Pada tanggal 30 Maret 2022, penduduk desa Kampung Sri Makmur di Selangor, Malaysia meminta bantuan kepada Menteri Besar Amirudi Shari untuk memediasi ganti rugi antara warga dengan Perusahaan Pembangunan Negara Selangor (PKNS). yang belum usai hingga kini karena pengambilalihan lahan yang terjadi.
Pengambilalihan lahan dari warga oleh negara yang terjadi di Malaysia, sebenarnya juga terjadi di Indonesia, Thailand, Vietnam, dan sebagian besar wilayah Asia Tenggara. Hal ini ditengarai oleh “deagranisasi” yang terjadi di Asia Tenggara pasca 1980an karena meningkatnya pertumbuhan ekonomi di sektor-sektor lain selain pertanian dan perkebunan. Kebanyakan kebijakan negara yang muncul setelahnya pun didorong oleh wacana nasional dan internasional yang yang mengatakan bahwa lahan-lahan pertanian adalah jantung ekonomi negara sehingga kebutuhan “sentralistik” bagi negara untuk mengakuisisi lahan private menjadi sangat urgent.
Masuknya negara dan kebutuhan kapitalnya ke dalam ruang hidup personal inilah yang menjadi kunci dari film Bagan (Sudden Uncertainty [2021]) karya sutradara Firdaus Balam. Film ini mencoba mengambil sudut pandang seorang anak bernama Frankie sebagai protagonis. Frankie berasal dari keluarga yang miskin dan harus kehilangan teman sebayanya Gamat, seorang anak yang terlampau pintar hingga sering dibully oleh kawan-kawannya ketika rumahnya akan digusur habis oleh proyek pemerintah. Persis seperti apa yang terjadi di desa Kampung Sri Makmur di Selangor.
Uniknya selain karena latar belakang yang diangkat, film ini menampilkan hubungan antar masyarakat yang berbeda kelas dan karakter sosialnya. Hal ini terlihat dalam karakter Frankie yang miskin dan tuna aksara) dengan Gamat yang pintar, dan mampu secara ekonomi. Ketika mereka dihadapkan pada pemerintah yang represif dengan menggusur salah satu dari rumah mereka.
Sejak awal film sutradara berusaha menggiring penonton untuk memahami konflik diantara keduanya, mulai dari perbedaan kemampuan, sosial, hingga cara bercanda yang seringkali membuat keduanya bertengkar.
Namun tampaknya batas-batas yang dibangun sejak awal sengaja dibuyarkan. Ketika sampai pada scene dimana Gamat akhirnya menceritakan kepada Frankie bahwa surat yang menempel di pintu rumahnya, dan tidak bisa dibaca olehnya. Surat itu berisi peringatan penggusuran dari pemerintah setempat yang akan berlangsung beberapa hari lagi. Adegan ini membuktikan posisi sutradara yang berusaha melihat adanya mediasi yang terjadi diantara mereka berdua, yang berusaha untuk memahami dan menerima kelebihan serta kekurangan masing-masing.
Jika merujuk pada teori konflik sosial Ralf Dahrendorf seorang sosiolog dan filsuf asal Jerman dalam bukunya Class and Class Conflict in Industrial Society (1959), fenomena ini dinamakan dengan “konflik parsial”. Dalam konflik ini, perbedaan latar belakang dan identitas, si kaya dan si miskin bisa sewaktu-waktu bersatu dalam menghadapi masalah, jika mereka memiliki ikatan dan kepentingan yang sama terhadap suatu masalah. Hal ini berbeda dengan kebanyakan film yang mengangkat pendekatan realisme sosial populer yang lebih merepresentasikan perbedaan dalam sudut pandang pertentangan kelas yang vertikal dan hierarkis.
Selain itu sensitivitas Firdaus Balam terhadap apa yang terjadi dengan masyarakat di Malaysia, turut berpengaruh dalam membentuk interpretasi terhadap situasi masyarakat. Hal ini dapat dilihat bagaimana sutradara menggambarkan konteks sosial dalam kacamata anak-anak. Ia barangkali memahami bahwa penggusuran lahan masih marak terjadi di wilayah selain Malaysia, seperti Indonesia misalnya. Sehingga kedekatan penonton harus semakin dipertajam dan diperjelas tanpa langsung menuding kelompok masyarakat tertentu baik secara visual maupun naratif.
Dengan latar belakang seperti itu, sutradara akhirnya menawarkan dua karakter anak kecil laki-laki yang berusaha memahami dan ingin “menjadi” bagian dari budaya maskulin di sekitarnya. Hal ini direpresentasikan oleh bullying, laki-laki pekerja/buruh, dan simbol-simbol lain seperti merokok. Tentu saja hal ini berkaitan erat dengan karakteristik masyarakat Melayu yang sebagian besar masih menganut pemahaman patriarki. Namun usaha sutradara untuk mengakhiri film dalam skeptisisme dengan membiarkan salah satu diantara dua karakter itu pergi dan menjadi korban penggusuran, adalah poin menarik.
Jika dilihat dari konteks masalah, pemilihan tokoh, hingga akhir film yang bernuansa skeptis. Film Bagan tentu tidak serta merta ditujukan untuk penonton anak-anak. Studi kasus serupa pernah terjadi di Indonesia masa Orde Baru dimana banyak film-film dengan tokoh utama anak-anak bermunculan. Namun, sebenarnya ia merupakan representasi dari cara pandang orang dewasa, sebut saja; Ratapan Anak Tiri (1973), Anak-Anak tak Beribu (1980), Dimana Kau Ibu (1973), Intan Berduri (1972), dan Arie Hanggara (1985) adalah beberapa contoh kasus yang tepat dalam menggambarkan anak sebagai suara orang dewasa.
Film-film tersebut pun dianggap menaruh anak sebagai tokoh sentral, namun ia mencerabut karakter dan “suara” anak dari kekanak-kanakannya. Serta melibatkan tokoh anak dalam konstelasi masalah sosial bahkan politik yang sedang berlangsung. Pendekatan ini juga pernah dikaji oleh antropolog Karl G. Heider dalam tulisannya Indonesian Cinema: National Culture on Screen (1991). Yang menyebut film-film di masa penuh represi seperti itu bukanlah film anak-anak melainkan film “ratapan anak-anak”. Ia menggunakan anak sebagai tokoh netral untuk menyuarakan kegelisahan masyarakat terhadap situasi sosial yang sedang berlangsung.
Saya rasa hal serupa juga dialami oleh Firdaus Balam dalam membangun dan memutuskan bagaimana film Bagan diposisikan. Film ini seyogyanya merupakan hasil dari realitas ketertekanan sosial dan posisi anak-anak yang ironis. Sebab di hampir semua budaya, anak-anak selalu menjadi simbol “masa depan yang cerah” dalam masyarakat. Namun pada akhirnya justru selalu menjadi korban terakhir dari hal-hal yang sebenarnya diluar kuasa mereka.
Discussion about this post