Perjalanan adalah salah satu aktivitas paling esensial bagi umat manusia. Adam dan Hawa dalam teologi Islam, dikisahkan melakukan perjalanan beribu kilometer untuk bisa bertemu dan kembali menjalin kasih setelah diturunkan di bumi. Begitu juga rekam jejak arkeologis dari homo Sapiens, sebelum berhasil mendomestikasi tumbuhan dan hewan, berburu dan meramu dari satu tempat ke tempat yang lain adalah kunci bertahan hidup. Sistem kapitalisme global juga berangkat dari perjalanan imperial besar Eropa ke wilayah jajahannya. Fakta jika perjalanan memang sesuatu yang esensial, membuat orang kesal dan kaget setengah mati saat pandemi COVID-19 yang nyata mengekang, dan membatasi mobilitas manusia datang.
Pada akhirnya banyak orang mendambakan perjalanan. Bukan kabar burung lagi, kalau orang-orang pun memilih divaksin tidak melulu karena takut terpapar COVID-19, tapi supaya bisa melakukan perjalanan. Mungkin ini terdengar absurd. Tapi di sisi lain, justru gelagat ini menjadi konsekuensi logis dari pemerintah yang gagap menanggapi situasi mencekik. Kematian terlalu banyak dipermainkan, nyawa direduksi menjadi sebatas data, bahkan bahan gurauan. Stress, depresi, kelaparan dan juga kekagetan atas hal-hal yang datang tak terduga, akhirnya menjadi bahan bakar atas segala keputusan absurd orang-orang.
Orang-orang tidak salah, tidak apa menjadi absurd, karena saya pun demikian. Tujuan saya divaksin adalah untuk bisa pergi ke Bali. Datang ke Minikino Film Week 7 (MFW7). Sebuah festival film pendek skala internasional, yang telah menghadirkan beragam jenis film pendek sejak 2015. Di tengah pandemi, MFW dengan motto “Your healthy dose of short film”, menolak padam dan tetap konsisten membangun budaya menonton yang sehat untuk masyarakat Bali.
Sejak awal Juni 2021, saya telah mengikuti Hybrid Internship Program for Film Festival Writers yang diadakan Minikino. Bersama Azalia Syahputri dari Malang, Rayhan Dharmawan dari Jakarta, dan Tirza Kanya dari Jogja. Undangan untuk menghadiri MFW yang akan diselenggarakan dari tanggal 3 sampai 11 September, datang di pertengahan Agustus. Keputusan saya bulat untuk datang ke Bali waktu itu, meski masih ada sedikit keraguan karena sudah lama tidak bepergian. Dari rumah saya di Bandung, saya putuskan untuk menempuh jalur darat sampai ke Bali.
***
Salah satu siasat penting agar tidak menemukan kesusahan yang berarti dalam perjalanan adalah membawa bekal. Dalam perjalanan ke Bali, selain bekal materiil di kantong, dalam hati dan pikiran saya membawa sebuah prinsip: “Wherever You Go, There You Are.” Bekal ini menjadi siasat dan sekaligus upaya untuk terus berusaha relevan dengan masyarakat dan alam di sekitar. Juga menjadi pegangan agar tidak sembrono dalam tindak-tanduk dan mengurangi bias dalam memandang suatu hal.
Prinsip Wherever You Go, There You Are atau dalam peribahasa Indonesia dikenal “Di Mana Bumi Dipijak, Di Situ Langit Dijunjung.” Meski terdengar usang karena kerap jadi jargon nasionalistis, sejatinya adalah peribahasa yang baik untuk menjauhkan kita dari watak kolonialis yang merasa superior atas kediriannya. Oleh karenanya hal pertama yang saya lakukan ketika sampai di Bali adalah menajamkan mata dan telinga untuk melakukan observasi personal. Maklum, ini adalah perjalanan pertama saya ke Bali. Pengetahuan saya tentang Bali agaknya masih berkutat di pariwisata, leak, dan Jerinx SID. Juga masih segar dalam ingatan tentang kebijakan konyol Work From Bali. Tentu semua pengetahuan itu masih terlalu dangkal.
Bak seorang cenayang yang bisa membaca apa isi hati seseorang. Fransiska Prihadi (Program Director MFW7, yang akrab disapa Cika) di hari Jumat (3 September 2021) memberi saya tugas khusus mengobservasi Opening MFW7. Sebagai film festival writer kami diberi fokus tugas yang berbeda-beda di acara Pembukaan MFW7. Rayhan dan Kanya diberi tugas wawancara, sedangkan Azalia diberi tugas untuk mengisi live subtitling selama acara Opening MFW7 berlangsung. Tugas observasi yang diberikan kepada saya, menjadi kesempatan untuk lebih jauh larut dalam temuan dan pengalaman yang baru.
