutan segerombolan pengunjung klab. Keluhan penumpang Alphard di lampu merah Kemang. Impian gadis kecil nun jauh di sana. Tangis seorang bapak yang belum jumpa dengan keluarga. Sejuta nada kisah Jakarta menjadi lantun disonansi.
Kota ini riuh dengan disonansi hingga pengang statis, penuh hingga hampa, tak pernah mati hingga ia dihidupi oleh hantu-hantu metropolis. Hantu punya definisi yang beragam bagi tiap-tiap orang—kita semua “dihantui” hantu masing-masing: memori, trauma, tanggung jawab, rasa cemas, resah, pilu, rindu, atau mungkin sesuatu yang tak pasti dan tak bernama. Tapi, jika definisi hantu adalah roh orang mati yang berkeliaran, maka hantu metropolitan tak ubahnya orang-orang metropolis itu sendiri; mereka yang serupa mayat berjalan mengawang mencari makan, mencari stimulan, mencari jiwa-jiwa segar untuk dihisap.
Mencari setitik harmoni dalam disonansi ini adalah upaya yang mungkin, dan terkadang pasti perlu: menelisik suara-suara kecil yang tertimbun oleh suara-suara besar, suara yang terhimpit dan terseok. Nosa Normanda menghadirkan program Indonesia Raja 2023: Jakarta Metropolitan, berjudul “Absence”, dengan teks pengantar “kumpulan film-film ini adalah tentang ketiadaan, kehilangan, kegamangan, keadaan antara, hantu, dan transisi”. Dengan pengantar sedemikian rupa, kita bisa mulai melihat hantu-hantu yang ada di kelima film pendek dalam program ini, juga hantu-hantu yang familiar di Jakarta Metropolitan. Namun, dalam program ini, cukup sulit untuk menemukan setitik harmoni itu: suara dalam masing-masing film tetap menjadi sekumpulan suara yang disonan, melebur dalam sebuah kegamangan, menyisakan hantu-hantu yang nyaris terlihat, tapi tak terdefinisi.
Disonan #1: Hantu di balik Duka
Duka adalah nyanyian universal, puisi sejuta umat. Dalam Berpisah Kita Bersama (Adhyatmika, 2023) menarasikan tentang patah hati dan duka. Kamera mengambil gambar seseorang tokoh yang kita asumsikan sebagai tokoh utama diiringi dengan monolog voice over dari seorang narator. Dengan visual yang kepalang cantik dan audio yang menambah ambiens, serta tambahan animasi di tengah, para pembuat film ini menunjukkan kemampuannya dalam mengolah teknologi, menghasilkan audio-visual yang terpoles cantik.
Lahir dan besar 24 tahun di Jakarta, saya tahu persis orang-orang di kota ini senang dengan roman picisan. Jika ditanya, “bagaimana dengan tempat lain yang bukan kota Jakarta?” Jelas saya tak bisa bilang. Tapi yang jelas, roman picisan kota (Jakarta) pasti berbeda dengan roman picisan lain. Ada estetika khas orang kota yang, bisa dibilang, sangat metropolis, dibungkus dengan cantik dan indah untuk diimpi-impikan banyak orang. Tapi impian cantik nan indah ini kadang tak mampu mencakup semua lapisan realita, apalagi realita orang-orang yang tak mampu bermimpi begitu indahnya.
Pun, duka dan patah hati tak pernah jadi pengalaman yang terpoles cantik dan indah, setidaknya buatku. Duka dan patah hati adalah pengalaman yang berantakan dan bising. Duka terasa seperti hantu yang bertengger di tiap sudut-sudut ruangan, jelek, menakutkan, dan membuat ia yang bisa merasakan kehadirannya gila sendiri. Duka selalu bertalian erat pula dengan kondisi sosial lain yang sedang dialami, tumpang tindih membentuk gumpalan kusut. Bertolak belakang dengan teknis film ini yang sungguh cantik bak keluar dari salon.
Seusai film pembuka dalam program ini selesai, saya pun tak bisa tak bertanya: hanya inikah yang bisa disuarakan anak muda Jakarta?
Disonan #2: Hantu Dua Sisi Kekerasan
Jawabannya mungkin tidak. Ah, ini dia dongeng klasik kota bertagar #JakartaKeras. A Tale Before Nightfall (Yusuf Jacka, 2021) bercerita tentang Ayu yang memutuskan untuk membawa Clara dan dirinya sendiri kabur dari kekerasan yang dilakukan majikan Ayu, ayah Clara.
Perjalanan adalah ruang antara yang menghantarkan kita dari satu titik ke titik lain. Film ini bermain di ruang antara tersebut, tanpa menampilkan titik awal dan titik akhir. Kita tak tahu di mana rumah Clara, ke mana ia akan pergi bersama Ayu.
Di ruang antara itulah film ini menghadirkan hantunya. Jika hantu dalam film Dalam Berpisah Kita Bersama (2023) berupa duka, maka hantu dalam A Tale Before Nightfall (2021) berupa “sosok tak terlihat”: ayah Clara, yang kita tak pernah tahu seperti apa bentukannya. Ia hanya menjadi hantu yang membuntuti Ayu dalam keterdesakan, kecemasan, dan ketakutan; perasaan yang dikuatkan oleh kamera yang tak pernah stabil membuntuti Ayu dan Clara sepanjang film—penggunaan teknik artistik yang cukup tepat dalam menghadirkan yang tak kasat mata itu.
