Yogyakarta, dengan penduduk lebih dari 4 juta jiwa, adalah kota yang hidup dengan dinamika unik di setiap sudutnya. Di balik setiap pintu rumah dan di setiap lingkungan, individu menciptakan “ruang” mereka sendiri, baik secara sukarela maupun terpaksa oleh keadaan ekonomi. Program Indonesia Raja 2024: D.I Yogyakarta menyoroti hal ini melalui empat film pendek yang menggambarkan hubungan manusia dan “ruang” dari berbagai perspektif, menawarkan pandangan mendalam tentang kehidupan dan interaksi di kota ini.
Catatan program yang muncul dalam layar saya jadikan acuan sebelum menonton. Gerry Junus selaku programmer Indonesia Raja 2024: D.I Yogyakarta, mendeskripsikan Yogyakarta sebagai “ruang liminal”. Setelah menelusuri definisi dari kata “liminal”, kata ini diadopsi dari istilah psikologi yang artinya kondisi ambang, ambiguitas antara apa yang familiar dan yang baru kita jumpai. Mereka membantu saya untuk memahami lebih jauh definisi dari kata-kata “liminal”.
Mereka Yang Meruang
Melalui Omah Omah (2022) karya Rafika Ilma Rizkyana, diperlihatkan bahwa dengan banyaknya jumlah orang–atau anggota keluarga kita–justru dapat hanya menyebabkan frustrasi. Tiga keluarga yang terdiri dari delapan orang tinggal dalam satu rumah kontrakan yang sempit dengan hanya satu kamar mandi. Bayangkan saja perdebatan yang harus mereka lewati setiap paginya, perkara siapa yang akan pakai kamar mandi duluan. Ruang tamu sekadar menjadi tempat persinggahan saja untuk setor muka dengan keluarga besar setelah pulang kerja.
Kamar pribadi mereka masing-masing adalah “rumah” sejati mereka, tempat di mana mereka bisa mendapatkan privasinya. Di kamar inilah sepasang suami istri berbicara dari hati ke hati tentang terjebak dalam realita yang sempit dan kewajiban untuk mandiri. Saat terungkap bahwa anak bungsu mereka hamil di luar nikah, dan hal yang dianggap aib tersebut diungkit-ungkit oleh ibu penyewa rumah kontrakan mereka, ini semakin mendorong mereka ke dalam kefrustasian. Hal ini mengingatkan mereka akan ketidakmampuan mereka untuk melarikan diri dari situasi terkini, bahwa mereka juga tidak memilih untuk hidup dijejalkan di bawah satu atap dengan minim privasi.
Dalam Omah Omah, tiga keluarga yang tinggal di bawah satu atap karena faktor ekonomi tampaknya tidak akan selamanya dalam kondisi tersebut. Misalnya istri anak bungsu terlihat tidak menganggap rumah kontrakan sebagai “ruangannya”. Hal ini terlihat ketika istri anak bungsu pulang, langsung mengambil paket e-commerce dan memasuki kamar tanpa berinteraksi, serta mendapat kritik dari anak sulung mengenai kebiasaan belanjanya. Saya bisa membayangkan setiap keluarga pada akhirnya memerlukan privasi dan akan pindah ke rumah atau “ruang” sejati mereka masing-masing, melepaskan suasana familiaritas.
Jika Omah Omah memilih rumah kontrakan sempit sebagai “ruang” mereka, film penutup yang dikemas dalam bentuk dokumenter dalam Program IR24: D.I Yogyakarta, Kanaka (2023) karya Regina Surbakti, perempuan yang bernama Mikha memilih untuk “meruang” di lokasi mata pencahariannya. Tempat yang dikunjungi setiap hari, melalui percakapan dan pertemuannya dengan pengunjung lainnya, Mikha menemukan “ruang” personalnya.
