Bersama para penikmat film dan sineas, saya berkesempatan menyaksikan Layu Sebelum Berkembang (Die Before Blossom) pada Sabtu, 21 Juni 2014 lalu di Irama Indah. Tidak hanya pemutaran film, acara yang diadakan Minikino ini juga menghadirkan diskusi bersama Ariani Djalal, sineas di balik film Layu Sebelum Berkembang. Denpasar adalah kota terakhir yang disinggahi Ariani untuk memutar film teranyarnya tersebut.
Sebelumnya, pemutaran keliling yang didukung oleh Ford Foundation dengan roadshow film officer Damar Ardi ini telah menyambangi sembilan kota, antara lain Jakarta, Yogyakarta, Lombok, dan Sumbawa. Meskipun audiens secara kuantitas tidak seberapa, namun terbilang antusias berpartisipasi dalam diskusi yang rencananya diestimasi 30 menit tapi akhirnya mengulur sampai 50 menit.
Layu Sebelum Berkembang menyoroti sepenggal kehidupan dua siswi kelas 6 SD di Yogyakarta, Kiki dan Dila, dalam menjalani pendidikan mereka. Film dokumenter yang turut menjadi bagian Kompetisi Internasional di ChopShots – Documentary Film Festival Southeast Asia 2014 ini, semakin memiriskan pandangan saya terhadap sistem pendidikan di Indonesia.
Menonton Layu Sebelum Berkembang seperti berkenalan dengan Kiki dan Dila tanpa adanya opini naratif yang mempengaruhi perkenalan itu. Ariani menunjukkan eksplorasinya terhadap Kiki dan Dila melalui interaksi mereka dengan teman dan keluarga, yang direkam apaa danya. Tanpa wawancara langsung, penonton mampu menyimpulkan betapa berbedanya kepribadian kedua anak dan betapa samanya masalah yang mereka hadapi. Saya kira inilah cara sang sutradara menyampaikan hal yang menggugahnya, sekaligus secara efektif memancing penilaian penonton tentang apa saja yang bisa dikritisi. 90 menit film seolah menjadi representasi wajah pendidikan Indonesia masa kini yang “kalut” dengan ketidak adilan sistem nilai, tipisnya sekulerisme (khususnya di sekolah negeri), orientasi berbentuk perploncoan ala militer, dan berbagai common error yang dilakukan praktisi pendidikan.
Menurut Ariani, pendidikan adalah isu yang meresahkannya. “Sistem pendidikan kita mengajarkan siswa untuk tidak berpikir kritis. Siswa tidak diajarkan untuk menjawab hubungan sebab akibat ataupun creative thinking. Akibatnya, indikatornya menjadi sangat gampang sekali ketika anak bisa menjawab dengan multiple choice. Saya kira itu karena kemalasan guru, tidak ada sistem yang mendukung anak bisa menjawab dengan esai.” ujarnya.
Selain sistem pelajaran, terjadi berat sebelah juga terhadap NEM murid sebagai penentu kelulusan. Hal ini tidak hanya mencemaskan si anak didik, melainkan menyeret orang tuanya untuk ambil pusing juga. Salah satu penonton menyatakan keheranannya menyaksikan kerepotan dan kebingungan orang tua Kiki dan Dila saat mendaftarkan hingga mengecek apakah anaknya berhasil lolos di sekolah tertentu yang difavoritkan. Film ini menunjukkan ekspresi sedih Kiki, yang lulus UAN dengan nilai akhir yang kurang memuaskan baginya (dan juga bagi orangtuanya). Nilai Kiki tidak memenuhi standar SMP yang diincarnya (dan juga diincar orangtuanya). Menurut penonton lain, dibandingkan dengan zaman 80an, misalnya, orang tua tidak terlalu ikut campur dalam hal ini. Dengan adanya “keberatan” orang tua seperti ini, apapun akan dilakukan orang tua demi bisa menyekolahkan anaknya di sekolah yang mereka inginkan. Ini membuat peluang permainan uang terbuka. Film memang tidak secara langsung menyorot permainan uang ini, akan tetapi dengan segala kerepotan yang dijabarkan di atas, maka kemungkinan pun terbuka. Apalagi, hal-hal seperti ini telah menjadi rahasia umum.
