“Fenomena kritik film di era sosial media merujuk pada dua hal signifikan; satu, anggapan bahwa (seolah) kritik film ditujukan kepada pembuat film. Dua, kemerdekaan berpendapat menjadi nafas kritik yang sambil lalu dan tidak bertanggung jawab. Kritik film itu ruang temu gagasan, bukan adu gagah-gagahan.” Begitu cuitan Yosep Anggi Noen di laman Twitternya beberapa waktu lalu. Sontak langsung menjadi buah pikir untuk saya yang berstatus sebagai Mahasiswa Pengkajian Prodi Televisi dan Film di salah satu kampus seni di Indonesia.
Film merupakan seni audio-visual yang di dalamnya terdapat unsur-unsur seni lainnya seperti, seni rupa, seni teater, seni musik, dan lain sebagainya. Tanpa sadar ketika kita mempelajari dan memahami film, kita juga terbawa arus dalam mempelajari bidang seni yang lainnya.
Film juga merupakan tontonan yang interaktif, ketika kita menonton film otak kita didorong untuk berpartisipasi menilai masing-masing komponen yang dihadirkan secara audio-visual melalui sebuah film. Baik itu adegan, penataan artistik, Bahasa yang digunakan, dan lain sebagainya.
Sama-sama kita ketahui bahwa kritik merupakan kecaman atau tanggapan, kupasan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya. Kehadiran kritik pun belum tentu merupakan sebuah hujatan kebencian baik itu kepada sebuah karya, ataupun pengkaryanya.
Kritik film merupakan bagian dari ekosistem perfilman, begitu juga di Indonesia. Zainal AN mencatat sejak tahun 1960-an kritik film muncul sebagai pekerjaan profesional. Semakin banyaknya media yang menaruh perhatian pada perfilman. Zainal menyebutkan kritikus film pada era ini diantaranya yaitu Usmar Ismail (selain menjadi sineas, Usmar Ismail juga aktif menulis soal film), Hamildy T. Djamil, Bus Bustami, Rasyid Abdul Latief, Lingga Wisnu, Misbach Yusa Biran, Purwana dan lainnya. Nafas kritik film Indonesia pada era ini berada di tangan wartawan, dan dengan demikian tidak lepas dari pekerjaan wartawan, yaitu melaporkan sesuatu yang baru, dalam pengertian si penulis lebih banyak menekankan aspek kebaruannya daripada aspek kelanggengannya sebagai hasil karya seorang sineas. Karena kritik diperlukan tak ubahnya berita. “Kritik-kritik awal tentang film lebih banyak memberitakan isi cerita film tersebut dan nama-nama pemainnya.”
Begitu juga dengan Sutradara ternama Indonesia dengan karya “Perempuan Tanah Jahanam”, yaitu Joko Anwar. Sebelum menjadi seorang sutradara, beliau memulai karir menjadi kritikus film profesional untuk harian cetak The Jakarta Post di tahun 2000 hingga 2005. Hal ini menjadi bukti bahwa kritik film pernah menjadi pekerjaan profesional di masanya. Berbeda dengan sekarang yang bisa menyalurkan kritikan terhadap film melalui media-media online secara bebas. Kritik film juga ikut membangun perfilman di setiap negara, termasuk Indonesia, baik secara estetika maupun bisnis.
Kritik film berguna bagi sineas dan industri untuk melakukan evaluasi bagian mana dari film berhasil, dan yang tidak. Secara teknis maupun teori. Oleh karena itu kritik film sangat berguna jika dilandasi dengan pengetahuan dan pemahaman bahasa film yang melibatkan teknis dan estetika. Bukan hanya cuma sekedar bagus atau tidak bagus cerita sebuah film dan lainnya.
Bedakan mana yang kritik film, dan impresi film. Kritik film bersifat material, tentu sebagai kritikus mempunyai modal untuk menciptakan sebuah kritik. Beberapa di antaranya yaitu pengetahuan film, keterampilan menulis dan berargumen, akurasi dalam menarik kesimpulan dan mungkin retorika. Sedangkan impresi film yang kita butuhkan hanya akses, dalam hal ini bisa kita libatkan uang, waktu, ruang, dan panca indera.
Dalam cuitan di akun Twitternya, Makbul mengatakan bahwa “Kalau habis nonton film, kamu Cuma bisa komentar “ih yawlo, filmnya mind-blowing, banget” atau “ceritanya ketebak banget,” “Hold your horses, kamu bukan kritikus dan omongan barusan tidak bisa disebut kritik. Itu hanya impresi.” Saya setuju dengan pernyataan ini. Karena pada dasarnya dalam mengkritik sebuah karya seni khususnya film tentu kita akan menghadirkan beberapa bahan kajian yang berlandaskan pemahaman mengenai bahasa film, teknis, dan estetika, yang nantinya akan dikupas, dipelajari, dipahami dan setelah itu disajikan kembali oleh seorang kritikus, baik dalam bentuk tulisan ilmiah, essay, opini di majalah-majalah, channel Youtube, Instagram TV, dan lain sebagainya.
Baik dan buruknya sebuah kritik tentu dapat diukur dari bagaimana pemahaman kritikus terhadap bahan yang dihadirkan. Baik itu mengenai bahasa film, teknis, estetika dan bagaimana cara menyajikan kritik tersebut. Namun, baik ataupun buruk sebuah kritik tujuannya tentu untuk kemajuan sineasnya, kemajuan kritikus itu sendiri dalam menyajikan sebuah kritikan, penonton film dan pembaca kritik yang juga ikut dalam ekosistem perfilman, khususnya Indonesia.
Seperti kutipan dari Yosep Anggi Noen di atas, kritik merupakan ruang temu gagasan, bukan ajang gagah-gagahan. Di sini saya menerjemahkannya menjadi. “Kritik merupakan ruang temu gagasan, bertukar pikiran dan pemahaman mengenai teknis dan estetika film, baik itu di dalam penggarapan atau cara bertutur sineas terhadap karyanya, maupun di dalam ide pokok dalam cerita sebuah film”.
– Illustrasi artikel: Edo Wulia