Minikino
  • Home
  • SHORT FILMS
    Fransiska Prihadi, Direktur Program Minikino, di sesi tanya jawab Minikino Goes to Campus ISI Bali (12/04). Dok: Messi Maranatha

    Namanya Juga Anak-Anak

    MMSD April 2025 featuring Kaohsiung Short Film Festival screened at CushCush Gallery (26/04). Doc: CushCush Gallery

    Four Views of Kaohsiung: Minikino Monthly Screening April 2025

    Film Still dari DUCK (2024) karya Rachel Maclean (doc Minikino)

    DUCK (2024): Antara Konspirasi dan Disrupsi Realitas

    Still Film dari History is Written at Night (2023) karya Alejandro Alonso Estrella (doc. Minikino)

    Cuban Resistance in Clair Obscur

    Film Still of Perfected Grammar (2024) by Andrea Suwito (dok. Minikino)

    Tercerabut Dari Akar

    Film Still (from left to right): DUCK (2023) directed by Rachel Maclean, NGỦ NGON EM YÊU (2023) directed by Le Quynh Anh, BYE BEAR (2023) directed by Jan Bitzer, PLEASUREDORA (2024) directed by Mark Prebble

    PUZZLED: Shedding New Perspective and Light in AI Filmmaking

    Film Still of The Imaginary Friend (2023) by Steye Hallema (dok. Minikino)

    Menghidupkan Kembali Imajinasi Seperti Anak-Anak melalui Film VR The Imaginary Friend (2023)

    Film Still of Sukoun (Amplified) (2024) by Dina Naser (doc. Minikino)

    Amplifying Voices and Truthful Representation of Deaf in Sukoun (2024)

    Film Still of Wild Tale (2023) by Aline Quertain (doc. Minikino)

    Wild Tale (2023): What Animation can Tell Us

  • NOTES
  • INTERVIEWS
  • INTERNATIONAL
  • OPINION
  • ABOUT
No Result
View All Result
Minikino Articles
  • Home
  • SHORT FILMS
    Fransiska Prihadi, Direktur Program Minikino, di sesi tanya jawab Minikino Goes to Campus ISI Bali (12/04). Dok: Messi Maranatha

    Namanya Juga Anak-Anak

    MMSD April 2025 featuring Kaohsiung Short Film Festival screened at CushCush Gallery (26/04). Doc: CushCush Gallery

    Four Views of Kaohsiung: Minikino Monthly Screening April 2025

    Film Still dari DUCK (2024) karya Rachel Maclean (doc Minikino)

    DUCK (2024): Antara Konspirasi dan Disrupsi Realitas

    Still Film dari History is Written at Night (2023) karya Alejandro Alonso Estrella (doc. Minikino)

    Cuban Resistance in Clair Obscur

    Film Still of Perfected Grammar (2024) by Andrea Suwito (dok. Minikino)

    Tercerabut Dari Akar

    Film Still (from left to right): DUCK (2023) directed by Rachel Maclean, NGỦ NGON EM YÊU (2023) directed by Le Quynh Anh, BYE BEAR (2023) directed by Jan Bitzer, PLEASUREDORA (2024) directed by Mark Prebble

    PUZZLED: Shedding New Perspective and Light in AI Filmmaking

    Film Still of The Imaginary Friend (2023) by Steye Hallema (dok. Minikino)

    Menghidupkan Kembali Imajinasi Seperti Anak-Anak melalui Film VR The Imaginary Friend (2023)

    Film Still of Sukoun (Amplified) (2024) by Dina Naser (doc. Minikino)

    Amplifying Voices and Truthful Representation of Deaf in Sukoun (2024)

    Film Still of Wild Tale (2023) by Aline Quertain (doc. Minikino)

    Wild Tale (2023): What Animation can Tell Us

  • NOTES
  • INTERVIEWS
  • INTERNATIONAL
  • OPINION
  • ABOUT
No Result
View All Result
Minikino
No Result
View All Result
Home SHORT FILMS

Menyelami Alam Bawah Sadar Masyarakat Kota Metropolitan Melalui Indonesia Raja 2024

Program Indonesia Raja 2024: Jakarta Metropolitan

Gregorius Gabriel Kohar by Gregorius Gabriel Kohar
June 26, 2024
in SHORT FILMS
Reading Time: 6 mins read
Dua perempuan satu di kiri gambar menunduk dan satu lagi di kanan gambar sedang menggoreng. Mereka saling memunggungi

