“Semua orang bisa bikin film, tapi nggak semua orang bisa bikin film bagus.”
“Film yang bagus adalah film yang jadi.”
“Semua film ada penontonnya.”
Semua jargon di atas terlalu abstrak buat dilakukan. Jargon-jargon itu sama sekali tidak menjelaskan apa itu film bagus, tidak ada tolak ukur yang jelas. Belum lagi mereka yang ngomong,”ngapain bikin film bagus kalo ga laku?” Atau sebaliknya, “film yang bagus nggak harus laku!”
Ah! Kenapa kita nggak bikin film bagus yang laku sih?
Jawabannya, karena susah. Perlu proses, metodologi, pengukuran, penelitian, peer review, development, nyari modal, dan lain-lain. Semua hal yang susah itu, dibahas dalam buku Aku Bikin Film Pendek, Sekarang Aku Harus Ngapain Cuk? (2022) karya Clarissa Jacobson. Buku ini diterjemahkan dari buku I Made A Short Film Now WTF Do I Do With It: A Guide To Film Festivals, Promotion, And Surviving The Ride (2019) oleh Edo Wulia, dkk.
Ini buku soal distribusi film pendek yang lengkap, lugas, padat, mudah dimengerti, dan susah dikerjakan.
Kalau kalian berniat jadi filmmaker, dan tidak ingin terlalu menderita dengan profesi yang sudah kalian pilih. Baik sekali untuk baca buku ini, tapi nggak harus. Karena saya sudah satu dekade lebih jadi filmmaker tanpa buku ini, bisa-bisa saja. Tapi, perlu diketahui juga konsekuensinya kalau jalan tanpa arah. Disorientasi, kebanyakan eksperimen, sampai kesehatan fisik dan mental bisa-bisa campur aduk penuh tempe dan ramen.
Ngerinya kalau sampai pekerjaan yang sudah dipilih dengan sadar malah menjadi sumber penderitaan. Jangan ya, jangan sampai. Kalau mau menderita, rencanakan dengan baik agar bisa berbuah manis
Dalam tulisan ini, saya tidak akan kasih bocoran bukunya, biar kalian punya pilihan soal penderitaan panjang tanpa buku ini. Sebaliknya, saya akan kasih 8 hal yang mudah, yang bisa kamu lakukan kalau kamu ingin “bikin film aja”. Lalu menuju ke masa depan suram filmmaker yang saya dan banyak teman-teman saya alami–kebanyakan dari kami gagal, karena kami belum menemukan buku ini.
Inilah, 8 Cara delusional bikin film pendekmu gagal dan membuatmu menyiksa diri dengan kegagalanmu:
- Bikin Dulu Baru Mikir
Bikin film tidak perlu pemikiran dan persiapan yang matang. Ada kamera, ada temen. Bikin aja. Bikin apa? Bikin apa saja sesuka hati, bikin apapun yang kamu mau. Ajak teman-teman yang bisa diajak syuting. Ada tugas kuliah, ya bikin. Galau, ya bikin.
Bikin saja dulu. Niscaya hasilnya adalah film yang tidak punya visi, dan kebanyakan hanya akan jadi sampah di harddisk.
- Pilih Teman Yang Tidak Punya Komitmen
Teman akan sangat membantu proses syuting kamu. Tapi lain cerita kalau kamu tidak bisa percaya pada siapapun. Iya, sebagai filmmaker kita harus terus memelihara trust issue. Hasilnya nanti di credit title lebih banyak nama kamu. Dan bonusnya kamu tidak akan dikecewakan oleh orang lain karena kinerja mereka yang tidak pernah memenuhi ekspektasimu.
Wajar saja, idemu sangat megah dan istimewa sehingga kamu tidak rela membiarkan temanmu merusaknya. Atau mungkin kamu yang tidak piawai menyampaikan idemu?
- Tidak Usah Riset, Hajar Saja
Bikin film itu gampang, tinggal rekam. Belajar edit bisa di Youtube. Tidak perlu ikut workshop, tidak perlu paham konten-konsep-konteks. Baca buku dan riset itu pekerjaan akademisi, bukan filmmaker. Bikin film yang penting jadi. Hasilnya seperti apa, target penontonnya siapa, dan film ini akan dibawa kemana? Serahkan semuanya pada semesta algoritma.
- Bikin Film Saja, Tidak Perlu Punya Skill Lain
Iya dong. Kan filmmaker, bukan any-maker. Jadi tidak perlu paham copywriting, tidak perlu paham desain grafis, tidak perlu mengerti apa itu press kit, apa itu canva? Mainan anak magang? Pitching ke investor? Showcase? Ah itu tugasnya agen. Serahkan semuanya pada semesta, karena kalau filmmu bagus, niscaya akan di ada orang yang melirik.
Tapi, mungkin nanti 3000 tahun lagi, oleh arkeolog yang menemukan sebuah artefak harddisk berisi film-filmmu. Itu pun kalau para arkeolog tidak salah mengidentifikasi harddisk sebagai talenan.
- Ngapain Riset? Kan Sudah Ada Pengalaman Hidup
Bikin film adalah medium untuk curhat! kamu cukup curhat saja! Penonton harus lihat curhatmu. Gak perlu riset, kamu pasti mengerti sekali hidupmu. Hidup orang? Hidup karakter? dan hal-hal sosiologis lainnya itu tidak penting. Semua mesti berpusat pada dirimu sendiri saja. Menjadi director, filmmaker, itu harus punya ego yang besar. Kalau sampai filmu kalah di festival, yang salah festivalnya sudah meminggirkan kamu.
- Orang Lain Itu Neraka, Jadi Jangan Banyak Gaul
Filsuf asal Prancis, Jean-Paul Sartre pernah bilang kalau “neraka adalah orang lain”. Ini bisa jadi pembenaran buat kamu kalau mau jadi filmmaker. Jadi kamu enggak perlu berjejaring di festival film, nggak perlu nongkrong sama filmmaker lain. Kamu boleh banget, muak melihat teman di sosmed yang filmnya jelek tapi masuk official selection di suatu festival yang terakreditasi baik. Kamu harus anti-sosial. Terus kalau dikritik marah, gampang sakit hati. Niscaya penonton filmmu hanyalah kamu seorang.
- Nggak Boleh Gagal, Harus Sempurna! Tapi Kirim Ke Semua Festival Gratis, Tanpa Riset.
Memperhatikan pasar dan target penonton itu tidak penting. Yang penting filmmu mendapat layar sebanyak-banyaknya. Tidak penting memikirkan filmmu masuk di festival mana saja. Masuk ke festival film palsu pun tidak masalah, yang penting festival. Nasib filmmu tidaklah penting, yang penting namamu terkenal, terpampang di mana-mana bahkan di tempat yang fiktif.
- Buatlah Film Paling Sempurna!
Jangan dibikin. Pikirin aja. Plato, filsuf Yunani kuno, pernah bilang “kesempurnaan ada di dalam ide, dalam pikiran”.
Menghayal adalah sebaik-baiknya praktik filmmaking.
Discussion about this post