Di tahun 2017, seorang Redittor (sebutan bagi pengguna website Reddit) membuka sebuah forum diskusi bernama “r/deepfakes”. Di forum tersebut, ia memposting sejumlah video porno palsu yang wajah-wajah pemerannya diubah menjadi wajah-wajah selebriti Hollywood. Ia mengaku bahwa video-video itu dimanipulasi dengan bantuan AI berbasis deep-learning. Selain memercik banyak perbincangan di forum-forum internet saat itu, momen tersebut pun menjadi awal pertemuan dunia dengan sebuah teknologi manipulasi wajah, yang sekarang dikenal sebagai deepfake. Tujuh tahun berlalu, teknologi deepfake telah berkembang pesat—selain kualitas manipulasi wajah yang semakin realistis, kemampuannya memanipulasi suara atau kerap disebut dengan istilah voice cloning juga berkembang.
Dari video-video porno selebriti palsu hingga konten-konten black campaign, deepfake sejak awal kemunculannya, digunakan dan dikembangkan sebagai alat replikasi realita. Teknologi ini dilatih agar mampu memodifikasi realita yang lebih dahulu eksis, untuk menciptakan sebuah realita alternatif yang terkontrol. Hal ini membuat level realisme menjadi semacam parameter utama dalam mengukur kualitas teknologi deepfake. Semakin realistis hasilnya, semakin kecil ruang untuk meragukan keasliannya, berarti semakin “bagus” hasil sebuah deepfake. Sederhananya, deepfake menjadi teknologi yang digunakan untuk memaksakan sebuah realitas.
Di tengah-tengah usaha untuk mengejar kesempurnaan mereplikasi realita ini, film DUCK (2024) karya sutradara Skotlandia, Rachel Maclean muncul untuk mendiskusikan kembali potensi penggunaan deepfake. Dalam DUCK, alih-alih menggunakan deepfake untuk menambal lobang-lobang visual yang mengganggu konsistensi realitas semesta dalam film, Maclean justru bereksperimen dan menggunakannya untuk mendisrupsi realitas: mengganggu pemahaman kita akan konsep realitas. Dalam DUCK, Maclean menciptakan sebuah visualisasi dunia yang memantik sensasi ruang liminal, di mana batas-batas yang memisahkan apa yang nyata dan maya menjadi kabur.
Tak tanggung-tanggung, keseluruhan elemen dari DUCK, baik audio dan visual, diproduksi sepenuhnya dengan teknologi deepfake AI dan green screen. Semua karakter yang membintangi film ini, mulai dari Marilyn Monroe, John F. Kennedy, hingga segepok aktor James Bond dari berbagai era: Sean Connery, Daniel Craig, Roger Moore, dan George Lazenby, semua mampu diperankan oleh Rachel Maclean seorang, tentu berkat kemampuan manipulasi deepfake. Secara plot, DUCK berpusat pada karakter deepfake Sean Connery sebagai protagonis yang sedang menjalankan profesinya sebagai agen rahasia di sebuah mansion. Dari sudut pandang Connery inilah, kita sebagai audiens diajak menjelajahi realitas DUCK yang penuh disrupsi.
Ke(tidak)nyataan yang Kasat Mata
Disrupsi realitas pertama kali terasa di adegan awal, ketika deepfake Sean Connery bertemu dengan deepfake Marilyn Monroe di sebuah ruangan yang tampak seperti kamarnya. Pada adegan ini, disrupsi realitas mulai dibangun secara halus oleh Maclean dari lapisan yang kasat mata: audio dan visual. Penampakan visual ruang kamar dan keseluruhan dunia dari film ini tampak memimik level realisme ala video gim era 2016 ke bawah. Dipadukan dengan tekstur noir ala film analog serta dominasi palet hijau bak The Matrix (1999), dunia dalam DUCK tampil eksentrik sekaligus misterius.
Gaya visual ini juga diimplementasikan ke dalam desain karakter deepfake Connery dan Monroe. Maclean tidak menampilkan wujud mereka berdua dalam level realisme tingkat tinggi yang biasa dijumpai pada hasil-hasil deepfake terkini. Justru, lewat tekstur dan mimik wajah, penonton dibuat sadar bahwa keduanya adalah hasil manipulasi deepfake. Namun, alih-alih menambal anomali realitas ini dengan intonasi dialog yang manusiawi (seperti umumnya dalam video gim), intonasi dialog karakter justru dibuat sangat kaku dan robotik. Konsep Maclean yang stilistik ini menghadirkan realitas yang asing, menciptakan dunia yang hampir nyata tetapi tetap mempertahankan prinsip-prinsip dasar realitas tiga dimensi seperti bentuk, tekstur, dan kedalaman.
