Teknologi kini terus berkembang tanpa batas. Dari televisi tabung yang biasa kita kenal, kini muncul inovasi yang disebut Virtual Reality. Teknologi yang mungkin tidak asing lagi, berbentuk seperti kacamata yang membawa penggunanya ke sebuah dunia virtual yang imersif dan luas. Ketika teknologi dikombinasikan dengan kreativitas, lahir sebuah pengalaman menonton yang berbeda dari biasanya. Karena VR sendiri memungkinkan untuk mencapai perspektif sampai 360 derajat, seringkali ia dikemas dalam bentuk interaktif.
Minikino Film Week 10 menghadirkan Virtual Reality Room yang berlokasi di Tetuek Sangmong. Terdapat dua pilihan film, yaitu 8 Miljard Ikken (2024) oleh Tibor De Jong dan The Imaginary Friend (2023) oleh Steye Hallema. Keduanya menyuguhkan pengalaman menonton yang luar biasa. Saya beruntung bisa menyempatkan waktu untuk menonton film yang kedua. The Imaginary Friend mengundang kita semua untuk melihat seperti apa isi pikiran anak kecil berumur 8 tahun.
Ketika Film Bermain dengan Perasaan
Sebagai orang dewasa yang menyaksikan The Imaginary Friend, mungkin kita semua akan berpikir, betapa ‘lugunya’ film ini. Film dibuka dengan Daniel, anak yang dalam sepanjang perjalanan ini akan menganggap kita sebagai Imaginary Friendnya. Beberapa kali Daniel akan bertanya pertanyaan seperti, “Are you ready?” atau “Are you my friend?” dan kita diwajibkan untuk menjawab, bukan dalam hati ya, dengan suara yang lantang. Menariknya, apabila tidak, film tidak akan berlanjut.
Film ini terasa begitu nyata melalui segala interaksi yang disuguhkan. Memasok kita dengan perasaan bahwa betulan ada Daniel di depan kita, hal itu kemudian cukup berpengaruh pada saya. Perasaan menonton The Imaginary Friend kini tidak lagi tentang mengagumi teknologi atau cantiknya visual dan sebagainya, tapi lebih sentimental. Saya malah turut merasa Daniel adalah teman imajinasi saya dan saya merasa dekat dengannya melalui teknologi VR yang digunakan. Dari awal, Daniel mengajak saya untuk membasmi monster yang muncul di pikirannya, sesuatu yang kini saya jarang sekali lakukan. Lalu saya termenung, kapan terakhir kali saya berimajinasi dalam rangka untuk sekadar rekreasi saja?
Perlahan Lupa dengan Aktivitas Imajinasi
Ketika saya masih bersekolah dasar, seringkali saya membayangkan berprofesi menjadi seorang youtuber. Membayangkan membuat sebuah vlog sambil membereskan ranjang di pagi hari, membayangkan adanya kamera yang merekam aktivitas saya sembari berceloteh. Saya tidak pernah lagi melakukan hal yang seperti itu di masa sekarang.
Mungkin karena semakin dewasa, kehidupan telah menjadi lebih sibuk untuk melakukan hal yang dianggap kekanak-kanakan seperti itu. Rutinitas dan pekerjaan yang menghimpit tidak lagi memberikan waktu cukup untuk memberikan keluangan untuk berimajinasi. Dunia sebagai orang dewasa begitu berisik dengan segala aktivitas dan tuntutan tanggung jawab, ditambah anggapan orang lain seperti “daripada berimajinasi, lebih baik waktu digunakan untuk melakukan kewajiban yang ‘nyata-nyata’ saja.”
Padahal ketika saya menonton The Imaginary Friend, terkadang imajinasi yang mungkin terlihat tidak penting itu adalah sesuatu yang kita butuhkan. Dalam konteks Daniel dalam film ini sendiri, Daniel baru saja merasakan duka yang mendalam, kehilangan ibunya membuatnya membayangkan ada “Kill Ghosts” yang akan datang untuk mengambil semua memori bahagianya dengan sang ibu. Imajinasinya adalah sebuah mekanisme penanganan duka yang ia rasakan.
Muncul masalah selanjutnya: Daniel yang terlalu nyaman dengan kehadiran kita di pikirannya malah memicu respon negatif dari sekitar. Mereka menganggap Daniel ‘di luar nalar’ karena bercakap-cakap sendirian. Hal ini membuat saya merasa dilematis, karena kita sebagai yang hanya menyaksikan, tidak benar-benar bisa melakukan apapun—seperti membela Daniel. Lagipula, kita memang tidak nyata di dalam semesta Daniel juga.
Maka dari itu, sebenarnya kita dapat menggunakan imajinasi selayaknya yang Daniel lakukan sebagai suatu mekanisme penanganan untuk menghadapi runutan aktivitas yang begitu “menghimpit”. Sebuah modal untuk lepas dari hal-hal duniawi yang mencekram, membayangkan kemungkinan lainnya yang bisa terjadi di kehidupan, mengintegrasikan elemen yang membuat kita bahagia—atau bahkan mimpi yang mungkin lama terkubur.
Dalam The Imaginary Friend, orang dewasa dan lingkungan sekitar Daniel menganggap remeh imajinasinya. Padahal, hal itu menjadi suatu hal yang nyata baginya, terutama ketika Daniel sedang diterpa oleh rasa kehilangan. Rangkaian terakhir cerita dari film ini merupakan visual cantik tentang bagaimana Daniel kemudian berimajinasi mendengarkan suara ibunya. Daniel seperti diberi kekuatan untuk menghadapi realitanya, bahwa ia sendirilah yang memegang peranan paling besar terkait bagaimana dia menjalankan kehidupan.
Discussion about this post