Empat belas tahun pertama hidup saya penuh dengan adaptasi mandiri. Kedua orang tua saya berasal dari pulau Jawa. Saya lahir di Mataram, Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Tuntutan pekerjaan membuat kami bertiga terpisah. Saya bertemu Ibu seminggu sekali dan sehari-harinya bersama Ayah yang selalu berusaha agar tidak terkena dampak sandwich generation. Istilah sandwich generation pertama kali dipopulerkan tahun 1981 oleh Profesor Dorothy A. Miller pada jurnalnya yang berjudul “The Sandwich Generation: Adult Children of the Aging”. Ia menjelaskan bahwa sandwich generation adalah orang dewasa yang ditekan untuk menanggung kebutuhan orang tua dan anak-anak yang sedang bertumbuh. Akhir-akhir ini istilah tersebut kembali populer karena tingkat relevansi yang semakin tinggi di kalangan milenial.
Dengan harapan bisa lebih dekat dengan keluarga besar, kami kembali ke kampung halaman di Malang, Jawa Timur. Di usia remaja tersebut , saya memiliki harapan bisa belajar banyak di kampung halaman orangtua. Namun yang terjadi adalah sebaliknya. Teman-teman sekolah waktu itu melihat saya dengan cukup sinis; masuk sekolah di Malang, kok gak bisa bahasa Jawa? Kok gak medok? Bapak dan ibu asli Malang, kok kepingin balik lagi ke Mataram? Emang di Mataram ada apa? Kamu muslim kan? Kok nggak pake jilbab? Pake dong.
Ada masa dimana saya mengikuti nilai salah benar dari masyarakat agar dapat diterima. Namun selalu ada sudut pandang baru yang dapat digunakan untuk menyerang pilihan saya. Serangan di usia 13-17 tahun adalah cobaan berat untuk remaja yang ingin diterima di kelompok seusianya. Karena merasa terpinggirkan, saya tidak tahan dan memutuskan untuk pergi dari kota kelahiran orang tua, mencari kesempatan di tempat lain untuk melanjutkan sekolah. Ke mana saja asal bukan di Malang.
Saya melanjutkan studi di Yogyakarta. Hidup berpindah-pindah membuat saya merasa selalu terpinggirkan. Untuk bertahan, saya membuat taktik, yang bagi sebagian besar masyarakat berbeda dari nilai yang ada. Saya mengubah nama panggilan saya, mungkin di satu tempat saya dikenal sebagai Azel, di tempat lainnya berbeda. Dua identitas ini bagi saya adalah mekanisme bertahan yang bisa saya pegang hingga sekarang.
Sazkia Noor Anggraini sebagai programmer Indonesia Raja 2021 untuk D.I Yogyakarta dan Jawa Tengah menjelaskan program “Seputaran Pinggiran” sebagai catatan keberagaman tentang orang-orang yang terpinggirkan. Tautan personalitas dan identitas di spektrum kultur Jawa ini penuh dengan dinamika. Tulisan ini adalah pengamatan bagaimana lima film ini menunjukkan karakteristik orang pinggiran dari saya yang merasakan jadi bagian dari dinamika tersebut.
Ada yang Berserah Kepada Yang Tak Terlihat
Manusia selalu melekat pada keterikatan mereka pada harta kepunyaan sendiri. Dalam MOKSA (Remarkable Journey To The End, 2020) karya Andrew Bachtiar, Mbah Sapto mencoba melepas dan berserah diri. Dia percaya itu adalah cara untuk mencapai Moksa. Tidak ada yang dapat menghentikan Mbah Sapto, ia yakin itu jalan satu-satunya.
Film ini cukup terbuka pada berbagai interpretasi. Apakah Mbah Sapto berhasil mencapai Moksa? Saya mencoba menemukan jawabannya melalui detail lukisan pribadi Mbah Sapto, kelahiran kembalinya di hutan, dan kemunculan penjaga dan monster iblis yang saling bertarung. Dengan semua lika liku itu, ia percaya bahwa sesuatu yang lebih baik menantinya dan dia harus berserah diri.
