Dalam kehidupan sehari-hari, kita selalu menjumpai ketimpangan sebagai realita. Tak perlu jauh-jauh: di jalanan, di institusi pendidikan, bahkan di rumah sekalipun, ketimpangan berkelindan dengan keseharian. Ketimpangan ini menjadi bukti kalau “kekuasaan” hanya digenggam oleh segelintir orang. Ketimpangan dan kekuasaan dalam wujudnya yang realistis, terlihat dalam 3 karya dokumenter yang menjadi nominasi MFW8 Best Short Documentary. 3 dokumenter tersebut membuka mata penontonnya bahwa dokumenter bukan hanya sebuah kejadian atau realita hidup, juga bukan hanya soal keindahan teknis. Lebih dari itu, dengan halus, film-film ini membawa pesan kuat yang bisa begitu persuasif sehingga penonton dapat merasakan “penindasan” yang dialami subjek dalam film.
Belle River (2022): Sungai Yang (tak lagi) Cantik
Pada tahun 2019, banjir musim semi di Mississippi mencapai rekor tertinggi. Kala itu di Louisiana, penduduk Pierre-Part sedang bersiap untuk yang terburuk. Menghadapi peristiwa tersebut, otoritas lokal akan segera dipaksa untuk membuka pintu air Morganza Spillway, untuk menyelamatkan kota-kota New-Orleans dan Bâton-Rouge dari banjir yang tidak terkendali lebih lanjut. Meskipun telah difasilitasi penanggulangan di Louisiana, penduduk Pierre-Part menjadi subyek yang terkena getahnya. Hingga saat ini, para penduduk Pierre-Part menjadi subyek yang hidup berdampingan dengan genangan dari air sungai yang tak kunjung surut. Luapan air sungai itu menelan ban kendaraan, tangga rumah, dan sepanjang jalanan di mana air itu tak seharusnya berada.
Pembangunan di Louisiana memang terhitung lambat. Banyak penduduknya yang termarjinalkan: tidak punya akses pendidikan yang memadai, infrastruktur yang terbatas dan terlewatkan oleh kepentingan-kepentingan yang ada di kota besar. Dari awal, film dokumenter yang disutradarai oleh 3 orang (Guillaume Fournier, Samuel Matteau, Yannick Nolin) ini membawa kesan bahwa banjir di sini merupakan fenomena umum dan sudah menjadi bagian dari hidup masyarakat.
Ada sebuah pepatah Jawa yang berbunyi narimo ing pandum. Pepatah ini berarti sikap menerima dan pasrah sepenuhnya terhadap situasi atau musibah yang tengah dialami. Inilah yang dilakukan penduduk di Pierre-Part. Mereka tampaknya benar-benar sudah menerima kenyataan bahwa yang terjadi di Pierre-Part adalah sebuah rentetan dari dampak krisis iklim yang masif di Amerika Serikat dan disebabkan oleh aktivitas industri ekstraktif dan kepentingan penguasa. Mereka sepenuhnya menerima dan pasrah, sehingga tak pernah sekalipun melakukan sebuah gerakan komunal untuk memperjuangkan hak-hak mereka dan menyikapi dampak dari relasi kuasa yang tak seimbang.
Meski lahan tergenang air, di sanalah mereka merasa damai dan bebas. Mereka kukuh untuk menempati Pierre-Part. Bagi mereka itulah satu-satunya tempat yang menyimpan banyak memori yang jauh dari kebisingan. Tiap-tiap penduduk saling merangkul dan mereka mensyukuri eksistensi satu sama lain. Keyakinan, ketangguhan juga diiringi penerimaan adalah dua senjata terbaik yang masih dimiliki penduduk Pierre-Part dalam menghadapi kesulitan dan tantangan.
