Hubungan antar manusia adalah hubungan yang terasa sulit dan kompleks. Manusia kerap dihadapkan pada kondisi yang sulit untuk menyampaikan perasaan yang sebenarnya. Komunikasi terbuka secara dua arah dapat terjadi apabila dibangun dengan empati terhadap satu sama lain. Namun kita sering beranggapan bahwa keterbukaan berarti memahami perasaan lawan bicara secara penuh. Sebagai seseorang yang pernah mengalami miskomunikasi karena tidak adanya ketidakterbukaan satu sama lain, saya merefleksikan diri agar bisa mengerti orang lain, sebelum dimengerti oleh orang lain, agar bisa melihat segala sesuatu dari berbagai sudut pandang.
Program Indonesia Raja: 2024 Padangpanjang yang diprogram oleh Fransiska Prihadi berisi 3 film pendek yang ketiganya identik dengan budaya Minang. Setelah menonton Program Indonesia Raja: 2024 Padangpanjang, saya diajak untuk memahami kisah keluarga melalui sudut pandang teman, hingga orang yang tak dikenal. Saya kemudian berkesempatan untuk melihat berbagai macam komunikasi dalam hubungan keluarga dalam konteks budaya Minang.
Opini Religi dalam Keluarga
Film pendek pembuka dari Program Indonesia Raja: 2024 Padangpanjang berjudul Kwarteleitjes. Bukan, ini bukan bahasa Minangkabau, melainkan bahasa Belanda yang berarti telur puyuh.
Kwarteleitjes (2023) arahan Hafizu Sandro, dibuka dengan adegan tiga orang anak, mereka berlomba untuk mendapatkan telur burung puyuh. Saat mereka menggali tanah, mereka justru mendapati granat yang tertanam di dalam tanah. Mereka berdebat tentang langkah selanjutnya, apakah mereka harus memberitahu orang tua mereka atau mengeluarkan granat itu dan pergi. Menjelang malam, mereka memutuskan untuk pulang. Febi melapor pada ibunya tentang “bom” yang ia temukan, namun ibunya tidak percaya itu, ibunya menyarankan Febi untuk tidak banyak bermain game online, dan Febi akhirnya langsung diminta pergi ke surau untuk mengaji.
Melihat adegan itu di layar, saya teringat tentang saran orang tua dan kerabat saya yang biasanya hanya dilandaskan pada opini berbasis budi pekerti dalam agama saja. Saat kecil, saya pernah mengeluh tentang hal yang saya alami, perasaan tidak nyaman, yang mudah disimpulkan sebagai kurangnya ibadah yang saya lakukan, sehingga tidak adanya ruang untuk berkomunikasi secara dua arah. Perasaan yang dialami selalu dikaitkan dengan kedekatan saya terhadap Tuhan; seolah faktor sosial, psikologis, dan budaya tidak menjadi masalah untuk didiskusikan dalam keluarga.
Hal lain yang membuat saya merasa dekat adalah soundtrack yang digunakan ketika Febi bersiap pergi ke surau. Lagu “Aku Ingin Merdeka” (2022) oleh Jason Ranti menjadi dekat karena potongan lirik seperti “Aku ingin merdeka” atau “Tanpa negara, Tanpa hukum, Tanpa iming-iming surga” membuat saya mengingat kembali dinamika hubungan keluarga saya yang sangat erat dengan religiusitas. Dengan lantunan lirik “Tak ingin diatur, Tak mau mengatur” adegan film ini ditutup oleh rasa penasaran Febi terhadap granat yang membuatnya menarik safety pin dari granat tersebut. Melalui adegan itu, saya juga turut merefleksikan kembali perasaan yang tidak dapat diekspresikan secara bebas, akibat religiusitas yang memiliki andil besar dalam hubungan keluarga.
Diskusi di Jamban
Apabila film pendek sebelumnya mengajak kita melihat hubungan antara anak laki-laki dan ibunya, film pendek Kakuih (2023) karya Rifki Aditya dan Rizqullah Ramadhan Panggabean menggunakan dua karakter laki-laki yang tidak mengenal satu sama lain. Kita ditunjukkan pada karakter pria berkepala plontos sedang menelpon istrinya. Dalam percakapan telepon itu, terdengar istrinya mengomel tentang suaminya yang dinilai tak bertanggung jawab. Kesal mendengar celotehan istrinya, pria itu melemparkan ponselnya hingga mendarat pada seorang pemuda yang sedang buang air besar di Jamban yang juga ditelpon ibu kostnya karena telat membayar uang sewa.