Saya melihat diri saya di Mbah Sapto. Kesadaran sebagai orang luar, entah dari mana. Mencapai Moksa rasanya sulit untuk dilakukan, tetapi mungkin terjadi. Sepanjang hidup seringkali saya ingin menyerah. Melepaskan diri dari situasi yang menyusahkan dan berharap adanya titik terang.
Selalu Beradaptasi, Berharap ada Toleransi
“Kamu butuh adaptasi. Nanti lama lama juga betah. Di Jawa, kamu bisa jadi orang sukses. Sabar ya, nak.”
Ironi memenuhi ruangan kamar Maria yang sedang resah setelah percakapannya dengan ibunya di film Maria Ado’e (Poor Maria, 2020) yang disutradarai oleh Gleinda Stefany.
Derita Maria yang harus hidup berpindah-pindah untuk lepas dari bullying tetap menghantui dia dimanapun dia berada. Hal ini sangat umum terjadi di Indonesia, terutama bullying karena warna kulit. Karakteristik visual Maria adalah awal mula dari setiap masalah yang ia miliki.
Maria terus dicuci otak oleh teman sekamar yang menjelek-jelekkannya karena tampilan fisik yang berbeda. Ia melakukan berbagai tindakan yang tidak masuk akal hanya untuk dapat diterima teman sekamarnya. Dia tidak menerima identitasnya sendiri. Bagaimana Maria menanggalkan wujud tampilan kulitnya untuk bisa serupa dengan teman-temannya? Adaptasi seakan merupakan ajakan untuk menjadi homogen. Ajakan untuk beradaptasi ini lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Adaptasi membutuhkan keterlibatan dan toleransi kedua belah pihak.
Mereka Terasingkan
Saya tertarik saat melihat Angpao (2020) karya Stefanus Cancan dipilih dalam program ini. Michael yang masih kanak-kanak harus menghafal gelar kekerabatan keluarga besarnya untuk mendapatkan amplop merah berisi uang, atau biasa disebut “Angpao” di Tahun Baru Imlek. Walau usia sudah lewat 20 tahun, saya juga menerima “angpao” selama Idul Fitri. Untungnya saya tidak perlu menghafal gelar kekerabatan, apalagi dalam bahasa asing.
Ketika membuat tulisan ini, saya baru sadar ternyata saya hanya punya satu orang teman sekelas Tionghoa-Indonesia. Bayangkan, dari TK sampai kuliah, di antara lebih dari 150 mantan teman sekelas di beberapa kota yang berbeda, hanya sutradara film ini, Cancan! Dia teman kuliah saya, kami belajar film di universitas yang sama di Yogyakarta.
Setelah menonton film ini, saya terhenyak dengan minimnya eksposur interaksi dan informasi dengan teman-teman Tionghoa-Indonesia yang saya dapatkan walaupun sering hidup berpindah-pindah. Bagaimana dengan orang yang hanya menetap di satu tempat saja? Apakah interaksi dan informasi ini seasing itu, sehingga bisa dianggap terpinggirkan? Saya rasa hal ini sangat timpang. Apalagi jika kita mengingat apabila ada nenek moyang Indonesia yang berasal dari Yunan Selatan, bukankah bisa dibilang kita semua orang Tionghoa? Etnis menjadi politis dan jadi alasan untuk meminggirkan kelompok tertentu.
Hidup di Jawa membuat saya lebih terekspos dengan kultur dan interaksi yang lebih homogen. Tetapi entah mengapa saya selalu merasa terasingkan. Ketidaksetaraan sangat terasa, sikap saling menghormati sulit tercapai. Dengan keinginan untuk terekspos lingkungan dan interaksi baru, saya berangkat ke arah timur Indonesia pada tahun 2019 menjadi sukarelawan Minikino Film Week 5 di Bali. Di tahun 2021 ini saya kembali ke Minikino untuk kerja magang. Sesuai harapan saya di tahun 2019 dan bahkan hingga sekarang, saya dihadapkan dengan pertemuan yang lebih heterogen. Ruang lingkup interaksi yang beragam justru menumbuhkan rasa setara.
