Myanmar adalah negara subtropis yang dengan kebudayaan Buddhisme yang sangat kuat. Dengan kuilnya yang tersebar di mana-mana, Myanmar menyandang gelar “Tanah Emas.” Sebutan asri, hangat, dan tenang cukup melekat ketika mendeskripsikan Myanmar. Melalui pertemuan dalam program Minikino Hybrid Internship for Film Festival Writers, saya berkesempatan mencicipi tontonan Myanmar yang sebelumnya belum pernah saya jamah, dan bahkan mengobrol penuh dengan salah satu pegiat film di Myanmar, Thaiddhi . Saya banyak terpapar mengenai Myanmar dalam pertemuan ini.
Meskipun seringkali mendengar tentang situasi politik di Myanmar di berita atau menjadi bahan bacaan di kelas, tetap rasanya pertemuan saya bersama Thaiddhi membuat saya lebih memahami Myanmar. Istilahnya, seperti mendengarkan secara langsung pengalaman “orang dalam”.
Secuil Polemik Ekosistem Film (dan Politik) Myanmar
Tepatnya 23 April 2024, Thaiddhi hadir melalui zoom. Dengan sabar ia mengoperasikan perangkatnya agar tetap bisa terkoneksi demi berbagi pengalaman serta suka duka mengoperasikan festival film di Myanmar. Thaiddhi memulai pembahasan hari itu dengan bercerita mengenai festival filmnya yang sempat berhasil digelar pada tahun 2012-2019. Pintu ekosistem film saat itu terbuka lebar, menghanyutkan para pecinta film dan pembuatnya ke sebuah ‘pelabuhan’, yakni festival film. Sayangnya, hal itu tak berlangsung lama ketika kudeta di Myanmar terjadi pada tahun 2021, ketika pemerintahan demokratis digulingkan secara paksa tanpa persetujuan rakyat lalu digantikan dengan pemerintahan militer.
Kuil Buddha yang semula pernah dipakai oleh Festival Film Watthann untuk berlabuh, kini tidak ada lagi tanda-tanda lalu-lalang dari ‘kapal’ para pegiat film yang seakan terpaksa untuk menepi sementara. Dalam peleburan fungsi politik dan militer, keadaan semakin tidak kondusif. Thaiddhi menceritakan bahwa filmmaker saat ini di Myanmar kerap dikriminalisasi, entah karena membela hak mendasar warga negara Myanmar atau sekedar menyampaikan opini maupun kritik.
Kemunculan kembali otoritarianisme dalam pemerintahan Myanmar setelah sempat mengemban sistem demokrasi, terutama dalam bagaimana mereka memperlakukan industri film Myanmar, mengingatkan saya pada apa yang terjadi bertahun-tahun di industri film Iran. Pemenjaraan beberapa sutradara kondang dan ketentuan ketat mengenai sensor, baik dalam film maupun pers, menunjukkan siklus yang serupa dan motifnya satu: pembungkaman. Saya seperti merasa déjà vu saat melihat Myanmar, bahwa tindakan represif ini masih terjadi dan tepatnya di belahan benua Asia lainnya.
Dibungkam Tak Berarti Diam: Suara Warga yang Direkam Film-Film Pendek Myanmar
Persis seperti Iran, rakyat Myanmar—termasuk Thaiddhi —tidak memilih untuk tunduk pada keadaan. Dengan segala usaha, mereka tetap mempertahankan industri film tetap berdiri kokoh. Thaiddhi dan kawan-kawan mengorganisir sebuah komunitas sinema yang dilaksanakan secara diam-diam. Ia menjaring para pegiat menggunakan beberapa aplikasi dan tempat tersembunyi dengan minim publikasi untuk mencegah lebih banyak perhatian yang akan mengakibatkan konsekuensi berbahaya.