Still film dari Ruang Tunggu: Ani (2023) karya Vonny Rasida (dok. Minikino)

Sebagai seseorang yang lahir dan besar selama 22 tahun di kota, saya terkadang tidak sadar betapa cepatnya kehidupan kota. Berbagai macam hal yang harus dijalankan sering membuat saya tidak memperhatikan batin sendiri, dan selalu membiarkan alam bawah sadar untuk mengambil kendali atas diriku. Namun, ada beberapa waktu saya sadar akan hal tersebut dan bertanya, “bagaimana pikiran bawah sadar saya menjadi sebuah dorongan untuk menjalankan hari-hari dalam kehidupan urban yang kompleks ini?”.

Melalui Program Indonesia Raja 2024: Jakarta Metropolitan yang diprogram oleh Nosa Normanda, penonton diajak untuk berhenti sebentar dan menarik nafas. Membawa alam bawah sadar kita ke permukaan dan melihat bagaimana mereka mempunyai kendali besar atas bagaimana masyarakat kota menjalankan kehidupannya.

Duka dan Penyangkalan

Psikiater Elisabeth Kübler-Ross menulis dalam bukunya On Death and Dying (1969) bahwa mayoritas orang yang berduka akan merasakan penyangkalan dalam tahap pertama; mempercayai sebuah false reality dan berpegang teguh pada hal tersebut sebagai mekanisme pertahanan diri. Inilah yang terjadi pada film pendek pertama, Where We Left Off (2023) karya Ephraim Ryan Pranata, di mana sang adik sedang berduka atas kepergian kakaknya. Namun, alih-alih menayangkan suasana melankolis, penonton disuguhkan dengan warna kuat dan visual cerah yang melukis indahnya Hanoi dan Jakarta. Visual ini seolah untuk menempatkan kita di posisi adik yang sedang menjalankan false reality liburan bersama kakaknya.

Melihat hal tersebut di layar membuat saya teringat akan diri sendiri. Setiap kali seseorang yang saya cintai pergi, akan ada suatu waktu di mana saya hanya akan duduk diam merenung atau berjalan-jalan di taman. Mengisolasikan diri untuk berimajinasi dan membuat percakapan berdasarkan ingatan saya tentangnya sebagai pengalihan realita. Fenomena ini pernah saya ceritakan kepada teman-teman saya di tongkrongan dan menariknya, mayoritas dari mereka juga melakukan hal yang sama disaat berduka.

Tidak terikat dengan status, domisili, ataupun kebangsaan, duka adalah sebuah perasaan universal yang dapat menimpa siapa saja. Pesan ini tersampaikan secara efektif dengan film pendek ini sebagai pilihan pertama di program. Namun, apa yang membuat Where We Left Off masih terikat dalam lanskap perkotaan?

Sequence black-and-white di film menunjukan si kakak yang bersemangat mengajak adiknya untuk berlibur bersama. Mencoba meyakikannya dengan memperkenalkan budaya destinasi liburan mereka melalui foto-foto serta mencicipi makanan lokal seperti pho dan rendang. Tetapi sayang, si adik tidak pernah dapat mengabulkan permintaan si kakak yang secara mendadak meninggalkannya sendiri di dunia.

Terlihat sia-sia jika si adik pergi untuk berpetualang sekarang, tetapi ia tetap memutuskan untuk berlibur sendiri. Melakukan solo travelling untuk menghidupi kenangan kakaknya yang pada saat itu berharap melihat sisi lain dunia di luar kotanya sendiri. Memproses duka dengan menghidupi waktu-waktu yang ia lalui bersama kakaknya di Seoul dan secara bersamaan membuat memori baru di kota Hanoi dan Jakarta; sebuah lanskap urban yang belum pernah dikunjungi adik. Film pendek ini menjadi sebuah pembuka yang baik untuk menjelaskan program ini akan mengupas memori dan perasaan yang berkelindan dengan lanskap kota.

Mabuk dan Ketakutan

Film kedua langsung dibuka dengan menunjukan seseorang dalam keadaan sakau. Togar Tegar (2024) karya Argo Brahm memperlihatkan tokoh utama Togar yang datang ke rumah ibunya di bawah pengaruh obat dan meminta uang. Scene ini diambil semua dalam one-take, melihat bagaimana kelakuan Togar meresahkan banyak warga sampai kakaknya Magdalena dan suaminya Patra harus membawa dia pergi.

