Menonton program Indonesia Raja 2024: Jawa Barat membuat saya memahami dinamika bumi Pasundan melalui film-film pendek yang diprogram oleh Kemala Astika. Catatan atas program ini mendeskripsikan tema “Aku Melawan Dunia” sebagai berikut, “Menavigasi kehidupan seringkali melibatkan perjuangan pribadi untuk tetap teguh pada keyakinan, meskipun dunia seringkali mencoba mengubah kita. Bayangkan perasaanmu saat harus berhadapan dengan ketidakpastian di luar sana, yang terasa besar dan menakutkan. Kisah-kisah ini mungkin terasa akrab bagi kita sendiri. Mari terhubung.”
Ajakan dalam catatan program ini semakin menarik untuk ditelisik benang merahnya. Ketidakpastian merupakan bagian dari proses kehidupan kita sebagai manusia. Jatuh bangunnya jiwa raga dalam melintasi hari demi hari. Untuk dapat meluapkan perasaan tidak nyaman maupun keresahan atas ketidakpastian, menonton Program Indonesia Raja 2024: Jawa Barat dapat menjadi jalan untuk menerjemahkan perasaan-perasaan yang selama ini dirasa kompleks dalam diri kita.
Solidaritas untuk Bertahan
Program Indonesia Raja 2024: Jawa Barat dibuka dengan film dokumenter pendek The Cold of Our Sun (2023) karya Ibara Baiano Lanjare yang mengisahkan perlawanan masyarakat Jalan Anyer Dalam terhadap PT. KAI. Dalam dokumenter ini, penonton diberi narasi tentang asal muasal konflik antara masyarakat Anyer Dalam dengan pihak PT. KAI. Peran aktif masyarakat tatkala melawan pihak KAI digambarkan dengan proses mereka merawat solidaritas dengan menciptakan ruang alternatif bagi sesama warga, terlebih anak-anak.
Sebagai film pembuka, The Cold of Our Sun memberi penegasan akan makna perjuangan yang berjalan bersamaan dengan perlawanan. Resistansi pun tidak lagi berjalan secara individualistis, di sini warga berdiri sama-sama bersama dengan relawan seperti dari kalangan mahasiswa. Kurang lebih selama 12 menit, penonton diajak melihat sisi lain dari pembangunan yang kerap kali digencarkan ternyata bertentangan dengan kemauan warga.

Bentuk resistansi secara komunal dan terorganisir sudah seharusnya menjadi perhatian. Dokumenter ini menarasikan kisah warga Anyer Dalam secara konsekutif. Ketika solidaritas warga berpusat menjadi bentuk resistansi untuk mempertahankan ruang hidup, terpantik renungan atas ikatan batin dengan dari mana kita berasal serta memori yang pernah terbentuk di kampung halaman kita. Membayangkan rumah kita dirampas secara paksa, tentu muncul insting untuk mempertahankannya seperti yang dilakukan warga Anyer Dalam di The Cold of Our Sun.
Duka yang Menyesap
Semesta (2023) karya Vincent Tion Hudaya bercerita tentang dinamika kakak-adik yang saling berbalas kabar di tengah duka sang kakak, Kinanti seusai anaknya meninggal dunia. Film ini membawa daya tarik dari direksi kamera dan akting kedua tokoh utama. Ekspresi dan gestur tubuh ditonjolkan untuk membentuk karakterisasi tokoh serta menggerakkan alur cerita. Close up shot yang dibawakan serasi dengan akting kedua tokoh. Walaupun film ini disajikan secara dramatis, akting kedua tokoh di mata saya terkesan realis, seperti pernah menyaksikannya dalam kehidupan nyata.
Pertanyaan akan makna kebahagiaan beriringan dengan paradoks akan sifat sementara dunia ini. Pada suatu titik dalam kehidupan kita, keputusasaan yang hadir dalam duka kadang kala merenggut akal sehat untuk melanjutkan rutinitas. Eksistensi masa lalu sebagai sumber kebahagiaan tiba-tiba senyap. Satu-satunya sosok yang masih hadir dan menyempatkan diri untuk mampir menjadi objek dalam melampiaskan keputusasaan seperti yang dialami oleh Herman, adik Kinanti yang bekerja di luar kota, jauh dari kakaknya saat berkabung. Menjalani kehidupan saat masih berduka merupakan suatu tantangan yang tidak mudah untuk dihadapi. Rasanya seperti berjalan di tengah hamparan kabut tebal menyusuri jalanan. Namun apalah daya, jarum jam terus berputar dan kita harus melanjutkan perjalanan.
Pelampiasan Kinanti akan kebahagiaan terhadap produk semu yang ia konsumsi membuatnya teralihkan dari kehidupan yang kini ia jalani. Ketidakpastian yang ia jalani selepas wafatnya sang anak membuatnya terombang-ambing, namun tidak ada pilihan selain melanjutkan kehidupannya. Tak hanya Kinanti, Herman dihadapkan oleh ketidakpastian mengenai hubungannya dengan sang kakak lantaran kesibukannya di ibukota untuk melanjutkan kehidupan. Semuanya semakin jelas melalui dialog mereka di meja makan.
Bertaut dan Terjerat
Bersambung ke film pendek dengan pendekatan eksperimental, Terurai Riuh (2023) karya Muhammad Revi, membawakan gaya penceritaan ala teater boneka dengan pemeran manusia. Seorang perempuan terhubung dengan suatu entitas melalui benang merah yang mengontrolnya saat ia menari di antara benang-benang merah yang menjalinnya.