Dalam Kanaka (2023), Mikha menantang stereotip kuno bahwa seorang istri diwajibkan untuk hanya mengurusi rumah tangga dan membesarkan anak. Bagaimana tidak? Mikha adalah nail artist di sebuah kampung di Yogyakarta. Kamera mengikuti Mikha ketika ia dibonceng suaminya dengan motor untuk pulang ke rumah. Dengan Bahasa Jawa, Mikha menyebutkan keinginannya bahwa ia ingin kehadiran suaminya sebagai ayah untuk anak semata wayang mereka lebih intensif, mengingat suaminya hanya mendapatkan libur dua akhir pekan dalam sebulan, yang dianggapnya sangat kurang untuk menghabiskan waktu dengan anaknya. Mikha mendirikan “ruangan” miliknya lewat salon kukunya.
Bingkai stereotip yang mengharuskan perempuan untuk tinggal di rumah rasanya hanya akan menghalang perempuan dari kesempatan untuk mengeksplorasi kemampuan mereka. Mikha mengingatkan saya dengan La Luna (2023, M. Raihan Halim), film drama komedi Malaysia yang menceritakan soal perempuan yang membuka usaha lingerie namun malah ditentang oleh pemuka agama setempat. Mikha dan karakter utama dalam La Luna menempatkan pekerjaan mereka sebagai sumber kebahagiaan mereka. Tempat aman bagi mereka untuk melepas penat dan bergosip, curhat mengenai persoalan rumah tangga, dan pada dasarnya dikelilingi oleh perempuan saja. Bedanya salon kuku Mikha bukanlah sebuah fiksi rekaan. Dia benar benar ada, dan salon itu tidak hanya menjadi “ruangan” untuk Mikha, tetapi juga untuk pelanggannya.
Ruang Batin
Berkenalan dengan Mbah Muji yang secara tidak langsung memilih untuk menempatkan diri dalam “ruangannya” sendiri, Under the Idhum Tree (2023) karya Raka Satria Bahagia mengenkapsulasi keseharian Mbah Muji mengabdi di Makam Para Raja di Imogiri. Dalam kompleks pemakaman ini, terletak makam Raja-Raja Mataram Islam beserta keturunannya, raja-raja yang bertahta di Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Dikemas dalam gambar hitam putih, Under the Idhum Tree banyak mengambil nuansa Imogirinya serta tentunya Mbah Muji sendiri, menggunakan pakaian atasan Surjan dengan bawahan jarik serta blangkon di kepalanya. Di pertengahan setiap cerita Mbah Muji, seorang pemuda yang menggunakan kain yang membalut pinggang sampai kakinya dengan sebuah topeng wayang menutupi mukanya.
Saya memaknai pemuda yang menari tersebut sebagai gambaran batin Mbah Muji, menyalurkan keceriaan dan kelegaannya dalam rasa sepi melalui liukkan badannya. Bahwa setiap harinya ketika Mbah Muji mengabdikan dirinya dalam rutinitas dan pekerjaan yang terlihat membosankan–atau bahkan untuk sebagian orang mungkin “rendahan”–hal ini justru memberikan sebuah kedamaian dan sukacita untuk beliau. Kita seolah-olah diajak untuk ruang batin Mbah Muji melalui pemuda bertopeng itu, dari kejauhan dan dari celah ranting-ranting pohon. Bahkan salah satu harapan Mbah Muji adalah agar anaknya mengikuti jejaknya. Ia ingin anaknya merasakan kedamaian yang sama dengannya, “Agar damai hatinya, melayani orang lain,” Ujar Mbak Muji.
Mbah Muji yang sudah sepuh ini dan berada di akhir masa tujuan hidupnya, mungkin merasa bahwa pekerjaannya di pemakaman Imogiri adalah sebuah ruang liminal baginya. Beliau familiar dengan rutinitasnya, familiar dengan makna pekerjaan yang dilakukannya setiap hari. Pengabdian ini adalah pemberhentian terakhir sebelum menyambut yang selanjutnya, proses transisi sebelum nanti pengabdiannya akan digantikan dengan generasi yang baru. Mbah Muji tidak hanya berdamai dengan ruangannya, tetapi juga menempatkan dirinya dengan bahagia dalam liminalitasnya.