Opening MFW7 digelar offline di GeoOpen Space. Kenekatan Minikino untuk melaksanakan festival offline di kala pandemi bukan tanpa alasan. Tahun lalu, MFW 6 juga digelar offline dengan beberapa rangkaian acara non-pemutaran yang juga disiarkan secara online. Cika menceritakan keputusan direksi MFW untuk lebih memilih pemutaran film offline dari pada online karena tujuannya masih dalam rangka membangun budaya menonton di Bali. Dari budaya menonton yang baik, otomatis akan memperkuat industri dan ekosistem film pendek di Bali.
Saya selalu menganggap datang ke festival film adalah semacam rukun islam ke-5 versi cinephile, “datang ke festival bila mampu.” Maka sempurnalah cinpehile tersebut. Saya menduga hal ini bisa diamini para pengunjung MFW karena di sana ada nilai interaksi dan pertemuan yang turut menciptakan ajang silaturahmi antara pegiat film, dan tak jarang juga menjadi ruang temu antara penonton dan pembuat filmnya.
Setibanya saya di GeoOpen Space, di tengah terik matahari kota Denpasar jam satu siang, ada seseorang yang perawakannya familiar meskipun wajahnya tertutup masker. Ia mengenakan kemeja putih bermotif bulu berwarna biru, dan totebag motif pink flamingo. Di tengah orang-orang yang sibuk menyiapkan festival, ia disambut oleh Cika dan memperkenalkan kami kepadanya. “Anggi, kenalin ini teman-teman festival writer”.
Yosep Anggi Noen, orang di balik film Hiruk Pikuk Si Alkisah (2019) yang membawa (mendiang) Goenawan Maryanto menang Pemeran Utama Pria Terbaik FFI 2020, memang tidak punya film yang tayang di MFW7. Dia datang murni karena ingin silaturahmi—Anggi membawa oleh-oleh dari Cannes Film Festival untuk Cika yang memang sudah lama berteman baik—dan merasakan suasana MFW7, yang menurutnya “menyenangkan, karena Minikino selalu dihidupi oleh anak-anak muda yang bersemangat.” Anggi pun duduk lesehan bersama para festival writer dan beberapa sukarelawan lainnya. Saya rasa dalam posisi duduk yang setara ini, ada sekat yang hancur dan obrolan pun dengan sendirinya menjadi begitu cair.
Festival film, sebagai suatu perayaan saya pikir memang seharusnya punya kekuatan untuk menyulap suatu tempat menjadi third place. Sebuah ruang yang memberikan keseimbangan di antara first place (rumah) dan second place (kantor atau sekolah) atau sebuah tempat untuk melakukan kegiatan produktif meskipun perbedaan ruang ini sempat tidak relevan lagi karena pandemi. Festival film mestinya menjadi Third place yang menurut sosiolog Amerika Ray Oldenburg (1997) dalam buku The Good Great Place, dapat meleburkan batasan kelas, membuat percakapan sebagai aktivitas utama, memberikan mood yang menyenangkan, dan tidak bersifat mengintimidasi. Di Opening MFW7 saya merasakan atmosfer ruang yang kuat di mana masyarakat dari berbagai kalangan, tidak hanya penggemar film, dapat bersosialisasi.
Kecairan ini juga ditunjang oleh lokasi Geo Open Space yang seperti sudah dirancang sebagai third place dengan arsitekturnya yang terbuka dan tak bersekat. Ada juga kolaborasi MFW7 dengan Food Coma Ubud yang menggelar berbagai stand makanan khas berbagai negara. Lidah saya jadi mendadak kosmopolit, ikut jalan-jalan merasakan makanan khas Jepang, Jawa, Cina, Korea, Turki dan Bali.
****
Lembayung mengambang, sorot cahaya lampu halogen dan proyektor tidak membiarkan gelap merayap dan menelan Geo Open Space. Dalam sorotan lampu, di atas podium kecil di pinggir layar tancap, pembawa acara dari Seletan Linggis (bondres dari Teater Kalangan), berusaha menghangatkan suasana dengan pementasan komedi slapstick yang tidak murahan. Gelak tawa para pengunjung Opening MFW7 mengambang di udara.
Seletan Linggis tidak berlama-lama. Ada acara yang kemudian dibuka secara resmi. Selanjutnya, mereka mempersilakan Edo Wulia sebagai Festival Director, I Made Suarbawa (sebagai Travelling Festival Director yang akrab disapa Birus), dan Cika untuk naik ke atas podium, memberikan sambutan dan membuka gelaran acara MFW7.