Di tengah film, saat Magdalena mencoba menenangkan dia, Togar memberanikan diri untuk berkata “takut.” Saya bersimpati kepada Togar mengingat sulitnya hidup di kota sebagai anak muda. Kehidupan di kota sendiri sangatlah tidak bisa ditebak, menyebabkan ketidakpastian akan masa depan. Belum lagi, ekspektasi masyarakat secara tak sadar membebani mental. Seperti Togar, harus saya akui bahwa saya juga pernah jatuh ke berbagai bentuk candu sebagai rekreasi untuk menghilangkan penat sementara. Togar Tegar membuat saya sadar bahwa ketakutan inilah yang membuat saya jatuh ke godaan tersebut. Namun, reaksi keluarga menjadi perbedaan yang menonjol antara saya dan Togar. Saya sendiri masih mempunyai keluarga yang suportif. Sementara, keluarga Togar terkesan belum mampu untuk memberikan dukungan yang memadai pada Togar di luar institusi rehabilitasi.

Seorang bersender lemas di depan pintu
Still film dari Togar Tegar (2024) karya Argo Brahm (dok. Minikino)

Lupa dan Kesibukan

Masih berbicara soal hubungan keluarga, Ruang Tunggu: Ani (2023) karya Vonny Rasida melihat interaksi antara seorang wanita karir di kota bernama Ani dan ibunya yang terkena demensia. Di permukaan, film ini seperti mengulik mengenai bagaimana jika orang yang kita cintai lupa kepada diri kita. Namun, film pendek ketiga dalam program ini berani memutarkan topiknya kepada Ani yang sehat, tetapi lupa akan ibunya; terlihat dalam sebuah momen dimana secara perlahan ibu Ani fade out dari layar, meninggalkan Ani sendiri dalam shot tersebut. Argumen ini diperkuat saat si Ani mendengar ibunya berbicara tentang anak kesayangannya yang terus giat bekerja, membuatnya kangen akan dia yang hampir tidak pernah pulang untuk menemuinya.

Jika hanya dilihat di tataran permukaan saja, mungkin akan muncul bahwa Ani terlalu sibuk pada karirnya sehingga luput memberi perhatian pada ibunya. Tetapi, program ini secara keseluruhan membuat saya berpikir lebih luas dalam konteks metropolitan dan lalu bertanya, “apakah ini memang pilihan Ani?” Apalagi mengingat teman-teman saya yang sudah bekerja dan mengeluh akan hidupnya harus mengerahkan semua energinya terhadap pekerjaan. Hanya saja, mereka tidak punya pilihan lain, mengingat tingginya biaya hidup di kota dan juga sengitnya lapangan pekerjaan.

Penyesalan dan Pelampiasan

Jika Ruang Tunggu: Ani berfokus pada lupa, maka film pendek selanjutnya Proyeksi (2024) karya Firdan Hafidsyah membahas mengenai ingatan. Pemenang Audience Favorit di UIFF12 ini bercerita mengenai sutradara terkenal Guntur di tengah-tengah pembuatan film tentang almarhum istrinya, Nia. Di permukaan, tentu intensi tersebut terdengar baik. Namun munculnya insert shot Nia secara acak di sepanjang film seperti menandakan ketidakstabilan kondisi psikis Guntur karena belum mampu melepaskannya. Hal ini berdampak buruk tidak hanya pada dirinya namun juga orang-orang di sekitarnya. 

Penonton langsung diajak melihat keadaan syuting yang sudah tidak sehat. Terobsesi untuk mencapai visinya yang sempurna, kepemimpinan Guntur membuat seluruh set tegang dan terasa gelap. Ia terus melecehkan pemain dan kru dengan tangan dan kata-kata kasar yang mempengaruhi mereka secara emosional. Jika itu belum keterlaluan, si sutradara memaksa sang aktris Ayu untuk menembak lawan mainnya menggunakan senjata asli. Bahkan si produser yang mempunyai kewenangan lebih tinggi tidak dapat menghentikan aksi gilanya tersebut.