Penumpang travel yang lain, ada yang mengalami realita pilunya Jakarta melalui sedikit dialog yang ditampilkan―ia merantau dan harus pulang karena kehilangan pekerjaan. Penumpang lainnya menawar sedikit kepahitan, menyuguhkan cerita bagaimana ia bertemu pasangannya di Jakarta, meski sekarang situasi mereka juga “susah”. Sayangnya, meski sama-sama berada di kerasnya realita Jakarta, tidak ada solidaritas di antara mereka: ketika polisi menggeledah tas Ayu, tak ada sesama penumpang yang membela atau menolong.
Sesusah-susahnya orang lain di hadapan kerasnya Jakarta, mungkin tak ada juga yang berani merusak tatanan keluarga “sedarah” yang heteronormatif. Maka, ketika kerumunan polisi dan penumpang travel itu menggeledah tas Ayu, ia hanya bisa lari, hantu-hantu yang mengikutinya makin berat.

Sosok hantu yang meresahkan itu justru dimunculkan dalam Foto Wisuda Keluarga (Umar Najmuddin, 2023), juga dalam wujud seorang ayah. Sang ayah ini hendak mengunjungi wisuda anaknya. Ia nampak gugup. Ia berlatih di cermin. Ia mendengarkan podcast parenting. Usaha yang sia-sia, karena egonya tetap menang melalui tangan besinya ketika ditolak oleh anak dan ibunya. Akhirnya, sang ayah memotret sendiri anaknya yang sedang tersenyum lalu terduduk sendiri menatap senyum anaknya yang terpatri dalam cetakan gambar. Penolakan dari anak dan ibunya membuat sang ayah tak dilihat dan tak didengar, layaknya hantu yang hanya bisa terdiam dan menonton dalam kesendirian.
Kedua film ini mungkin bisa menjadi komplementer yang melengkapi satu sama lain dalam menghadirkan dua sisi kekerasan, dan akan lebih terlihat jelas jika dalam program dua film ini ditempatkan bersandingan.
Disonan #3: Hantu… Betulan?
Mysterious Girl Behind (Hafidz Nur Rahmadi, 2021) malah menampilkan hantu betulan. Ah, tidak harfiah layaknya tayangan Pemburu Hantu―film ini menghadirkan sosok hantu sebagai karakter tak bersuara di tengah-tengah dua sejoli. Di antara sejoli tersebut, satu sedang merencanakan pembunuhan berencana terhadap yang lain, tapi ada saja yang menggagalkan. Apakah hantu tersebut yang menggagalkan? Entah.

Film ini adalah film yang dibangun atas kejanggalan, dan kehadiran hantu tersebut melebur dalam estetika yang janggal menjadi sesuatu yang “normal” dalam film. Mungkin seperti itulah juga kota Jakarta: kumpulan kejanggalan, hingga janggal adalah normal (meski film ini rasanya tak punya intensi bicara soal kota Jakarta secara khusus). Tidak ada dongeng khusus dalam film ini, hanya sebuah pekikan janggal kecil dalam eksplorasi narasi. Di kota Jakarta di mana kamu bisa melakukan apa saja (asal punya modal), kenapa tidak membuat film yang janggal sekalian?
Disonan #4: Hantu yang Direkam (dan Dihapus) Kamera
Anak kecil pun bisa membuat film jika diberi aksesnya, seperti Abbas dan kawan-kawan di Film untuk Babeh (Rayhan Dharmawan, 2022). Dengan handycam, Si ̶D̶o̶e̶l̶ Abbas anak Betawi membuat film tentang Terminator, tokoh film Hollywood, yang hendak membunuh ayah Si Pitung, tokoh cerita rakyat Betawi. Dalam satu alat rekam modern, Abbas menjahit hantu-hantu industri budaya populer yang tak mungkin tak menggerogoti kehidupan terglobalisasi ini, dan juga tradisi cerita rakyat yang tinggal sisa-sisa (di tengah-tengah maraknya cerita-cerita yang lebih modern) untuk membuat ceritanya sendiri.
Namun, ada satu hantu yang nyaris pergi, terhapus oleh rekaman baru Abbas: ibunya sendiri. Abbas menggunakan memori kamera yang dulu dipakai Babeh untuk merekam sang Enyak, dan itu semua nyaris ludes tertimpa rekaman baru Abbas. Dalam sekali duduk, Babeh dan Abbas menonton tumpang tindih yang terekam handycam itu. Film yang direkam Abbas berakhir dengan kematian ayah Si Pitung, dan dimulai lagi dengan (memori) kehamilan Enyak.
Sesungguhnya, sebagai sebuah kesatuan, kelima film ini terasa riuh dan padat hingga membentuk disonansi. Sulit menemukan setitik harmoni di antaranya—kalau tidak karena permainan kecil mencari-cari hantu di masing-masing film—hingga menyisakan perasaan yang sangat gamang. Tapi, mungkin, kota Jakarta memang kota yang terlalu riuh dan padat untuk membangun harmoni, dan ia yang lalu lalang hanya menavigasi ruang kota yang gamang tiap-tiap harinya—seperti yang telah ditulis Nosa sendiri sebagai “ketiadaan, kehilangan, kegamangan, keadaan antara, hantu, dan transisi,” meski entah bagaimana kumpulan kata-kata tersebut dapat meleburkan film-film yang disonan ini.
Discussion about this post