Dua orang penyelamat tunawisma menyusuri malam hari penuh salju di Berlin menggunakan sebuah van. Di dalam van ada radio yang menyiarkan seorang perempuan yang bermonolog, kalimat pembukanya kurang lebih seperti ini, “lautan pasti sangat gelap dan sadis, kalau tidak kenapa nenek moyang biologis kita ingin meninggalkan laut dan mulai mencoba peruntungan di daratan”. Lalu monolog itu dipotong dengan suara perbincangan salah seorang penyelamat tunawisma dengan seseorang di telepon yang mengabarkan, “Ada seseorang terbaring tanpa pakaian”.
Selanjutnya suara monolog yang hadir di adegan pembuka film Night Upon Kepler 452B (2019) itu, dilanjutkan kembali, kali ini dengan kisah tentang penemuan Kepler 452B, sebuah planet yang berjarak 1.400 tahun cahaya dari bumi dan diduga cukup ramah untuk kehidupan organisme seperti bumi. Lalu, monolog itu beberapa kali terpotong oleh beberapa telepon panggilan lain untuk menyelamatkan tunawisma yang kepayahan menghadapi dinginnya kota Berlin.
Langit Sebagai Atap Rumah
Di Berlin jumlah orang yang tidur di luar pada musim dingin memang cukup mengkhawatirkan. Bayangkan sekitar 6.000 hingga 10.000 orang, pada tahun 2019 tinggal di jalanan Berlin. Dan sekitar 50.000 orang tidak memiliki rumah permanen dan dianggap tunawisma, meskipun mereka tidak tinggal di jalan. Saya di sini sadar jika statistik ini bisa berisiko memberi kesan, saya jadi tidak sensitif terhadap pengalaman personal subjek-subjek yang hadir di film ini. Mereduksi manusia menjadi sebatas data bagaimanapun, adalah praktik dehumanizing. Namun, kehadiran data ini saya maksudkan untuk memperkuat pesan, betapa ironisnya membicarakan planet sebagai rumah baru, sedangkan orang-orang tunawisma ini sebetulnya hanya butuh atap dan ruang tertutup yang bisa sedikit menghangatkan.
Pada titik itulah, Ben Voit sebagai sutradara film dokumenter pendek ini, dengan baik menggunakan juxtaposisi untuk menampilkan ironi dengan mengkontras antara dua hal: Narasi besar kosmologis tentang rumah bagi kemanusiaan yang kesannya jauh dan “mengawang-ngawang” (berangkat dari penemuan planet Kepler 452B); Vis-à-vis dengan narasi visual orang-orang tunawisma yang menyentuh aspek pengalaman sensorial seperti kedinginan, kepuyengan, dan kelelahan dari subjek-subjek yang hadir dalam film ini.
Juxtaposisi dapat dimaknai sebagai teknik menempatkan dua atau lebih suatu hal secara berdampingan untuk membandingkan atau mempertegas kontras. Tujuannya untuk mendekatkan suatu hal ke hal yang lain untuk menuju suatu bentuk pemaknaan. Juxtaposisi semacam ini dapat ditemukan dalam dokumenter lain, misalnya dalam dokumenter garapan Patricio Guzmán, Nostalgia for the Light (2010). Kedua film ini punya pendekatan yang mirip meskipun tema yang diangkat berbeda.
Dalam Nostalgia narasi besar hadir dalam praktik pencarian asal-usul alam semesta. Juga menjadi sebuah pencarian jati diri umat manusia di antara bintang-bintang. Para astronom meneropong langit di observatorium yang didirikan di padang Atacama yang langitnya jernih itu. Di lain sisi, di tengah padang Atacama, ada beberapa orang yang menggali pasir, mencari tulang belulang orang terkasih yang menjadi korban pembantaian kediktatoran rezim Pinocet. Ironi pun hadir dalam ungkapan salah seorang pencari tulang itu, “andai teleskop enggak cuma bisa meneropong langit, tapi juga ke sini, ke dalam bumi”. Juxtaposisi antara sesuatu yang makro dan mikro ini, menunjukan sebuah ironi. Tentang bagaimana manusia kerap kali kelimpungan sendiri mendefinisikan kemanusiaan.
