Bagaimana seorang nelayan akan hidup tanpa ikan-ikannya?
Ada keramba-keramba kosong yang nyaring bunyinya, ikan tidak lagi meronta di dalamnya. Jaring-jaring termakan usia kini semakin dekat dengan ajalnya. Nelayan dengan hati yang gundah melihat semua terjadi namun tidak bisa berbuat apa-apa.
Dengan premis yang berpusat di hubungan timbal balik manusia dengan alam, The Last Breath of Tonle Sap besutan duo sutradara Thomas Cristofoletti dan Robin Narciso nyata menggambarkan nafas terakhir kehidupan, memberi isyarat alam sudah sekarat lewat salah satu penghuninya, Sok Piseth.
Piseth bangun di pagi hari, mengarungi Tonle Sap, lambat laun melihat jaring-jaring kebanggaannya kosong, seperti perutnya yang rindu akan ikan segar, kepiting hijau yang melimpah yang biasa ia konsumsi dengan keluarganya setiap hari. Kehidupan sehari-hari seorang nelayan terasa monoton. Kekecewaan Piseth yang semakin menumpuk menjadi tumpuan di dokumenter ini untuk membuat penonton ikut gelisah dengan permasalahan hubungan manusia dengan alam. Penonton ikut menyadari betapa pentingnya Tonle Sap.
The Last Breath of Tonle Sap dipenuhi runtutan title cards berisi informasi-informasi tentang keadaan Tonle Sap saat ini. Cara penyajian ini sesungguhnya rentan menjejali terlalu banyak informasi bagi penonton. Namun semua informasi memang berpusat pada krisis iklim, pembangunan infrastruktur yang gegabah, dan degradasi kualitas alam yang sedang dirasakan oleh Piseth.
Dalam film ditampilkan masalah Piseth berawal dari interaksinya dengan Tonle Sap. Ucapan Piseth serba reflektif, layaknya hubungan romantis yang sudah di ujung tanduk karena kebosanan, semua terpusat ke bagaimana Tonle Sap sudah tidak seperti dulu. Namun cinta nelayan pun bisa patah apabila alam jujur. Danau Tonle Sap kondisinya semakin kerap tidak menentu, semakin labil. Arus balik tidak kunjung datang, hewan-hewan danau yang Piseth tunggu tidak ada.
The Last Breath of Tonle Sap bagi saya sensasional. Film ini merangsang perasaan bosan bukan karena filmnya tidak menarik. Justru rasa bosan ini muncul karena saya merasa tidak bisa berbuat apa-apa selain kalut dengan pikiran sendiri. Dari sekian banyaknya dokumenter tentang alam yang saya tonton, seolah-olah apapun masalah yang muncul tentang itu rasanya sudah terlambat, tidak banyak yang bisa saya lakukan, tidak banyak pertanyaan saya yang terjawab, tidak ada hati yang lega, malah semakin panas.
Gambar nyata dari hubungan manusia dengan alam terasa berat sebelah. Manusia (Piseth) terus meminta, berandai, dan mengeluh, tanpa ada aksi yang terlihat untuk menanggulanginya. Jika Tonle Sap mati, apa yang bisa kita lakukan? Mungkin langkah berikutnya adalah bukan hanya merasa bosan karena merasa tidak bisa berbuat apa-apa, tapi untuk semakin peka mengenali masalah alam ini dan tinggal tunggu waktu saja hingga menjadi masalah manusia, si sumber perkara.
The Last Breath Of Tonlé Sap. (2020) karya Thomas Cristofoletti & Robin Narciso merupakan pemenang penghargaan RWI Asia Pacific Award at MFW7 yang diberikan oleh The Raoul Wallenberg Institute of Human Rights and Humanitarian Law lewat Minikino Film Week 7 memberi perhatian terhadap film pendek yang mengedepankan tema hak asasi manusia termasuk lingkungan hidup.
Discussion about this post