Kendati belakangan banyak Gen Z menarasikan Bali sebagai tempat yang baik untuk healing dan menggali inner peace. Sesungguhnya Bali selalu penuh dengan tegangan. Tegangan tentu tak semata-mata dipahami sebagai sumber konflik kekerasan fisik. Lebih sering, ia termanifestasi dalam dualitas pertentangan nilai dan paradigma yang bersemayam dalam masyarakat: antara tradisional dan modern, yang mistis dan yang rasional.
Masyarakat Bali seakan harus terus hidup di batas pertentangan ini. Entah menjembatani yang bertentangan atau mencari jalan di antaranya. Yang pasti, dinamika masyarakat dalam merespons hal ini bisa jadi sangat beragam. Dalam perkara yang mistis dan yang rasional, masyarakat Bali nampaknya memilih untuk memadukan keduanya sebagai paradigma yang berkelindan. Setidaknya itu yang saya lihat dari enam film pendek dalam Program Indonesia Raja 2022: Bali yang bertajuk Rasionalitas Mistis.
Kardian Narayana sebagai programmer, menggunakan istilah Rasionalitas Mistis. Suatu istilah yang cukup sulit dipahami sebetulnya. Dan seperti biasa untuk mengakali sesuatu yang sulit, mari kita bandingkan Rasionalitas Mistis dengan istilah lain yang punya kemiripan.
Saya pernah mendengar istilah yang mirip-mirip—menentangkan dua hal—seperti realisme magis atau spiritualisme kritis. Realisme magis biasa disematkan pada gaya tutur/genre yang mencampuradukkan peristiwa sehari-hari dengan fenomena diluar nalar (magical). Lalu spiritualisme kritis pertama kali saya dengar dari sastrawan Ayu Utami yang kurang lebih mendefinisikannya “sebagai keterbukaan pada yang spiritual tanpa mengkhianati nalar kritis”. Rasionalitas mistis saya rasa lebih dekat dengan yang kedua. Sama-sama perkara nalar.
Bila dilihat dari sejarahnya, istilah rasio dekat dengan tradisi berpikir akali, sejak Filsuf Yunani Aristoteles menggunakan istilah Animal rationale (hewan yang mampu menalar) untuk membedakan hewan-manusia dengan hewan-non-manusia. Dan di sisi lain mistis—dari bahasa Yunani mystikos—sifatnya lebih misterius, tidak terjangkau akal, dan rahasia. Sederhananya di sini saya akan memahami rasionalitas mistis sebagai paradigma untuk menalar, mencari suatu sifat yang rasional dalam perkara yang kerap tidak terjangkau akal.
Dengan begitu, di tahun ke-empatnya menjadi programer Indonesia Raja Bali. Kardian nampak meniatkan program ini untuk menyentuh tataran paradigma melalui film-film pilihannya. Tentu jika kita bisa sepakat mengartikan paradigma sebagai sebuah pandangan atau pun cara pandang yang digunakan untuk menilai dunia dan alam sekitarnya. Maka program ini juga diperkuat dengan catatan program yang Kardian sematkan, “Ada hal-hal yang tak berwujud menggerakkan seluruh karakter dalam seluruh film-film pendek pilihan tahun ini. Dengan berbagai bentuk, hal-hal mistis dan spiritual ditafsirkan tanpa menjadi absolut”.
Paradigma “Di Antara”
Paradigma manusia yang berjalan dari mitos ke logos adalah mitos tersendiri. Suatu mitos tentang perkembangan yang dianggap selalu berjalan linier. Mitos yang erat kaitanya dengan perkara mistis, sejatinya tidak serta-merta ditinggalkan dan digantikan oleh sesuatu yang lebih modern-logis. Dalam film-film pendek seperti Puisi Luka (2022), Obsesi (2022), On the Day I meet Marry (2022), terlihat jika hal-hal mistis adalah perihal rasa yang purba, dan ia tidak luput dari masyarakat yang sudah modern sekalipun.

Dalam Film eksperimental Puisi Luka karya Juan Bio, kematian hewan ditampilkan sebagai suatu yang spiritual, mendorong tokoh utamanya melakukan hal yang absurd (dan puitis). Menghancurkan rumah peliharaan, membakar puing, dan menyirami puing sungguh suatu tindakan konyol dan sia-sia. Tapi justru di sana makna eksistensial tentang absurditas hidup mendapatkan tempatnya. Karena tidak semua hal dalam kehidupan—termasuk fenomena hidup dan mati yang setua peradaban manusia—bisa mentah-mentah dicerna nalar.
Obsesi karya Dharma Sukawiyana dan On That Day I Met Marry karya I kadek Indra Agustina berbicara tentang tema abadi lainnya, cinta. Kemajuan teknologi menjadi subteks yang penting di kedua film ini. Obsesi secara komedik menempatkan teknologi media sosial sebagai sirkuit percintaan dan perdukunan sebagai jalan meraih cinta. Lalu On That Day I Met Marry menghadirkan latar futuristik, di mana kisah tentang manusia yang mencintai humanoid dapat terealisasikan.