Senada dengan Nostalgia, narasi tentang Kepler 452B dihadirkan oleh Ben Voit dalam film ini untuk menunjukan ironi yang serupa. Kepler 452B selain sebagai sebuah nama untuk planet yang banyak mempunyai kemiripan dengan bumi. Ia juga menjadi semacam metafor untuk sebuah kemungkinan rumah baru yang jauh bagi orang-orang Jerman yang tidak punya rumah. Juxtaposisi ini berhasil menampilkan ironi kehidupan tunawisma di kota Berlin. Mereka boro-boro memikirkan rumah baru bagi kemanusiaan, dengan langit sebagai atap rumah, bertahan melewati malam yang begitu dingin saja adalah sebuah perjuangan hidup dan mati. Terlebih ironi ini semakin kuat dalam konteks sosiologisnya. Ketika negara maju seperti Jerman yang digadang-gadang memiliki ekspektasi hidup yang tinggi, bisa menjadi “rumah” bagi imigran muslim, terutama pada masa pemerintahan Kanselir Angela Merkel.
Dingin yang Terekam Dalam Tubuh

Salah satu daya tarik dari Night Upon Kepler 452B adalah cara Konrad Waldmann sebagai juru kamera mengambil gambar. Seperti telah disinggung sebelumnya, visual dalam film ini, bertujuan untuk memberikan afek pada penonton untuk merasakan pengalaman sensorial seperti kedinginan, kepuyengan, dan kelelahan dari subjek-subjek yang hadir dalam film ini. Pengambilan adegan melalui refleksi kaca dan beberapa adegan yang tampil kerapkali blur dan penuh warna, nampaknya merupakan upaya agar penonton juga ikutan merasakan lelah. Dalam lelah yang berlebih biasanya pikiran juga ikutan sedikit konslet dan bagian sensorial dalam tubuh kadang jadi over sensitif. Bayangkan dirimu adalah petugas rescue yang harus terjaga sepanjang malam. Rasa lelah, kedinginan, dan pening adalah komposisi jitu kalau kamu ingin masuk dalam realitas yang penuh distorsi. Sebagaimana filmmaker mengajak kita merasakan bagaimana subjek-subjek dalam film ini berada dalam kondisi di antara hidup dan mati.
Pendekatan sensorial menjadi metode yang saya rasa pas untuk menunjang kisah pergulatan para penyelamat tunawisma dan orang-orang tunawisma di Berlin. Pendekatan ini cenderung mengandalkan “rasa” untuk mengetahui kondisi/informasi dari subjek. Berbeda dengan pendekatan partisipatoris yang mengandalkan wawancara sebagai metode mengetahui. Dengan kondisi subjek yang sedang bergelut dalam kondisi di antara hidup dan mati, pendekatan sensorial jauh lebih mungkin secara etis dan tentu jauh lebih simpatik. Tidak terbayang bagaimana jadinya kalau, orang-orang yang bergulat dalam dunia yang terus-menerus memaksa mereka untuk tetap terjaga, dalam dingin, dan dalam lelah ini mendapat pertanyaan, “kapan terakhir kali tidur di kamar?”.
Memang, sebagai manusia yang seumur hidup tinggal di negara tropis, saya tidak punya pengalaman dengan musim salju. Jadi agak sulit juga membayangkan bagaimana rasanya terserang hipotermia seperti yang dialami beberapa subjek dalam film ini. Pengalaman merasakan dingin saya mentok ketika berada di atas puncak gunung-gunung di tanah Jawa. Dingin-dingin yang saya alami selalu sifatnya rekreasional dan dapat dengan mudah diatasi. Namun justru dari sana, setelah selesai menyaksikan film ini, saya jadi memiliki bayangan, betapa sulitnya harus selalu berhadapan dengan dingin dan rasa lelah yang bukan sebuah opsi.
Pada akhirnya, aspek personal dari para subjek dan kondisi sosiologis tentang tunawisma dalam film ini, menunjukan lapisan masalah manusia yang tidak pernah satu dimensi. Night Upon Kepler 452B pun dalam durasinya yang hanya 15 menit, adalah tour de force dalam menampilkan realitas yang penuh ironi.
Discussion about this post