Menjadi salah satu peserta terpilih dalam program Minikino Hybrid Internship for Film Festival Writers 2022 memungkinkan saya mendapat akses khusus untuk menonton program Indonesia Raja 2022. Kesempatan menonton tersebut juga merupakan pengalaman pertama saya menonton film pendek sebagai sebuah program. Dengan kepercayaan bahwa semua pengalaman tentu baik, saya merasa perasaan awal saya lugu, kikuk, kosong, dan gamang. Dalam rangka menjadikan pengalaman pertama ini bagian proses belajar yang menyenangkan untuk diri saya sendiri, maka saya berupaya menciptakan atmosfer menonton yang syahdu. Lampu dimatikan dan benda-benda yang sekiranya dapat mengalihkan kekhidmatan, saya singkirkan jauh-jauh. Akhirnya hanya layar laptop menyala dan menampilkan satu demi satu film pendek hingga akhir.
Pada kesempatan kali ini saya menilik film-film dari Daerah Istimewa Yogyakarta. Berangkat dari keragaman topik yang ditawarkan programmer dalam catatannya, saya memilih Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai pengalaman pertama menyaksikan bagaimana program film pendek bekerja. Rasyid Faqih selaku programmer mencatat kebaruan pengolahan format dan cara tutur merupakan hal yang dieksplorasi, sehingga urgensi topik dapat diperoleh melalui kesegaran sudut pandang. Film-film pendek terpilih memberi tambahan wawasan bagi saya mengenai kebaruan bentuk yang dapat ditawarkan dari medium ini. Sang Programmer juga menyebutkan isu gender, politik-agraria, dan krisis pandemi merupakan hal yang diangkat dalam Indonesia Raja 2022: Daerah Istimewa Yogyakarta. Program dengan total durasi kurang lebih 60 menit ini menyajikan potret kemuraman realitas sosial.
Tulisan singkat ini tidak akan melucuti satu demi satu elemen yang disajikan dalam film, melainkan mengapresiasi tekad dan ambisi pembuat film serta orang-orang yang terlibat di dalamnya. Di bagian pertama kita dapat menyaksikan Arisan Siasat (2021) yang berupaya melepaskan sang kawan dari belenggu kekerasan domestik. Kemudian Ibu Ora Sare (2021) merekam stigma gender yang melemahkan perempuan dan menghadirkan perlawanan sebagai ibu tunggal serba bisa. Dinamika persoalan yang dialami perempuan berusaha dilawan kedua karakter dalam film alih-alih terus-menerus terjebak dalam realitas yang bias gender. Pada separuh terakhir program, kita dapat merasakan Gerajak (2021) dan Jogja Kronik (2020) mengajak kita memaknai kembali bertahan hidup dalam masa-masa sulit.

Menjadi Perempuan Berdaya
Arisan Siasat (2021), merupakan film fiksi yang disutradarai oleh Erlina Rakhmawati. Film berdurasi 15 menit ini secara garis besar menceritakan tentang sekelompok geng arisan ibu-ibu Gang Ketimun yang tetap berupaya terhubung lewat panggilan video di tengah ancaman virus Covid-19. Seolah mengajak penonton untuk ikut serta ber-social distancing, layar dibuat dengan format panggilan video oleh aplikasi bernama Guyub App. Aplikasi panggilan video tersebut didominasi warna ungu, sehingga Arisan Siasat sedikit banyaknya mengingatkan saya pada Yuni (2021). Ungu yang mendominasi Arisan Siasat dan Yuni merupakan warna yang menyimbolkan gerakan perempuan atau simbolisasi kesetaraan bagi perempuan. Sebagaimana ungu yang menjadi simbol kolektif, Arisan Siasat menyoroti satu demi satu perempuan yang terlibat dalam kesemestaan mereka. Meski tidak dengan sangat detail tentu saja.
Film pendek produksi Artikulasi Performatif ini mengajak kita mengenal Arisan Gang Ketimun yang beranggotakan Mbak Tika, Bu Siti, Jeng Watik, Bu Puspa, dan Jeng Nana dengan tingkah lugu dan kocak khas ibu-ibu. Sebagai film pembuka, Arisan Siasat terasa sangat dekat dengan perempuan. Film ini menjadi pengingat bahwa ketimpangan pembagian peran domestik antara laki-laki dan perempuan masih sangat nyata. Dalam riuh, bising, dan tumpang-tindihnya suara ibu-ibu Arisan Gang Ketimun, Bu Siti mengatakan pandemi menyebabkan suami WFH, anak sekolah online, sehingga urusan gizi dan lain-lain di rumah hanya diurus istri. Seisi keluarga minta dilayani. Problematika dalam Arisan Siasat hadir dalam lingkup terkecil yang membuat penonton mudah dipahami, keluarga. Arisan Siasat juga memperkenalkan permasalahan yang jadi pembuka untuk ancang-ancang menghadapi permasalahan sosial lain yang lebih luas dalam film selanjutnya di program ini.
Seperti yang dituturkan programmer dalam catatannya, Arisan Siasat mengusung tema kekerasan domestik. Pandemi menempatkan perempuan pada tantangan. Tantangan karena beban domestik yang berkali lipat, juga kerentanan mengalami tindak kekerasan. Dalam kenyataan, pada tahun 2020 Komnas Perempuan merilis siaran pers sebuah penelitian dengan responden perempuan dan laki-laki, ditemukan lebih sering mengalami kekerasan baik secara fisik maupun seksual selama pandemi. Tidak hanya itu saja, kebanyakan korban memilih untuk diam atau menceritakan kepada kerabat dekat alih-alih melaporkan kepada pihak berwenang. Perlakuan buruk tersebut diterima Jeng Watik yang berusaha melepaskan diri dari jerat kekerasan yang dilakukan suaminya.