The Sound of The Time (2021): Mendengarkan Getir Masa Lalu
Apa yang akan terjadi jika seseorang memiliki kesempatan untuk mendengarkan suara masa lalu yang kelam? The Sound of the Time (Jeissy Trompiz, 2021) akan memberi kesempatan ini untuk penontonnya.
Nico adalah pria murah hati yang mendengarkan dan juga merekam percakapan dengan tentara di masa lampau. Ketika ia mendengar suara Andrés, seorang prajurit yang telah selamat dari beberapa perang, ia merasakan empati yang membawanya untuk berkomunikasi dengan Andrés, tapi tak berhasil. Nico justru mendengarkan kematian Andrés sehingga ia menyadari ketidakmanusiawian dan rasa sakit perang. Dokumenter ini membawa kembali kenangan pahit masa lalu dan nostalgia yang sebenarnya tidak terpisah dari kehidupan manusia sekarang, tetapi berusaha untuk dikubur dalam-dalam.
Menonton The Sound of the Time tak perlu paham soal sejarah perang-perang yang telah terjadi. Dokumenter ini akan tetap membuat penontonnya merasakan kekejian yang terjadi pada masa itu, seakan-akan penonton ada dalam posisi yang sama dengan Nico. Segala sesuatu yang dipaparkan dalam The Sound of the Time sungguh mengingatkan kembali pada bencana kemanusiaan terbesar dalam sejarah peradaban manusia tersebut masih membekas hingga kini.
Dokumenter ini dapat membuat penontonnya membenci penguasa-penguasa berhati dingin yang telah kita pelajari dalam buku sejarah. Jika kalian pernah mendengar istilah “stranger than fiction”, The Sound of the Time merupakan kisah di mana kenyataan lebih aneh daripada fiksi. Sungguh, penonton akan sulit untuk membayangkan skenario yang lebih menggores luka. Kalian dapat merasakan apa yang dialami Nico dan diajak ikut untuk memikul beban di pundaknya.
The Swirl (2021): Ketika Orang Lain Melewati Garis Imajiner Kita
The Swirl (Helka Heinonen, 2021) merupakan sebuah dokumenter berdurasi 22 menit yang mengingatkan kembali batas-batas yang seharusnya ada pada titik balik tumbuh dewasa. Di akhir tahun ajaran sekolah, seorang gadis berusia 12 tahun mendapat hadiah menyenangkan dari gurunya, sebuah perjalanan ke daerah utara. Mereka bepergian dengan harapan akan bersenang-senang bersama.
Gadis itu sekarang sudah tumbuh dewasa, dan mencoba menyusun kembali kepingan-kepingan peristiwa yang terjadi kala itu. Dengan berhati-hati, karya ini mempelajari pengalaman sang gadis yang kompleks dan membungkusnya kembali sebagai sebuah dokumenter yang tenang dan lambat, dibalut dengan karya seni media fiktif yang menggabungkan gambar bergerak dengan animasi stop motion yang dibuat menggunakan cat air. Narasinya tumpang tindih, terjadi pada dua kurun waktu yang berbeda.
Tampaknya, gadis itu mengalami kekerasan seksual ketika sedang berlibur dengan gurunya. Namun, ia dipaksa untuk diam dan tak diizinkan untuk menceritakannya ke siapa pun. Fakta bahwa The Swirl tak benar-benar memaparkan secara gamblang akan apa yang terjadi di antara gadis 12 tahun dan gurunya pada kala itu merupakan sebuah nilai positif karena tidak memicu trauma pada korban. Meski demikian, The Swirl telah berhasil meningkatkan kesadaran penontonnya bahwa masih banyak orang-orang yang mengalami apa yang dialami gadis tersebut.
Dengan halus, The Swirl juga berhasil menyalurkan emosinya kepada penonton, terutama ketika para korban menceritakan pengalaman mereka dengan suaranya yang sendu penuh nestapa. Bahkan jika penonton memalingkan muka dari layar, penonton akan merasakan suasana yang lara.
Discussion about this post