Dipilihnya “Angpao” menjadi bagian dari program ini menunjukkan bahwa tradisi Tionghoa-Indonesia diakui sebagai bagian dari spektrum kultur Jawa, namun terpinggirkan. Pengakuan adalah langkah awal yang baik. Perlu adanya usaha lebih untuk mendapatkan pengakuan mengingatkan saya pada Maria (Maria Ado’e, 2020). Dalam refleksi personal saya, tidak perlu terlalu jauh memikirkan kesetaraan apabila belum bisa mengakui, bahwa saya pernah acuh dan saya kurang membuka diri.
Terkekang
Tresno Waranggono (karya sutradara Fitri Mursidah, 2019) menunjukkan bagaimana kepentingan kolektif mempengaruhi proses pengambilan keputusan individual, sampai-sampai tidak ada kebebasan untuk menentukan apa yang terbaik bahkan untuk dirinya sendiri.
Disini kita berbicara tentang Ambar. Ia mengidentifikasi diri sebagai waria, tinggal di pinggiran Sragen, Jawa Tengah. Film ini menampilkan aktivitas sehari-hari Ambar sambil mendengarkan kisah hidup dan keluh kesahnya sebagai seorang waria. Tidak heran, dia memiliki banyak kesulitan untuk menerima siapa ia sebenarnya.
Ambar yang bimbang semakin lama membaurkan diri dengan sekitarnya. Bukannya memperjuangkan apa yang dia rasa adalah jati dirinya, ia malah terbawa arus. Di sinilah hal-hal menjadi sulit bagi seorang individu. Bagaimana kolektif perlahan-lahan melahap kebebasan satu individu, hingga ia menyatu dengan sekitar, lepas dari identitas dirinya.
Yang Memberontak, Tertindas
Setting film (ABRI Masuk Desa, Bowo Leksono) adalah Pemilu 1997 di Purbalingga, Jawa Tengah. Fajar, seorang mahasiswa kembali ke kampung halamannya dengan desas-desus dan ancaman yang tertuju pada dirinya. Dia tahu taruhannya saat itu. Menurut Fajar, masyarakat dicuci otaknya dengan iming-iming kosong dari pihak berwajib untuk menjaga keutuhan massa. Pemberontakan waktu itu adalah salah satu tren untuk mencapai kemandirian dan keadilan sejati. Hanya Tuhan yang tahu berapa banyak cara mereka telah dibungkam.
Era Reformasi di Indonesia (1997) dan ABRI Masuk Desa adalah istilah yang kurang akrab untuk generasi saya. Era Reformasi selalu dielu-elukan semasa sekolah, tetapi saya tidak pernah terlalu memperhatikan apalagi tertarik untuk mempelajari lebih jauh. Mungkin karena pengalaman sekolah dahulu yang cukup mengecewakan, membuat saya tidak bersemangat hingga akhir. Sekolah saya dulu mewajibkan semua siswi beragama muslim untuk memakai hijab. Awalnya, saya menolak, menyuarakan hak saya untuk merasa nyaman dengan cara saya berpakaian. Mereka menguliahi saya dengan ayat-ayat Quran. Saya diancam akan dikeluarkan dari sekolah. Pada akhirnya saya menyerah, menuruti semua itu.
Saat menonton film ini saya berharap Fajar akan melawan pihak berwajib. Ternyata ia begitu saja menyerah. Semua kerja keras dan tekadnya selama ini seakan memudar dan percuma seiring Fajar pergi dari desanya. Ia memberontak dan tertindas.
Akhirnya, bagaimana kita mendefinisikan orang luar? Saya rasa mendefinisikan golongan adalah hal yang tidak perlu. Sebagai orang yang selalu merasa terpinggirkan, saya pikir perlakuan setara antar manusia adalah yang paling penting. Senang rasanya bisa berinteraksi, berkolaborasi, dan saling melengkapi tanpa ada dinding penilaian yang memisahkan kita.
Disunting oleh Fransiska Prihadi