Film kemudian diselingi oleh klip deepfake John F. Kennedy yang dalam siaran TV, menarasikan teori konspirasi UFO dengan mengutip idiom populer, “If it looks like a duck, walks like a duck, and acts like a duck, then it is most probably a duck.” Sebuah idiom yang, selain menjadi judul film, juga menjadi sebuah idiom yang ironis di tengah era berita palsu, AI, dan deepfake. Menghadirkan idiom tersebut sekaligus menjadikannya sebagai ikon dalam film ini tampak menjadi cara Maclean untuk melayangkan komentar sosial sambil tetap bereksperimentasi.
Sebuah Pengalaman Kolektif
Selanjutnya, disrupsi realitas hadir lewat eksperimentasi deepfake Maclean yang lebih masif, yakni dalam adegan pasukan deepfake Monroe yang menyerbu Connery. Maclean juga kemudian menghadirkan geng aktor-aktor pemeran James Bond yang terdiri dari Roger Moore, George Lazenby, dan Daniel Craig—masih dengan desain karakter yang robotik seperti Connery. Logika realitas audiens dan Connery kini keduanya terdisrupsi oleh eksperimentasi deepfake yang dihadirkan Maclean. Lewat plot penggandaan diri yang dilakukan Monroe dan kesadaran karakternya sebagai entitas deepfake, Maclean kini memasukkan teknologi deepfake itu sendiri ke dalam plot sebagai elemen penggerak cerita—sekaligus semakin mendisrupsi logika realitas.

Kekacauan realitas ini kemudian memuncak di adegan selanjutnya saat deepfake Moore—alih-alih memberi penjelasan—malah semakin mendistorsi perspektif realitas Connery dengan bilang bahwa semua yang baru saja terjadi, tidaklah nyata. Moore lalu membuktikannya dengan sengaja mengemudikan mobil ke jurang. Setelah disenggol halus dalam adegan awal, saat Connery dan Monroe “berebut” kontrol narasi koran, dinamika relasi kuasa kembali hadir dalam interaksi Moore dengan Connery dalam mobil. Akan tetapi, yang hadir kali ini adalah relasi kuasa yang timpang, meninggalkan Connery sebagai “tawanan realitas” dari Moore, seperti yang ia siratkan dalam dialognya, “This is my reality, and apparently you’re just living in it”.
Dengan menjadikan Connery sebagai satu-satunya karakter yang tidak tahu dirinya adalah deepfake, Maclean berusaha menyamakan pengalaman Connery dengan audiens. Kita, layaknya Connery mungkin juga tidak sadar bahwa kita sebenarnya hidup di tengah-tengah realitas yang dibangun di atas kebohongan dan kepalsuan. Pemunculan idiom “If it looks like a duck” di sepanjang film pun tampak jadi cara Maclean untuk membuktikan bagaimana nilai-nilai dan pandangan tradisional perlahan terkikis oleh perkembangan teknologi hingga kehilangan relevansinya. Karakter Connery seakan jadi epitome dari kita yang kini tak lagi memiliki kendali akan realitas sendiri—direnggut oleh mereka yang memiliki kuasa.
Kecermatan dan kreativitas Maclean dalam DUCK tidak hanya menjadikan film ini sajian eksperimental yang eksentrik dan dinamis, tetapi juga karya yang mampu merestorasi stigma negatif yang selama ini diemban oleh deepfake, mengembalikannya ke bagaimana seharusnya ia dipandang, yakni sebagai sebuah alat. Ia juga membuktikan bahwa selain berfungsi sebagai moda eksperimentasi, deepfake memiliki potensi fungsi yang jauh dari sekadar praktis, yakni estetis atau bahkan politis. Narasi DUCK yang juga dibangun di atas teknologi deepfake itu sendiri, menjadi sebuah komentar sosial yang menyoroti sekaligus mendisrupsi pandangan tentang realitas status quo yang dipenuhi rekayasa dan tipu daya yang mengaburkan kebenaran objektif.
Meski begitu, capaian ini tidak lantas menjadi bentuk validasi penggunaan deepfake atau AI dalam karya seni secara mentah-mentah. Dalam ruang-ruang berkesenian, perbincangan dan bahasan tentang potensi eksplorasi artistik yang ditawarkan oleh AI juga harus diimbangi oleh perbincangan tentang persoalan-persoalan lain yang tak kalah krusial, seperti persoalan etis, konsumsi energi tinggi dan dampaknya terhadap lingkungan, serta efeknya terhadap lapangan kerja para pekerja seni.
Discussion about this post