Menjadi minoritas tidak selamanya bernasib buruk, begitu juga dengan menjadi mayoritas, tidak selamanya memiliki privilege di genggaman. Lagipula, definisi atau pengkotak-kotakan minoritas dan mayoritas ini sangat cair, karena umumnya kotak ini didasarkan oleh jumlah yang dapat berubah sesuai konteks di sekitarnya. Misal, saya sebagai warga Indonesia berketurunan Tionghoa bisa menjadi minoritas apabila sedang berada di stasiun KRL Manggarai, tetapi bisa juga berubah menjadi mayoritas apabila berada di salah satu ruang kelas SMA Kristen di Jakarta.
Menonton 5 film pendek dari program Indonesia Raja 2023: Jawa Barat, membongkar pemahaman dangkal saya di atas mengenai kotak minoritas-mayoritas. Mengutip catatan yang disematkan oleh Kemala Astika, Programmer Indonesia Raja 2023: Jawa Barat, “…Akan tetapi, tidak jarang hal ini justru mampu menjadikan mereka memiliki tingkat kegigihan dan adaptabilitas yang tinggi, sehingga dapat bangkit dan mengikhlaskan segala tragedi kehidupan”, mewakili kelima film dalam program ini. Semua film berusaha memotret bagaimana karakter-karakter minoritas, hidup berdampingan dengan berbagai stigma dan pandangan, yang mencoba membatasi ruang gerak dalam kehidupan mereka.
Tulisan singkat ini juga akan mencoba untuk memperluas pemahaman akan bagaimana sebenarnya kotak-kotak definisi minoritas dan mayoritas, dapat berbicara lebih dari sekedar jumlah. Namun, bisa berkaitan erat dengan konteks sosial yang lebih luas.
Sendiri Beradaptasi
Perwujudan dari kelompok minoritas yang paling mudah untuk ditemui adalah pemeluk agama minoritas. Hal ini disajikan melalui film pendek yang menjadi pembuka, Berdoa, Mulai (2022) karya sutradara Tanzilal Azizie. Film pendek ini bercerita tentang kehidupan Ruth, seorang pelajar SMA beragama Kristen yang menempuh pendidikan di sekolah yang mayoritas pelajarnya beragama Islam. Fenomena ini tentunya merupakan pemandangan yang sudah biasa dijumpai di Indonesia. Tidak semua masyarakat Kristen berada di kelas ekonomi yang cukup untuk menyekolahkan anaknya di sekolah Kristen, yang notabene membutuhkan biaya lebih besar. Alhasil, kita dapat menemukan banyak sekali Ruth di luar sana yang membagikan pengalaman serupa.
Kehadiran pemeluk agama Islam sebagai kelompok mayoritas di film ini dihadirkan dalam kehidupan sehari-hari Ruth secara subtil. Peletakan Ruth dalam bingkai-bingkai adegan yang dikelilingi teman-temannya yang berhijab, ajaran guru di kelas yang sangat jelas didasari oleh semangat agama Islam. Sampai pertanyaan membosankan mengenai bagaimana rasa daging babi, hingga suara Adzan dari masjid setempat yang luar biasa besar hingga bisa didengar Ruth dari kamar tidurnya. Meskipun hal-hal tersebut terkesan dipaksakan kepada Ruth, tetapi itu adalah bagian dari konsekuensi atas apapun keputusan yang menempatkan Ruth pada lingkungan tersebut. Sebuah keputusan “terpaksa” yang barangkali harus diambil atas dasar kondisi ekonomi yang melenyapkan opsi-opsi Ruth untuk bisa bersekolah di sekolah Kristen di daerahnya.
Selama kehadiran mayoritas tersebut hadir secara konstan sepanjang film, kita tidak banyak melihat reaksi Ruth akan hal itu. Ia hanya berada di dalam bingkai-bingkai adegan, menjadi bagian dari apa yang terjadi di sekitarnya. Hal ini membuat saya tidak siap dengan akhir film yang ditutup dengan Ruth yang secara tidak sengaja (atau sengaja) mengucap Bismillah sebelum makan bersama keluarganya. Tanpa sadar, minimnya reaksi Ruth yang terlihat di sepanjang film merupakan bentuk dirinya yang telah melebur dan beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya.
Simbol-simbol dari agama Islam yang ditampilkan secara subtil ini juga memperlihatkan bagaimana lingkungan sekolah dan tempat tinggal Ruth tidak berusaha memaksa Ruth untuk mempertanyakan kepercayaannya. Melainkan, simbol-simbol tersebut hadir sebagai sebuah identitas dari sebuah lingkungan masyarakat yang menjadi bagian dari tempat tinggal Ruth.
Berdoa, Mulai dapat dimaknai sebagai sebuah bentuk adaptasi yang dilakukan kelompok minoritas terhadap kebiasaan kelompok mayoritas yang tidak lagi diidentifikasi sebagai sebuah simbol agama, melainkan sebagai sebuah identitas dari lingkungan yang ditinggali.