Pada tahun 2023 kemarin, Thaiddhi juga berpartisipasi dalam jaringan pertukaran film pendek Asia Tenggara, bernama S-Express sebagai programmer. Thaiddhi mengkurasi beberapa film pendek Myanmar yang mengekspresikan kekhawatiran melalui sinema. Saya mendapatkan kesempatan untuk menonton program S-Express 2023: Myanmar. Ada empat film pendek yang dikurasi oleh Thaiddhi. A Wave in the Dead Water (2021) oleh ALinn bercerita dari perspektif rentan warga Myanmar, khususnya pelajar, yang—meski tidak disebutkan secara gamblang—mungkin berakhir di penjara karena melawan pemerintah. Selain itu juga karena berusaha untuk menyelamatkan temannya yang masih terjebak dalam penjara juga.
On Wednesday Born (2021) oleh Thiri menceritakan tentang seorang pemuda yang kebingungan dengan jalan hidupnya di masa depan. Pertemuannya dengan seorang dukun seakan mengimplikasikan bahwa menggambar—salah satu aktivitas yang sangat disenanginya—rupanya justru malah “menahan” potensinya untuk mendapat pekerjaan. Pemuda tersebut kemudian memutuskan untuk berhenti menggambar, disimbolkan dengan membakar hasil lukisannya.
Ada juga tokoh yang harus kembali ke rumahnya untuk merawat neneknya yang terjebak dalam masa lalu, yaitu A Summer Break (2021) oleh Shwe Phoo dan Hsu Nandi. Akibat menyaksikan berbagai periode kerusuhan massa sepanjang hidupnya, suasana kudeta politik tahun 2021 mengingatkan sang nenek akan kerisauan yang dirasakannya dahulu. Sedangkan, Fish in the Tank (2021) oleh Shweyi Lin Lei menggambarkan perjuangan sang suami untuk mencari upah tambahan demi istrinya. Buat saya, langkah Thaiddhi untuk tetap berpartisipasi dalam jaringan pertukaran film pendek S-Express ini menandakan bahwa Thaiddhi masih meneruskan ‘perjalanan kapalnya’.
Keempat cerita yang ditayangkan dalam program S-Express 2023: Myanmar yang saya lihat mengidentifikasikan satu hal yang sama: mereka semua kebingungan—baik karena pandemi yang menjadikan ekonomi Myanmar terombang-ambing, atau situasi politik yang penuh dengan ambiguitas. Tidak ada yang jelas, baik itu masa depan, masa kini atau masa lalu.
Program ini dibuka dengan A Wave in the Dead Water, yang menampilkan ketaktentuan arah lewat gerak-gerik pelajar yang tidak paham cara membantu temannya keluar dari penjara. A Summer Break menggambarkan seorang cucu yang tidak tahu menahu harus apa ketika menghadapi neneknya yang sehari-hari hidup dengan traumanya. Tokoh suami di Fish in the Tank tampak bingung mencari cara apalagi agar mendapatkan uang tambahan saat pandemi. Terakhir, pemuda yang memutuskan untuk berhenti menggambar di On Wednesday Born terhasut oleh takhayul yang ada. Saya melihat bahwa kebingungan dalam empat film pendek ini berasal dari para tokoh yang terpenjara oleh situasi yang ada. Situasi yang serba tidak jelas ini membuat mereka “bingung” dan tidak dapat bergerak lebih bebas menentukan pilihan mereka.
Saya sendiri kagum dengan tekad dan kemauan Thaiddhi dan kawan pegiat industri film Myanmar untuk terus melawan ketakutan. Sebelum saling berpamitan ria, beberapa kali Thaiddhi sempat mengafirmasi diri kepada kita yang berada di Indonesia bahwa ia akan tetap melanjutkan pekerjaannya. Kalimat tersebut seakan punya pesan yang lebih implisit, bahwa ia akan tetap hidup, apapun yang terjadi, dalam situasi ini. Saya pun turut yakin atas sesuatu untuk Thaiddhi: ibarat patah satu tumbuh seribu, filmmakers muda akan terus muncul, menambah kekuatan bagi Thaiddhi dan bersama Thaiddhi, sampai mereka tak lagi dibungkam.
Discussion about this post