Saya merasa kondisi Guntur dapat dihubungkan juga dengan kehidupan kota yang penuh dengan keramaian namun sendiri berjuang dalam masalah batin. Maka, ia melampiaskan rasa sesalnya ke hal lain, entah itu pekerjaan ataupun individu.  Setidaknya di akhir film, Guntur berhasil untuk keluar dari sesalnya. Namun, tentu saja pelampiasan tersebut memiliki konsekuensi yang membawa malapetaka, yang seharusnya dapat dihindari jika ia mau terbuka dan akuntabel atas situasinya.

Kenangan dan Kebahagiaan

Menonton semua film pendek ini, saya tidak dapat memungkiri pikiran yang terlintas “Hanya inikah yang dapat ditawarkan kota? Mengapa semuanya terasa gelap dan berat?” Beruntungnya, program ini ditutup dengan sesuatu yang lebih ringan. Walaupun masih dalam ranah kematian, setidaknya narator di film Segalanya Tentang Melly (2023) karya Efraim Napitupulu mencoba untuk merayakan kehidupan teman baiknya Melly.

Dua gambar terpisah: di kiri gambar kotak menampilkan perempuan yang tersenyum; di kanan gambar lingkaran menampilkan lelaki dengan kamera genggam
Still film dari Segalanya Tentang Melly (2023) karya Efraim Napitupulu (dok. Minikino)

Jujur saja, dokumenter (atau lebih tepatnya mokumenter) ini sebenarnya terlihat berantakan. Tidak begitu ada koherensi pada format yang digunakan; menggabungkan semua video, foto, motion graphic, dan juga media visual lainnya yang dicampur aduk dalam film. Narasinya pun juga terasa sangat tersegmentasi. Contohnya saja, saat narator bercerita mengenai puisi Melly, ia tiba-tiba membahas ikat rambut Melly yang ia temui di jok motornya. Seolah memberi kesan bahwa film ini adalah sebuah lautan kenangan di mana si narator seperti mencoba memecahkan teka-teki apa yang membuat Melly sangat spesial. Mungkin si narator masih terus mencari jawaban, tetapi saya sebagai penonton mengerti betul betapa berharga nya Melly di hidupnya. Bahkan membuat saya merefleksikan diri apakah saya juga sudah pernah menjadi “Melly” di hidup seseorang?

Tingginya gedung-gedung pencakar langit dan padatnya penduduk di kota dapat membuat kita merasa kecil, orang biasa di antara lautan manusia. Hal tersebut juga sempat saya rasakan pada saat remaja; merasa lelah setiap pagi, pergi sekolah untuk belajar, dan pulang saat matahari terbenam hanya untuk beristirahat. Tidak ada hal yang spesial dalam hal tersebut. Namun sang sutradara (yang juga berperan sebagai narator di film ini) mengajak saya untuk melihat hal-hal yang terlihat sepele tersebut menjadi berarti: inside jokes bersama teman-teman saat makan siang, atau kabur di jam pelajaran ke atap sekolah untuk curhat soal “gebetan”. Toh hal-hal itulah yang membuat hubungan kita erat dan masih saling berkontak walaupun sudah beda benua. Segalanya Tentang Melly adalah pilihan sempurna untuk menutup program ini.

Akhir kata, program ini sukses dalam memberikan secuil harapan di tengah kompleksitas kota. Juga, memberitahu kita bahwa tidak semua alam bawah sadar mendorong kita melakukan hal-hal negatif, namun juga dapat memberikan warna dalam hidup kita.

Editor: Pychita Julinanda
Penulis merupakan salah satu dari empat peserta terpilih Minikino Hybrid Internship for Film Festival Writers (April-September 2024). Program Indonesia Raja 2024: Jakarta Metropolitan dapat dipinjam untuk diputar di layar lebar. Informasi lebih lanjut tersedia di https://minikino.org/indonesiaraja/
Tags: Indonesia RajaJakartaNosa NormandaProyeksiRuang Tunggu AniSegalanya Tentang MellyTogar TegarWhere We Left Off
ShareTweetShareSend
Previous Post

Menjelajah Kompleksitas Hubungan Keluarga

Next Post

Yogyakarta yang Liminal: Hubungan Manusia dan Ruang Dalam Film Pendek

Gregorius Gabriel Kohar

Gregorius Gabriel Kohar

A film graduate from Kyungsung University, Busan. While working as a freelance filmmaker, Greg also has an interest in film criticism. He participated as a Cinephile Jury on 28th Busan International Film Festival and occasionally creates video essays on his YouTube channel. Currently working on his next short film set in Seoul, South Korea.