Edo naik ke atas podium dan menghaturkan terima kasih kepada semua orang yang bisa datang. Keharuan nampaknya tidak bisa sembunyi. Ditambah, Cika yang mengungkapkan terima kasihnya juga dan mengatakan jika menjadi programer di masa pandemi itu bukanlah hal yang mudah. Birus sebagai kepala program Pop-Up Cinema mengelaborasi lebih jauh dari apa yang dikatakan Cika, “di masa pandemi ini, festival harus menyiapkan strategi yang lebih fleksibel”. Pasalnya, salah satu program Pop-Up Cinema di Buleleng terpaksa dibatalkan karena kondisi yang sulit.
Usainya mereka memberi sambutan, resmilah Minikino Film Week 7 diselenggarakan. Para pengunjung pun mulai bersiap, menyiapkan makanan dan menyamankan posisi untuk menonton program film pembuka. Program pembuka adalah A Very Short Week! yang ditayangkan di layar tancap udara terbuka. Ada enam film dalam program ini yang memberikan cerita dan cara tutur yang beragam dari berbagai negara. Mulai dari Indonesia, Singapura, Norwegia, Selandia Baru, Estonia, dan Kanada. Dua tahun kebelakang kita sering mendengar kisah yang mirip dari seluruh penjuru dunia tentang pandemi, namun program ini tidak berkutat di sana. A Very Short Week! adalah cerita-cerita tentang manusia yang mengingatkan betapa hidup dapat begitu cantik dan penuh harapan. Film yang menjadi pembuka programnya adalah Chintya (Sesarina Puspita, Indonesia, 2019).
Ketika film Chintya diputar saya yang masih dalam mode “menajamkan mata dan telinga” mendadak jadi sentimentil. Ada perasaan yang akrab dan sekaligus asing. Ini adalah kedua kalinya saya menonton Chintya, dan yang pertama, saya menonton di depan laptop (sebagai tugas magang dari Minikino), di dalam kamar yang menjadi juga tempat saya isolasi mandiri saat terkena COVID-19. Pada akhirnya bisa menonton bersama orang lain di atas rumput, ditabrak angin malam, ditemani minuman yang menghangatkan pun menjadi momen yang puitik.
Dialog dalam film Chintya mengiringi khayalanku yang sedang menelusuri memori festival. Sensasi festive memang lama saya rindukan sejak pandemi mendisiplinkan manusia untuk, menjaga jarak, dan diam dalam bangunan apapun yang kita sebut rumah. Yang terlihat, semua orang asik berinteraksi dan menikmati momen. Barangkali inilah yang dimaksud Cika perihal membangun budaya menonton melalui festival offline. Ada interaksi yang dihidupkan, dan ada temu yang diperjuangkan. Menonton film di festival bersama banyak orang, membuat saya tidak hanya fokus dengan apa yang saya lihat dan isi kepala saya sendiri. Tubuh saya hadir dalam suatu peristiwa penayangan film dan turut merekam apa yang terjadi di sana. Pengalaman menonton ini menjadi berbeda karena ia beriringan dengan aktivitas sosial.
*****
Film telah usai, jingle MFW pun beralun diiringi dengan riuh tepuk tangan penonton. Lampu halogen pun mati, menandakan acara pembukaan sudah selesai. Beberapa penonton mulai meninggalkan Geo Open Space dan beberapa yang lain masih bertahan dalam terang yang tersisa, menghabiskan sisa tenaga untuk berbincang. Sampai akhirnya semua barang selesai dikemas saya meninggalkan Geo Open Space, satu mobil dengan perlengkapan layar tancap.
Dalam mobil tidak terjadi banyak percakapan. Saya hanya memandangi jalanan tengah malam Denpasar yang mulai lengang, dan entah kenapa lampu-lampu kota di malam hari selalu berhasil membuat saya jadi sentimentil. Kombinasi perasaan sentimentil dan lelah setelah seharian beraktivitas akhirnya membawa saya kembali pada renungan-renungan kecil. Perihal makna perjalanan yang saya lakukan ini. Apa semua manusia dalam perjalanan pulang dari Opening MFW7 sama mendadak sentimentil seperti saya. Apa semua manusia yang datang bahagia. Entah.
Yang jelas di perjalanan pulang dari Opening MFW7 saya yakin satu hal: tidak ada perjalanan yang sia-sia. Mungkin semua pengalaman ini tidak akan saya dapatkan jika saya tidak memutuskan untuk melakukan perjalanan. Pada akhirnya perjalanan ibarat memungut makna yang tercecer di setiap belokan waktu. Meski jalan waktu jelas pasti setiap detik, menit dan jamnya. Kita tidak pernah tau pasti apa-apa yang akan datang. Dan pengalaman masih saja menjadi guru terbaik, dalam menjalani perjalanan hidup yang penuh kejutan.
Discussion about this post