Perempuan pekerja juga menanggung peran ganda sebagai pekerja domestik dan pencari nafkah. Realitas ini direkam Ibu Ora Sare (2021), film berdurasi 13 menit karya Gin Teguh. Berangkat dari tugas sekolah ‘menceritakan sosok ayah’, Gogor menyelami dunia sang ibu. Ibunya menjadi tukang cuci pakaian, menjual makanan, menjahit baju. Gogor baru sadar bahwa ibunya bekerja sendirian dari pagi hingga pagi. Menariknya, pengenalan pekerjaan ibu kepada penonton dilakukan oleh Pak Guru ketika menjelaskan peran anggota keluarga. Pak Guru berkata kepada Gogor dalam kelas daring bahwa “Ayah adalah kepala keluarga tugasnya mencari nafkah, Ibu adalah wakil kepala keluarga, tugasnya adalah..” kalimat Pak Guru terhenti dan digantikan dengan tampilan berbagai kegiatan yang dilakukan ibu sebagai orang tua tunggal bagi Gogor.
Tidak jauh berbeda dengan Arisan Siasat, Ibu Ora Sare juga merupakan jenis film yang dekat dengan keseharian. Bahkan kita bisa saja tidak berbicara mengenai ide-ide besar seperti feminisme, sebab memang tidak ada lagi yang dapat ibu lakukan untuk berdaya secara ekonomi selain bekerja dari pagi hingga pagi. Proses penerimaan Gogor terhadap realita keluarganya digambarkan dengan porsi cukup. Sebagai anak-anak, emosi-emosi yang dirasakan Gogor tidak dibungkam begitu saja oleh ibu. Ibu memberikan validasi untuk perasaan Gogor. Gogor diberi ruang untuk merasakan kesal, sedih, merajuk, bertanya-tanya, dan berpikir tentang ibu dan bapaknya.

Sebuah Upaya Bertahan Hidup
Berbeda dengan dua film sebelumnya yang mengangkat tema seputar perempuan, film berikutnya Gerajak (Turmoil of the Season) (2021) yang disutradarai Ezra Cecio, merupakan film dengan konsep tari dengan latar sejarah paceklik di Gunung Kidul pada tahun 1963. Kesan pertama saya setelah selesai menonton Gerajak adalah tegang dan bingung. Tegang lantaran alunan tembang Jawa yang mengiringi adegan demi adegan terasa begitu intens menciptakan suasana mencekam. Bingung karena saya jarang melihat sebuah film dengan konsep pertunjukan tarian. Ketika pertama kali mencari benang merah atas film-film dalam program Daerah Istimewa Yogyakarta, saya diliputi kebimbangan sebab tiga film pertama mengambil latar waktu masa pandemi. Saya bertanya-tanya mengenai alasan pembuat film mengangkat sejarah paceklik melalui Gerajak dan urgensinya dengan konteks kekinian. Proses pencarian tersebut mengantarkan saya pada jawaban bahwa barangkali pengangkatan kembali film Gerajak dengan kebaruan konsep merupakan sebuah bentuk pengingat. Indonesia- khususnya masyarakat Gunung Kidul tahun 1963 sempat mengalami masa terpuruk hingga bertahan hidup pernah menjadi hal yang begitu sulit. Berangkat dari jerit penderitaan, Gerajak berakhir dengan melupakan tujuan politisnya dan berumur singkat. Selain upaya merawat ingatan, Gerajak bagi saya juga bentuk pembelajaran agar sejarah serupa tidak terulang.
Jogja Kronik (2020) merupakan film eksperimental garapan Wimo Ambala Bayang yang ditempatkan sebagai film penutup dalam program ini. Saya tidak memiliki banyak pengalaman menonton film bergenre sejenis, maka Jogja Kronik menjadi salah satu yang banyak menyita perhatian. Film diawali dengan dialog seorang laki-laki dengan ‘Tuhan’. Ada berbagai pertanyaan kontemplatif, narasi soal pandemi diikuti foto, cuplikan berita, yang berakhir dengan tawa getir laki-laki. Rasanya film ini cukup menggambarkan dinamika perasaan manusia ketika dihadapkan dengan pandemi. Masa tersebut memberikan ruang bagi kita untuk mendekatkan diri pada Tuhan, berkontemplasi, dan (barangkali) menemukan jawaban atas apapun. Keputusasaan ternyata tidak hanya lahir dari dalam diri. Inkonsistensi pemangku kebijakan dalam menyikapi persoalan menjadi salah satu hal yang memperburuk keadaan. Setidaknya bagi saya, akhir film tersebut cukup menyentuh. Saat kita mengeja ‘hakikat kebahagiaan’, yang tersisa hanya ha ha ha tawa penuh kegetiran. Kemampuan menertawakan keadaan adalah cara paling sederhana agar tetap optimis dan menolak untuk kalah.
Discussion about this post