Related Posts

Fransiska Prihadi, Direktur Program Minikino, di sesi tanya jawab Minikino Goes to Campus ISI Bali (12/04). Dok: Messi Maranatha

Namanya Juga Anak-Anak

May 13, 2025
MMSD April 2025 featuring Kaohsiung Short Film Festival screened at CushCush Gallery (26/04). Doc: CushCush Gallery

Four Views of Kaohsiung: Minikino Monthly Screening April 2025

May 13, 2025
Film Still dari DUCK (2024) karya Rachel Maclean (doc Minikino)

DUCK (2024): Antara Konspirasi dan Disrupsi Realitas

December 23, 2024
Still Film dari History is Written at Night (2023) karya Alejandro Alonso Estrella (doc. Minikino)

Cuban Resistance in Clair Obscur

December 20, 2024
Film Still of Perfected Grammar (2024) by Andrea Suwito (dok. Minikino)

Tercerabut Dari Akar

November 26, 2024
Film Still (from left to right): DUCK (2023) directed by Rachel Maclean, NGỦ NGON EM YÊU (2023) directed by Le Quynh Anh, BYE BEAR (2023) directed by Jan Bitzer, PLEASUREDORA (2024) directed by Mark Prebble

PUZZLED: Shedding New Perspective and Light in AI Filmmaking

October 25, 2024

Discussion about this post

Archives

Kirim Tulisan

Siapapun boleh ikutan meramaikan halaman artikel di minikino.org.

Silahkan kirim artikel anda ke redaksi@minikino.org. Isinya bebas, mau berbagi, curhat, kritik, saran, asalkan masih dalam lingkup kegiatan-kegiatan yang dilakukan Minikino, film pendek dan budaya sinema, baik khusus atau secara umum. Agar halaman ini bisa menjadi catatan bersama untuk kerja yang lebih baik lagi ke depan.

ArticlesTerbaru

Sesi untuk peserta Hybrid Internship for Film Festival Writers dengan Pembicara Tamu, Amelia Hapsari dari Ashoka Foundation, Indonesia. dok: Minikino

Film Tidak Berakhir di Layar

July 8, 2025
Sesi untuk peserta Hybrid Internship for Film Festival Writers dengan Pembicara Tamu, Ben Thompson dari Tribeca Film Festival Amerika Serikat. dok: Minikino

Melawat Praktik Pemrogram Film, Merawat Audiens Film

July 1, 2025
Sesi untuk peserta Hybrid Internship for Film Festival Writers dengan Pembicara Tamu, Mary Stephen dari Prancis. dok: Minikino

Setiap Artikel Adalah Usaha Menerjemahkan

July 1, 2025
Hybrid Internship for Film Festival Writers participants in Guest Speaker Session with Gregory Coutaut from France.

Every Article is an Act of Translation

July 1, 2025
Workshop untuk Tenaga Pendidik yang diadakan Minikino bulan Januari 2025 (dok. Felix Rio)

Memetik Manfaat dari Menonton Film Pendek untuk Media Literasi Anak-Anak Era Visual

June 10, 2025

ABOUT MINIKINO

Minikino is an Indonesia’s short film festival organization with an international networking. We work throughout the year, arranging and organizing various forms of short film festivals and its supporting activities with their own sub-focus.

Recent Posts

  • Film Tidak Berakhir di Layar
  • Melawat Praktik Pemrogram Film, Merawat Audiens Film
  • Setiap Artikel Adalah Usaha Menerjemahkan
  • Every Article is an Act of Translation
  • Memetik Manfaat dari Menonton Film Pendek untuk Media Literasi Anak-Anak Era Visual

CATEGORIES

  • ARTICLES
  • INTERVIEWS
  • NOTES
  • OPINION
  • PODCAST
  • SHORT FILMS
  • VIDEO

Minikino Film Week 10

  • MINIKINO.ORG
  • FILM WEEK
  • INDONESIA RAJA
  • BEGADANG

© 2021 Minikino | Yayasan Kino Media

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • SHORT FILMS
  • NOTES
  • INTERVIEWS
  • INTERNATIONAL
  • OPINION
  • ABOUT

© 2021 Minikino | Yayasan Kino Media