Hal lain yang tersurat dalam film adalah kentalnya unsur agama Islam dalam pendidikan sekolah negeri. Pertanyaan penonton pun terlontar perihal topik yang sering diangkat Ariani dalam film-filmnya itu (seperti Born in Aceh dan Women and Syariah Law). Lulusan Filsafat Universitas Gajah Mada ini mengungkapkan apa yang sesungguhnya ingin ia gali lebih dalam. “Saya sangat tertarik dengan isu Islam karena Islam adalah agama mayoritas di Indonesia. Disekolah negeri yang seharusnya sekuler, ternyata ada yang di bawah Departemen Agama (misalnya pendidikan madrasah). Seolah-olah yang mendapat fasilitas dari Departemen Agama justru yang mayoritas. Kalau memang sebuah negara bhinneka tunggal ika, perlakuannya seharusnya sama, ya.”
Dari perspektif gender, film juga menggambarkan perlakuan yang tidak sama, yakni lewat bagaimana seorang guru agama Islam memberikan “doktrin” berbeda kepada siswa-siswi. Contohnya, anak laki-laki sedari dini sudah secara didaktis dikonsepkan menjadi kepala rumah tangga, yang artinya mereka harus punya penghasilan lebih banyak dari istri. Anak-anak perempuan “dibentuk” untuk mengasuh anak dan patuh pada suami. Diseragamkan. Tanpa diberi kebebasan eksplorasi. Ini adalah salah satu common error dunia pendidikan Indonesia. Layu Sebelum Berkembang kembali menunjukkan poin yang “melayukan” anak-anak itu.
“Layunya” mereka mungkin paling terasa saat pelatihan baris-berbaris ala militer yang dibumbui hujan teriakan senior. Adegan yang sangat nostalgic bagi saya dan alumni-alumni orientasi yang lain. Ternyata, benar saja, bagian akhir film inilah yang paling intens dikomentari penonton. Saya rasa masih ada sakit hati mengendap akibat serangkaian perploncoan yang mereka pernah ikuti. Salah satu penonton mengaku cukup kaget mengetahui zaman sekarang masih ada kegiatan militeristik seperti itu, yang notabene dialaminya puluhan tahun lalu. Tentunya sistem ini sudah tidak relevan lagi dan semestinya dihapuskan. Apalagi, sistem telah berulang kali memakan korban, seperti kasus mahasiswa ITN Malang yang meninggal saat orientasi. Menurut Ariani, itu adalah salah satu bentuk fasisme, dengan adanya upaya pembalasan dendam yang tiada akhir dalam hubungan senior-junior yang tidak egaliter. Akantetapi, masa orientasi tidak selalu dilalui dengan sakit hati. Salah satu penonton yang masih bersekolah mengatakan bahwa di sekolahnya tidak ada senioritas. Orientasi hanya ajang seru-seruan saja, katanya. Jadi, ada yang malah ingin kembali ke masa-masa itu, di mana menurutnya terjalin kebersamaan dengan kawan-kawan barunya.
Judul Layu Sebelum Berkembang bisa dianalogikan dengan bagaimana anak-anak terkungkung sistem, sehingga potensi mereka yang tersembunyi (atau sengaja disembunyikan) tidak mampu dirangsang untuk tumbuh. Ibaratnya tumbuhan bertunas, tunas mereka dimatikan terlebih dahulu, bahkan sebelum proses berbunga mulai. Apa ya, yang terjadi jika mereka dibiarkan berkembang tanpa harus dilayukan? Mungkin saja Dila dan Kiki kelak tampil sebagai penyanyi dan pemain drum terkenal yang NEM SDnya sama sekali tidak dipersoalkan.