Bersiasat Untuk Bersuara
Definisi dan pemahaman saya terhadap apa yang disebut minoritas dan mayoritas diperluas lagi oleh film Katura (2021), oleh sutradara Joyo Luqman. Film dokumenter pendek ini bercerita tentang kehidupan Katura, seorang seniman batik senior dari Cirebon melalui karya-karyanya selama masa hidupnya. Uniknya, batik-batik yang Katura buat memiliki elemen khas yang merupakan perwujudan dari keresahan dan kritiknya terhadap kebijakan dan pemerintahan Indonesia. Beberapa batik dibuat berdasarkan konteks isu politik tertentu, ataupun merespons apa yang sedang terjadi pada wajah perpolitikan Indonesia di era tersebut. Salah satunya, motif batik tikus pada salah satu kain batik buatannya yang menyimbolkan koruptor.
Sebagai seorang seniman, Katura memperlakukan batik sebagai medium seninya. Baik sebagai sumber nafkah, maupun sebagai medium berekspresi. Katura sadar, sebagai seorang rakyat biasa, suara kritiknya tidak akan cukup lantang untuk sampai ke telinga-telinga para wakil rakyat. Oleh karena itu, ia memilih untuk menuangkan suaranya lewat medium seni yang Ia kuasai, yakni batik.
Katura memberikan saya sudut pandang baru dalam mendefinisikan kotak-kotak minoritas dan mayoritas. Berkaca pada konteks jumlah, Katura sebagai rakyat bisa dikelompokkan sebagai mayoritas, sedang kelompok minoritasnya adalah para wakil rakyat di pemerintahan. Tetapi, dari sudut pandang sosio-politik, kenyataannya Katura sebagai bagian dari mayoritas tidak otomatis dihadiahi dengan kuasa. Para wakil rakyat yang jumlahnya jauh lebih sedikit daripada rakyatnya, justru menjadi pemegang kuasa dan pengendali kebijakan negara. Karya-karya batik yang dibuatnya, dapat dipandang sebagai bentuk siasat yang dilakukannya agar bisa “bersuara” dari balik keterbatasan yang ia miliki. Katura menjadi contoh, sekaligus bukti bahwa menjadi mayoritas pun tidak luput dari adanya keterbatasan.
Mereka Yang Dipandang Berbeda
Menjadi minoritas juga terkadang erat kaitannya dengan menjadi berbeda. Pemaknaan istilah “berbeda” ini dapat merujuk ke banyak hal, beda dalam cara berpikir misalnya. Film pendek Domba Setan (2022) yang disutradarai oleh Angga Surangga kembali memberikan sudut pandang baru tentang hal ini. Film pendek ini bercerita tentang Asep, seorang pemuda yang sedang galau karena tekanan dari ayah pacarnya yang memaksa Ia untuk cepat menikahi putrinya.
Dalam film pendek ini, kegalauan Asep menjadi sebuah hal yang membingungkan bagi teman-temannya, sebuah hal yang “berbeda”. Bagi teman-temannya, perkara menikah adalah perkara yang kecil, mudah, tidak usah dipusingkan. Mereka pun bingung melihat Asep segalau itu hanya karena perkara kecil. Menurut Asep, menikah tidak hanya seputar prosedur, datang ke KUA, dinikahkan oleh penghulu dan dihadiri oleh beberapa saksi. Menikah bagi Asep merupakan hal sakral yang keputusannya perlu dipikirkan matang-matang. Cukup penting sehingga mengganggu pikirannya, yang diterjemahkan secara baik lewat bentuk film horror sebagai personifikasi dari kegalauan Asep menyikapi masalah ini.
Perbedaan selanjutnya datang dari karakter utama sebuah film dokumenter pendek karya sutradara Rofie Nur Fauzie dan Mohamad Sulaeman berjudul Baby Girl (2021), bernama Miss Cunenk. Film ini bercerita tentang Miss Cunenk dalam menjalani kehidupan sehari-harinya sebagai seorang transpuan. Miss Cunenk sadar kalau dirinya berbeda. Seperti pada awal film, Ia terlihat menjadi pengisi acara ulang tahun sebagai penyanyi. Lalu ia tidak malu menjadi seorang influencer dengan persona transpuan. Memang, dalam dunia yang ideal, Miss Cunenk seharusnya tidak perlu malu menjadi seorang transpuan, pun juga menjadi seorang penyanyi, atau profesi apapun yang ia inginkan.
Meskipun begitu, Miss Cunenk tetap sadar bahwa dunia tidak seideal itu, ia hidup di tengah-tengah lingkungan yang konservatif. Perbedaan yang ia miliki pasti memberikan konsekuensi, ia juga tidak menuntut agar semua orang menerima perbedaannya. Hal tersebut ditunjukkan dari sebuah adegan yang memperlihatkan bagaimana Miss Cunenk mempertimbangkan tawaran untuk mengisi acara anak-anak karena ia adalah seorang transpuan. Adegan lain juga memperlihatkan dirinya yang mengawali panggilannya bersama pihak rumah sakit bersalin dengan memberitahu bahwa dirinya adalah seorang transpuan, sebelum menjelaskan keinginannya untuk berdonasi ke sana.
