The Execution (2019) adalah film eksperimental pendek garapan Jeroen Van Der Stock. Sepanjang 15 menit film berjalan, kita akan mendengarkan rekaman dari proses eksekusi mati Ivon Ray Stanley. Visualnya hanya menampilkan foto wajah Stanley dan bintik-bintik kelabu yang muncul dari ujung layar dan perlahan memenuhi seluruh layar. Di antara proses eksekusi mati Ivon Ray Stanley pada 12 Juli 1984 hingga pembuatan film ini, ada 1452 orang tahanan lainnya yang di eksekusi mati di Amerika Serikat. Dan untuk setiap tahanan yang dieksekusi ditandai dengan bintik kelabu itu.
Pertanyaannya kenapa yang tampil adalah foto wajah Stanley, bukan ruang penjara, atau gambar kursi listrik? Jika foto memiliki kapasitas untuk merekam dan membekukan momen, maka yang terekam dari foto wajah adalah hikayat kehidupan. Semua, terekam lewat kerutan-kerutan di wajah, garis muka, dan ekspresi yang dibekukan oleh foto. Stanley, yang dideskripsikan dalam rekaman “nampak tenang-tenang saja” itu adalah manusia utuh. Manusia yang hidup dan punya sejarah, sama seperti para saksi yang hadir dan sipir-sipir penjara itu.
Pernyataan petugas koreksi hukuman mati yang bilang “nampak tenang-tenang saja” itu, membuat saya terenyuh. Saya langsung teringat salah satu esai favorit saya A Hanging (1931) yang ditulis oleh George Orwell ketika dia sedang berada di Burma. Orwell menyaksikan sebuah hukuman gantung yang dilangsungkan di sebuah lapangan terbuka. Pengamatan Orwell yang fokus pada hal-hal kecil dan manusiawi, atas sang terpidana hukuman mati membuat hati saya sedih. Berikut penggalan esainya:
…It was about forty yards to the gallows. I watched the bare brown back of the prisoner marching in front of me. He walked clumsily with his bound arms, but quite steadily, with that bobbing gait of the Indian who never straightens his knees. At each step his muscles slid neatly into place, the lock of hair on his scalp danced up and down, his feet printed themselves on the wet gravel. And once, in spite of the men who gripped him by each shoulder, he stepped slightly aside to avoid a puddle on the path.
It is curious, but till that moment I had never realized what it means to destroy a healthy, conscious man. When I saw the prisoner step aside to avoid the puddle, I saw the mystery, the unspeakable wrongness, of cutting a life short when it is in full tide. This man was not dying, he was alive just as we were alive. All the organs of his body were working — bowels digesting food, skin renewing itself, nails growing, tissues forming — all toiling away in solemn foolery. His nails would still be growing when he stood on the drop, when he was falling through the air with a tenth of a second to live. His eyes saw the yellow gravel and the grey walls, and his brain still remembered, foresaw, reasoned — reasoned even about puddles. He and we were a party of men walking together, seeing, hearing, feeling, understanding the same world; and in two minutes, with a sudden snap, one of us would be gone — one mind less, one world less.”
Deskripsi yang dipaparkan oleh petugas koreksi hukuman mati dalam film (berbeda dengan Orwell) kesannya sangat rigid dan bisa dikatakan cenderung nirempati terhadap Stanley sebagai terpidana. Namun, justru dari sana, saya rasa keputusan Der Stock untuk fokus memberi eksposur terhadap foto wajah Stanley adalah upaya untuk menekankan aspek humanis. Foto yang lambat-laun, tertutupi oleh bintik-bintik kelabu. Seakan mengisyaratkan kemanusiaan yang perlahan tertutupi oleh banyaknya eksekusi mati. Ceritanya tentu akan lain jika foto yang ditampilkan adalah ruang penjara atau kursi listrik yang jelas akan menampilkan kesan teror dan horor.
Sebetulnya bisa saja jika ingin memvisualisasikan proses eksekusi ini dengan visual yang lebih hidup. Karena rekaman sangat detail menggambarkan proses demi proses, reka adegan yang realistis pun sangat mungkin diwujudkan. Tapi buat apa? Ya buat apa menggambarkan ulang sebuah tragedi dengan detail kalau itu hanya menambah luka atau bahkan memperburuk luka keluarga Stanley. Pendekatan yang dilakukan Der Stock untuk fokus saja terhadap foto wajah dan suara rekaman adalah cara paling aman (secara etis) untuk membicarakan sebuah tragedi kemanusiaan.
Memang, pantas atau tidaknya eksekusi mati sebagai hukuman, masih menjadi perdebatan yang belum selesai. Tapi untuk menyebutnya sebuah tragedi kemanusiaan saya rasa tidak berlebihan. Ketentuan hukum mengenai HAM pada intinya menjamin hak yang paling mendasar dari semua hak yang dimiliki manusia, yaitu hak hidup, sebagaimana termuat dalam pasal 3 (Everyone has the right to life, liberty and security of person). Dengan demikian, hak hidup manusia tidak bisa dengan gampang diambil atau dicabut.
Film The Execution tidak punya intensi untuk memperdebatkan persoalan etis ini. Film ini meminta kita untuk fokus dan berempati pada detail dari menit-menit terakhir kehidupan seseorang. Kehidupan yang diambil paksa atas nama imajinasi tentang keadilan dan stabilitas negara.
Discussion about this post