Metafora “benang merah” sering digunakan oleh manusia untuk menggambarkan takdir. Asal-usul keterkaitan benang merah dengan takdir dapat ditelusuri ke Mitologi Tiongkok, di mana Yue Lao, dewa yang mengurus segala hal terkait cinta dan pernikahan, memegang peranan penting. Menurut mitos, benang merah ini bersifat gaib dan diikatkan oleh Yue Lao di pergelangan kaki setiap manusia, menghubungkan mereka dengan orang-orang yang akan mereka temui dalam perjalanan takdirnya.
Topik tentang takdir dieksplorasi Terurai Riuh dengan leluasa dengan babak-babak yang disesuaikan dengan fase kehidupan. Beriringan dengan tema “Aku Melawan Dunia” sang tokoh utama bertahan dalam takdirnya dengan menari. Tarian-tarian yang diekspresikan dalam Terurai Riuh menggunakan campuran gerak lemah lembut dan keras secara beriringan seolah-olah ada suka dan duka yang silih berganti dalam takdir kehidupan yang dijalani.

Perempuan Penakluk Lautan
Film ketiga dalam program ini adalah Mother of the Sea (2023) karya Clarissa Ruth Natan, sebuah film dokumenter yang mengukuti Bu Siti Darwati dari Demak, Jawa Tengah yang berprofesi sebagai nelayan. Lantaran hal tersebut, isu yang dibawakan dalam film dokumenter ini mengantarkan penonton menuju sosok yang mendobrak tatanan sistem patriarki yang umumnya berlaku di Indonesia. Dalam perjalanannya Bu Siti, mengarungi lautan demi mencari nafkah sekaligus suguhan untuk kebutuhan makanan sehari-hari disorot secara rinci dalam dokumenter ini. Bu Siti menjadi narator dalam kisahnya menghadapi cemoohan atas jalan hidupnya yang dinilai bertentangan dengan masyarakat Jawa normatif. Keluarga yang ia nafkahi, kehidupan yang terus ia jalankan, dipenuhi dengan ketidakpastian karena sistem patriarki yang ada.
Dokumenter ini kuat dalam mengangkat profil yang unik, meskipun pendekatannya secara artistik tidak begitu spesial. Ketika menonton film yang berlatar di Demak, Jawa Tengah ini saya berpikir atas alasannya dibawakan dalam Program IR 2024: Jawa Barat mengingat lokasi film ini di Jawa Tengah. Mungkin tidak ada batasan mengenai setting lokasi dalam program ini atau mungkin karena sutradaranya sendiri, Clarissa Natan, berasal dari daerah tersebut.
Telisik Budaya Sisingaan
Ditutup dengan Nalika Maranehna Ngomongkeun “Bobogaan” Urang (2023) oleh Wiki, saya berani menganalogikan film pendek ini sebagai ceri di atas krim yang berada di puncak kue ulang tahun. Ia diciptakan untuk merayakan, membuat seisi ruangan tergelak dengan tawa dan meninggalkan kesan unik di lidah seusai mengunyahnya. Dengan mengandalkan satu shot saja film ini menceritakan tentang seorang anak laki-laki yang berkutat dengan keanehan yang melanda dirinya beberapa waktu sebelum ia disambut dengan Sisingaan, tradisi khas Subang sebelum anak laki-laki melaksanakan sunat. Spesifiknya, sang bocah akan diarak keliling dengan kursi singa sambil diiringi musik.
Kekuatan humoris dalam film ini juga semakin kuat dengan dialog antar anggota keluarga yang dihantui keheranan dan rasa khawatir yang bertubi-tubi. Film pendek dengan judul internasional When People Talking About My ‘P’ ini menunjukkan gelora dan dinamika dalam masyarakat Jawa Barat dengan pendekatan humoris yang mengandalkan kekuatan keringkasan dalam film pendek. Pesan yang ingin disampaikan dikemas dengan perspektif yang segar dan berani. Sehingga, kesannya tidak monoton. Sebagai film penutup program “Aku Melawan Dunia”, ketidaknormalan yang dialami oleh tokoh utama menimbulkan perbincangan antar sanak saudara dan tetangga, fenomena yang umum di Indonesia, sebuah ruang untuk memperbincangkan kabar terbaru di hari itu. Namun, akhir dari film ini mendeskripsikan perlawanan terhadap dunia normatif sejalan dengan tema untuk program “Aku Melawan Dunia”.
Indonesia Raja 2024: Jawa Barat menghadirkan pengalaman untuk mengintip sisi mendalam dari perlawanan norma dalam masyarakat, dipadu dengan unsur kebudayaan khas Jawa Barat. Walaupun tiap film memiliki pendekatan yang berbeda, justru hal itu menjadi perekat dalam menyambung jahitan antar film dalam program. Senada dengan catatan program, film-film ini mengajak kita untuk dapat terhubung di balik perjalanan hidup kita sebagai manusia. Seusai menyimak program ini, ada kilas balik menuju masa lalu atau barangkali refleksi terhadap kehidupan yang sedang dijalani sambil meraba-raba masa depan. Program ini menjadi jeda di antara hiruk pikuk kesibukan rutinitas untuk bertahan hidup, dan barangkali menjadi pengingat bagi penonton bahwa perlawanan terhadap dunia tidak saklek didefinisikan secara tunggal.
Discussion about this post