Pria berkepala plontos yang merupakan kepala keluarga itu, datang ke Jamban yang sama seperti pemuda yang telat membayar uang sewa kost. Kita disuguhkan pada kedua konflik yang sama, yaitu finansial, dengan dua karakter dari latar belakang berbeda. Keduanya pun mengobrol, mengetahui bahwa pemuda di sebelahnya baru lulus kuliah dan sedang mencari pekerjaan, pria tersebut menyarankan kepada pemuda itu untuk giat mencari pekerjaan agar bisa menghidupi keluarganya dengan layak, tidak seperti dirinya.
Tanpa ragu, pria tersebut melanjutkan sudut pandangnya dalam berumah tangga sebagai laki-laki. Ia mencurahkan isi hatinya dengan leluasa, ia mengaku kondisinya sangat sulit, ia kesulitan mencari pekerjaan “halal” untuk menghidupi keluarganya. Dia juga tak berani menceritakan isi hatinya kepada sang istri karena malu dan takut terlihat lemah di hadapan perempuan yang ia cintai, sehingga ia tidak mempunyai teman bercengkrama tentang hal yang ia lalui.
Bagi saya, film ini menggambarkan komunikasi bisa berjalan dua arah jika tak ada rasa ingin menghakimi pengalaman masing-masing, karena semua perasaan adalah valid. Eratnya hubungan satu sama lain membuat kita kerap menitikberatkan seseorang pada ekspektasi kita secara pribadi. Dialog personal antara kedua karakter ini menjadi unik bagi saya, sebab keduanya bisa leluasa untuk mengungkapkan isi hati mereka walau tidak bertatap-tatapan, dan perasaan untuk memahami bisa timbul meskipun di tempat yang tidak diekspektasikan penonton, yaitu jamban.
Kakuih (2023) tidak menyampaikan narasi secara kompleks dan berbelit. Film ini terasa seperti dear diary melalui audio visual. Ini juga mengingatkan saya pada kondisi konstruksi sosial yang mengotak-ngotakkan pengalaman hanya berdasarkan pada jenis kelamin. Stigma masyarakat tentang laki-laki tidak boleh bersedih dan menangis merebak menjadi salah satu faktor terjadinya ketidaksetaraan.
Anak Tunggal Laki-laki
Film pendek ketiga berjudul Mandeh (2023) adalah film penutup. Bagi saya, film pendek ini merepresentasikan adanya komunikasi secara dua arah dalam lingkup keluarga. Melihat dua film pendek sebelumnya mengisahkan komunikasi yang mandeg antar anggota keluarga, film Mandeh (2023) karya Dhaffa Attoriq menjadi penutup yang hangat dalam rangkaian Indonesia Raja 2024: Padangpanjang.
Berkisah tentang anak laki-laki bernama Rakha yang pergi merantau ke Bandung dan tidak menyukai kota kelahirannya, Padang. Rakha digambarkan sebagai anak yang jarang memberi kabar kepada ibunya. Komunikasi di antara keduanya berjalan dengan baik. Ibunya digambarkan sebagai karakter ibu yang suportif atas pilihan anak laki-laki semata wayangnya. Kesalahpahaman pada komunikasi mereka disebabkan oleh Rakha yang tidak mengetahui bahwa ibunya sedang melawan penyakit. Sampai akhirnya, Fadil, temannya memberitahu Rakha bahwa ibunya akan segera dioperasi.
Rakha akhirnya merefleksikan tingkah lakunya terhadap sang ibu dan meminta maaf atas kelakuaknnya. Ibunya juga turut menjelaskan bahwa ia sengaja tak memberitahu Rakha agar Rakha tidak merasa khawatir. Komunikasi di antara mereka berlangsung secara empati karena keduanya memberi ruang untuk diskusi dan saling mendengarkan. Mereka mencoba memahami sudut pandang masing-masing dibanding mencari siapa yang paling benar. Kesadaran akan pentingnya peran dalam keluarga seperti ibu bagi anak, dan sebaliknya menjadi catatan fundamental bagi saya.
Dari penemuan granat dalam tanah, diskusi di Jamban, hingga anak rantauan yang membenci tempat kelahirannya untuk pulang. Ketiga film pendek dalam program ini memiliki benang merah yang sama: pentingnya komunikasi dengan rasa empati dalam hubungan keluarga. Meskipun pemahaman tentang arti dari keluarga memiliki interpretasi yang berbeda, keterbukaan atas komunikasi yang berjalan secara dua arah menjadi esensi untuk terciptanya rasa nyaman terhadap satu sama lain. Dalam durasi 48 menit, bagi saya, ketiga film pendek ini terasa memiliki sequence yang menjadi padu layaknya satu film, namun dengan tiga babak cerita yang berbeda.
Discussion about this post