Di tengah kemajuan teknologi itu, film Obsesif menampilkan adegan praktik spiritual perdukunan. Meskipun kelihatannya adegan itu ditampilkan sebagai suatu kritik atas praktik yang “tidak masuk akal”. Terlihat cara tokoh-tokoh dalam film-film ini merespons rasa, menunjukan paradigma tokoh dalam memandang realitas hidupnya. Keputusan yang diambil tokoh menjadi gambaran logika penyelesaian suatu masalah. Dan adegan-adegannya adalah manifestasi struktur atau sistem kepercayaan yang terbentuk untuk menunjang kepentingan film.
Melalui berbagai kisah “di antara”, tiga film dari program Indonesia Raja 2022 Bali ini menjadi pembuka yang baik untuk mengantarkan kita pada konsep sekala-niskala. Sebuah konsep tentang integrasi persoalan-persoalan kebatinan dan keduniawian yang cukup mengakar dalam paradigma masyarakat Bali. Dan tentu ini selaras dengan apa yang Kardian sebut dalam catatan programnya “hal-hal yang tak berwujud (mistis dan spiritual) menggerakkan seluruh karakter (tubuh dan dunianya)”.

Negara, Modernitas, dan Mistifikasi Mitos
Lain dengan tiga film sebelumnya yang mengandaikan hal-hal mistis sebagai suatu yang terberi (dan begitu adanya) sebagai fondasi logika film. Tiga film berikutnya, Astungkara (May it happen by His will) (2021), Belajar di Kampung (2021), dan Kala Rau When The Sun Got Eaten (2022), ketika ditonton secara berurutan, terasa menawarkan eksaminasi yang lebih radikal tentang apa yang mistis dan yang rasional.
Menonton film dokumenter Astungkara arahan Anak Agung Ngurah Bagus Kesuma Yudha, sedikit membawa saya pada pemahaman Gung Aji dan Gung Byang tentang dimensi spiritual Hindu-Bali. Dari film yang menggunakan format dokumenter observasional ini, terlihat laku ibadah dan keseharian para subjeknya di masa pagebluk. Matahari memiliki peran vital bagi para subjek dalam Astungkara. Praktik perapalan mantra Nyurya Sewana dan Tri Sandya menjadi laku spiritual (yang rasional) sebagai bentuk pemujaan kepada Sanghyang Surya (penguasa matahari) ketika beriringan dengan keyakinan Gung Aji jika, “virus akan mati kena sinar matahari”.

Momentum pagebluk juga digunakan oleh I Made Suarbawa dalam filmnya Belajar di Kampung. Ia mengikuti keseharian Puspa Dewi yang harus sekolah dari rumah Neneknya di Desa karena penyebaran virus. Film ini dengan baik menangkap problematika keseharian dalam ranah teknologi, seperti siaran TVRI yang buram karena program digitalisasi siaran tv, sampai kesulitan mengirim pesan karena susah sinyal. Dalam lanskap sinema era pandemi di Indonesia yang dituruti dengan gencarnya wacana revolusi 4.0. Problematika keseharian yang ditampilkan dalam film ini menjadi kritik tajam atas retorika pembangunan yang abai pada “realitas pinggiran”. Di mana teknologi modern bukan satu-satunya jalan yang manjur untuk segala hal. Posisi sains dan teknologi adalah opsi yang tidak absolut.
Kedua film dokumenter pendek ini jelas memperlihatkan paradigma masyarakat atas virus sebagai suatu yang niskala. Dan mempengaruhi langsung dinamika kehidupan para subjeknya. Tapi perhatian saya, agaknya tertuju pada konteks yang lain; kehadiran matahari yang dibicarakan dalam Astungkara sebagai sesuatu yang agung dan memberi kebaikan. Dilanjut siaran belajar dari rumah dari TVRI sebagai bentuk rasionalitas kehadiran negara dalam Belajar di Kampung. Kedua hal yang hadir dalam konteks kekinian, memiliki konteks yang jauh berbeda 40 tahun yang lalu. Tepatnya tahun 1983 ketika berlangsungnya gerhana matahari total yang menjadi latar belakang film selanjutnya, Kala Rau When The Sun Got Eaten.

