Bagaimana jika Tuhan mempunyai chanel vlognya sendiri? Winner Wijaya melalui film pendek Hai Guys Balik lagi sama Gue, Tuhan! (2020) mengajak kita untuk melihat kehidupan orang-orang dalam satu komplek di suatu pagi dari sudut pandang Tuhan. Yaa betul Tuhan yang “maha kuasa” itu.
Winner bermain-main dengan aspek teknikal untuk membuktikan kekuasaan Tuhan melalui silogisme sederhana; jika Tuhanlah yang membentuk realitas, dan film adalah realitas bentukan filmmaker, maka filmmaker bisa membentuk realitas layaknya Tuhan. Dengan pengambilan gambar menggunakan drone, dari atas penonton diajak melihat kelakuan Tuhan saat ngevlog. Dengan manasuka dan cenderung usil Tuhan (yang diperankan oleh Antonius Wilson) mengubah gelap jadi terang, mendikte rangkaian adegan, sampai menghadirkan bencana.
Film ini mengingatkan saya pada film The Girl Chewing Gum (John Smith, 1976). John Smith dalam The Girl Chewing Gum “seakan” mengarahkan orang-orang di suatu jalanan yang sibuk, untuk mengikuti arahannya. Smith sendiri mengatakan jika filmnya ini adalah suatu upaya untuk membuktikan kekuatan dari kata-kata (voice-over). Menggunakan voice-over untuk melampaui representasi makna yang dihadirkan oleh rangkaian gambar. Melalui kata-kata peristiwa dokumentasi jalanan yang sibuk itu, disulap “seakan” diarahkan langsung olehnya.
Karya Smith ini, seperti banyak film lain dari seniman avant-garde Inggris pada era 70-an, adalah upaya politis untuk menempatkan diri sebagai oposisi atas sinema arus utama. Tujuan utama dari film ini adalah untuk merusak ilusi yang inheren dalam sinema, dan menarik penonton untuk memperhatikan kapasitas dari hal-hal teknisnya. Voice-over dalam hal ini, dipakai untuk menumbangkan pembacaan atas gambar. Tak mengherankan jika dikemudian hari, sejarawan dan profesor seni di New York University Shelly Rice, sempat menyarankan semua muridnya untuk menonton masterpiece John Smith ini setidaknya dua kali sebelum mereka mengambil kamera.
Hai Guys Balik lagi sama Gue, Tuhan!, pada dasarnya mengoptimalkan aspek-aspek teknikal ini. Menggunakan kekuatan dari voice-over untuk mendikte rangkaian adegan, menentukan nasib para tokoh kita, semisal membuat mobil mogok dan menyala berdasarkan kehendaknya. Berbeda dengan The Girl Chewing Gum, yang lebih menunjukan ideologi sang sutradara sebagai oposisinya terhadap sinema arus utama. Eksplorasi teknis yang dilakukan Winner nampaknya lebih ditujukan untuk menunjang komedi dalam penceritaanya. Antonius Willson, sebagai penulis naskah film ini menciptakan karakter yang “enak digibahin” dan jadi bahan konten. Sesuai dengan kebutuhan untuk vlogging. Ada tokoh yang baru ingat Tuhan ketika dalam kesulitan, ada juga tokoh ateis baik dan tokoh agamis tapi doyan mabuk. Dan tak kelewatan ada “pelakor” juga hadir di sana.
Penggunaan istilah “pelakor” (meski untuk tujuan komedi) dalam film ini jujur saja cukup mengganggu saya. Istilah ini sebenarnya problematis, stigma pelakor bisa mengesankan kalau perempuanlah yang selalu salah. Padahal perselingkuhan, biasanya dilakukan oleh dua pihak secara sadar. Istilah dan candaan yang menyudutkan dan memusuhi perempuan. Candaan yang sudah sekian lama terinternalisasi dalam kultur media di Indonesia dengan tradisi misoginisnya yang kokoh.
Namun, ketika Winner menggunakan istilah pelakor, rasanya semua bisa dimaafkan karena semua karakter dalam film ini disudutkan. Tidak ada yang selamat dari kejulidan dan keusilan Tuhan yang satu ini. Dalam posisi God eye point of view, konsekuensi yang hadir adalah menempatkan sudut pandang terhadap subjek yang sangat berjarak dan jauh. Karakter yang hadir pun alih-alih menjadi subjek yang patut dilihat kemanusiaannya, mereka lebih tepat disebut sebagai objek. Tidak berdaya di hadapan kuasa penuh Tuhan.
Dari sudut pandang ini, Winner mungkin saja ingin menampilkan komedi-sarkas terhadap praktik vlogging dan bermedia sosial yang kerap kali tidak simpatik dan mengobjektifikasi subjek demi konten. Menghadirkan Tuhan yang julidnya level gaspol merupakan aksi menyindir orang-orang yang berlagak seperti Tuhan.
Hal lain yang perlu diberi apresiasi adalah capaian kreatif dan artistik dari film ini. Terlebih jika saya menengok latar belakang dan kondisi proses produksinya. Film ini adalah film kompetisi Begadang Filmmaking yang dibuat hanya dalam waktu maksimum 34 Jam. Mulai dari menyiapkan naskah hingga proses syuting dilakukan dalam waktu sesingkat itu.
Hasilnya Hey Guys Balik Lagi sama Gue, Tuhan! dalam durasi yang kurang dari 5 menit, berhasil menawarkan kesegaran dan menunjukan jika medium film, bisa jadi tempat bermain yang asyik. Mungkin suatu saat dosen-dosen film Universitas Media Nusantara (almamater Winner) juga bisa saja seperti Shelley Rice, menyuruh murid-muridnya untuk menonton film ini sebelum mulai membuat dan mengedit film. Mungkin yaa.
Discussion about this post