Perbedaan identitas seringkali diasosiasikan dengan stigma-stigma diskriminatif seperti, tidak normal, aneh, menyimpang, sesat, dan lain sebagainya. Stigma-stigma tersebut pun menjadi justifikasi dari berbagai tindak diskriminasi, persekusi, tak jarang perampasan hak-hak asasi, yang dilakukan oleh kelompok mayoritas melalui kuasa yang mereka genggam. Kenyataan pahit ini diceritakan lewat sebuah film dokumenter pendek berjudul A Prayer (2022) karya sutradara Ibara Baiano Lanjare.
Sepanjang film, kita hanya dihadirkan dengan adegan seseorang sedang melakukan shalat. Tetapi, adegan tersebut bertolak belakang dengan audio yang diputar. Audio tersebut merupakan rekaman sebuah panggilan dengan seorang penyintas tragedi pembunuhan jemaat Ahmadiyah di Cikeusik, Ahmad Masihuddin. Lewat rekaman panggilan tersebut, Ahmad menceritakan kronologis kejadian tragis yang Ia alami 2011 lalu di Cikeusik, sebuah desa terpencil di provinsi Banten.
Islam Ahmadiyah merupakan salah satu aliran agama Islam yang tumbuh karena kepercayaan umatnya terhadap sosok Mirza Ghulam Ahmad sebagai penerus nabi Muhammad. Perbedaan kepercayaan ini tidak dapat diterima oleh jemaat Islam arus utama, dianggap sesat dan menyimpang. Bahkan sejumlah negara menolak mereka untuk mengidentifikasikan diri sebagai Muslim. Kontroversi ini mengakibatkan banyaknya tindakan persekusi dan diskriminasi yang diterima oleh jemaat-jemaatnya.
Indonesia pun tidak menjadi tempat yang aman bagi para jemaat Ahmadiyah. CNN Indonesia mencatat beberapa kasus persekusi yang terjadi di Indonesia, mulai dari pengusiran di Bangka pada 2016, pengrusakan masjid di Depok, Bogor, dan NTB pada 2011 dan 2018, hingga penyerangan terhadap jemaat di Cikeusik pada 2011. Semua tindakan tersebut dilakukan oleh oknum yang mengidentifikasikan diri sebagai umat agama Islam arus utama, bertujuan untuk membubarkan dan melenyapkan paham Islam Ahmadiyah di Indonesia.
Dalam A Prayer kronologi kejadian diceritakan dengan detil oleh Ahmad, seperti sebuah memori pahit, terekam jelas di kepalanya yang nyaris hancur tersebut. Menonton film ini, saya terus menerus mempertanyakan diri saya. “Bagaimana bisa saya tidak pernah tahu adanya tragedi ini? Apakah saya yang ignorant?”. Seiring menonton, pertanyaan tersebut tampak sudah tidak menjadi penting lagi. Pertanyaan lain yang lebih besar (dan mungkin lebih penting) muncul, “Apakah tragedi seperti ini akan terulang kembali?”.
Sebagai film penutup, A Prayer menjadi sebuah bahan renungan, serta pengingat bagi kita. Bahwa di balik kelompok-kelompok minoritas yang dapat beradaptasi, bersiasat, dan hidup berdampingan dengan segala keterbatasan yang dimilikinya, masih ada kelompok minoritas lain yang bahkan tidak memiliki kesempatan untuk hidup dengan tenang.
Pernyataan, “…sehingga dapat bangkit dan mengikhlaskan segala tragedi kehidupan.” yang tersemat dalam catatan Kemala Astika, memantik pertanyaan di kepala saya. “Apakah Ahmad dan penyintas lainnya bisa benar-benar bangkit dan ikhlas?”, atau “Apakah semata-mata karena berbeda dengan kebanyakan, Ahmad dan penyintas lainnya pantas mengalami tragedi kehidupan sepahit itu?”.
Kelima film dari program Indonesia Raja 2023: Jawa Barat mencoba untuk mempertanyakan kembali kotak-kotak minoritas dan mayoritas. Memperluas definisi dan menunjukan upaya-upaya yang dilakukan mereka untuk bisa hidup di tengah-tengah keterbatasan yang dibangun oleh norma-norma masyarakat. Beberapa dapat beradaptasi, bersiasat, dan hidup berdampingan dengan pagar-pagar pembatas tersebut. Tetapi, beberapa mengalami sesuatu yang lebih besar dari sekedar keterbatasan. Sesuatu yang memaksa mereka menjadi bagian dari sejarah pahit kemanusiaan, lalu hidup memasrahkan diri setelahnya.
Discussion about this post