Tidak selamanya “ruangan” para tokoh dalam film-film ini memiliki bentuk atau dinding yang mengelilingi mereka senantiasa. Mbah Muji membentuk “ruangannya” sendiri lewat pengabdian yang menyejukkan hatinya, selain itu ada Rigby dalam The Man Who Can’t Kiss The Ground (2023) karya Jason Ezra Maail, yang memilih imajinasinya sebagai “ruangannya”, sebuah tameng untuk melindunginya dari situasi yang tidak menentu.
Siapa yang menyangka bahwa toko ikan hias ternyata bisa bernuansa romantis? The Man Who Can’t Kiss The Ground (2023) menangkap Rigby dan Fey menari-nari, menelusuri deretan akuarium ikan hias yang dihiasi lampu neon dan disajikan melalui permainan editing yang barangkali terinspirasi dari Wong Kar-wai, yang kerap kali menggunakan warna neon dan efek step-printing, yang banyak digunakan dalam Chungking Express (1994).
Rupanya pada setiap adegan romantis seperti itu, snap! Rigby terbangun dari tidurnya di toko ikan hias yang sama, tapi kali ini terdapat sebuah fishbowl yang berisi satu ikan mas. Ikan ini kerap kali diamati oleh Rigby, tenggelam dalam rentetan lamunan dan isi pikirannya yang salah satunya adalah Fey, perempuan yang ditunggu sekian lama untuk datang lagi. Saya melihatnya sebagai Rigby yang terjebak dalam imajinasi miliknya, bahwa ikan mas miliknya yang ia jaga sepanjang film adalah cerminan dirinya yang sendirian dan terperangkap. Rigby beranggapan bahwa Fey tidak akan menghampirinya lagi, bahwa perempuan dengan dress kuning itu tidak akan hadir untuk menemaninya.
Lagi-lagi, Rigby seakan menjebak dirinya dalam “ruang” yang direpresentasikan oleh imajinasinya dan berujung mengambil langkah yang fatal. Pada saat eksekusinya, Rigby terlihat tersenyum lebar, seakan menemukan hal baru yaitu sebuah kemampuan superhero baru yang ia bayangkan barangkali bisa digunakan untuk berkeliling mencari Fey. Romantis, tapi tentunya sia-sia. Buat saya, ini salah satu upaya Rigby untuk move on dari familiaritasnya, bahwa kejelasan Fey yang familiar–tapi serba ambigu ini–perlahan dilepaskan oleh Rigby seperti Rigby melepaskan sepatunya.
Merefleksikan Ruang
Dalam setiap film pendek yang ditampilkan dalam Indonesia Raja 2024: D.I Yogyakarta, saya melihat ruang personal mereka berkaitan erat dengan rutinitas dan perasaan manusia. Kemudian, saya mengidentifikasikan ruang liminalitas saya sendiri sebagai perpaduan antara Omah-Omah dan Under The Idhum Tree, di mana saya membentuk “ruangan” dalam keluarga saya. Di usia yang matang ini, rumah di Jakarta menjadi sekadar tempat persinggahan, di saat saya lebih sering tinggal di kost di Bandung untuk kuliah. Pada akhirnya, saya juga akan pindah dari rumah dan hidup mandiri, namun tetap mendambakan kasih sayang orang tua.
Dari Under the Idhum Tree, saya memahami ketergantungan pada rutinitas sehari-hari, seperti saat ini saya menyibukkan diri dengan aktivitas di kampus. Di masa depan, pekerjaan saya juga akan menjadi “ruang” personal saya. Perasaan familiar ini membuat saya merasa berguna di mana pun saya berada, memberikan stabilitas dalam kehidupan.
Penciptaan “ruang” bagi masing-masing karakter dalam keempat film pendek ini adalah mekanisme mereka untuk berdamai dengan situasi yang ada. Mereka menerima dan beradaptasi dengan situasi mereka masing-masing, bertumbuh sepenuhnya menjadi manusia.
Discussion about this post