Medy Mahasena sebagai sutradara Kala Rau When The Sun Got Eaten menggabungkan pendekatan fiksi sejarah dengan kearifan lokal setempat tentang mitos Kala Rau. Kisahnya, tentang Sri yang mencari ayahnya saat gerhana matahari total berlangsung. Ada satu sekuens menarik dalam film ini yang menampilkan tegangan paradigma rasional dan mistis. ketika Sri dan beberapa warga lainnya duduk bersama di teras menghadap TV yang menyiarkan penjelasan mengenai gerhana matahari.
Penjelasan rasional dipresentasikan oleh pembawa acara perempuan di TVRI yang menjelaskan fenomena gerhana matahari. Di sisi lain, ada Pak Agus, seorang tokoh desa yang menceritakan Kala Rau yang kepalanya melesat abadi di angkasa dan memakan matahari. Dua kisah ini dituturkan secara bersamaan, dan kisah tentang Kala Rau menjadi dominan (punya desibel yang lebih besar) dibanding suara pembawa acara di TVRI yang tenggelam jadi suara latar. Nampaknya, kisah tentang Kala Rau sebagai mitos lebih mudah diterima oleh Sri.
Film telah diberkahi kemampuan luar biasa dibanding medium seni lainnya dalam merepresentasikan dan bahkan memanipulasi kenyataan. Dan film Kala Rau menjadi representasi atas kekuatan mitos sebagai instrumen politik, yang tampaknya sangat disadari oleh Soeharto. Mitos Kala Rau (atau Batara Kala di Jawa) direproduksi oleh pemerintah Orde Baru untuk melegitimasi kontrol terhadap masyarakat. Perintah melalui perangkat desa, menyuruh warga untuk berlindung di dalam rumah karena adanya bahaya yang mengancam di luar, dipatuhi mayoritas penduduk Indonesia. “Jangan mencoba-coba melihat GERHANA MATAHARI walaupun hanya sedetik”, yang tertulis pada spanduk dalam film Kala Rau, bisa jadi jamak ditemui di seluruh Indonesia.
Soeharto menjalankan negara dengan alam pikir Jawa-nya. Konsep “selamet” dimanifestasikan dalam narasi “penyelamatan”. Obsesi Soeharto (sejak G30S) untuk menjadi juru selamat dan ratu adil, membentuk heroisme Bapak (pemerintah orde baru)—melalui retorika modernisasi—yang siap hadir dan menyelamatkan tiap kali bahaya datang. Retorika modernisasi Orde Baru adalah penerapan langsung rasionalitas instrumental yang menempatkan sesuatu “menjadi rasional” jika dipandang nilai ekonomisnya. Begitu juga cerita rakyat dan kearifan lokal setempat, akan ditungganginya sebagai alat legitimasi kekuasaan yang efisien.

Penggunaan mitos untuk memperkuat legitimasi penguasa adalah cerita lama orang Jawa. Wangsa Mataram, misalnya menciptakan mitos Nyai Roro Kidul yang disebut-sebut dalam Babad Tanah Jawi sebagai pasangan abadi para raja-raja Mataram. Terlebih, Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya Anak Semua Bangsa, telah memperingatkan jika “penguasa-penguasa pribumi di Jawa yang menggunakan tahayul untuk menguasai rakyatnya sendiri, dan dengan demikian tak mengeluarkan biaya untuk menyewa tenaga-tenaga kepolisian untuk mempertahankan kepentingannya. Nyai Roro Kidul adalah kreasi Jawa yang gemilang untuk mempertahankan kepentingan Raja-Raja Pribumi Jawa.”
Tentu, tidak bisa dipungkiri jika yang mistis dan yang rasional bagaimanapun telah membentuk realitas menjadi begitu pelik untuk dicerna. Rasionalitas kritis tampaknya menjadi suatu yang penting, setidaknya untuk terus mempertanyakan dan menguji ulang sesuatu yang sudah mapan. Entah itu mitos yang dikait-kaitkan dengan hal spiritual (padahal bohong), atau mitos modern tentang kemajuan yang dipenuhi dengan retorika kepalsuan.
Ketika Kardian menyatakan dalam programnya “hal-hal mistis dan spiritual ditafsirkan tanpa menjadi absolut”. Saya pikir ini adalah pernyataan untuk terus menafsirkan konteks dan tidak terjebak dalam narasi tunggal paradigma yang dominan. Terutama dalam konteks masyarakat Bali yang begitu dekat dengan pertentangan ini.
Melalui rangkaian program Indonesia Raja Bali, Kardian dengan baik menyusun film-film pendek para sineas Bali hingga saling berkesinambungan. Dalam program ini saya tidak melihat film pendek yang tunggal, sehingga menilai film mana yang lebih kuat atau yang lebih lemah jadi tidak berlaku. Yang saya lihat lebih dari itu: sebuah program yang menawarkan wacana yang menggugah.
Discussion about this post