Minikino
  • Home
  • SHORT FILMS
    Still Film La Perra (2023) dan Masterpiece Mommy (2024)

    Yang Hilang dan Ditemukan: Relasi Ibu dan Anak Perempuan dalam Film “La Perra” dan ‘Masterpiece Mommy”

    Still Film My Therapist Said, I'm Full of Sadness (2024) oleh Monica Vanesa Tedja

    Problematika SOGIESC dan Gender Dysphoria dalam Narasi Intim Monica tentang Penerimaan Keluarga

    Still Film Tutaha Subang (Indonesia, 2024) disutradarai Wulan Putri

    Mempertanyakan Tutaha Subang : Kami Sudah Berjuang, tapi Kami Hanya Perempuan?

    Still Film WAShhh (2024) directed by Mickey Lai, produced in Malaysia and Ireland

    WAShhh (2024): How Naturality was Forced to Be Masked with Neutrality

    Still Film Dia Pergi Dan Belum Kembali (2024) sutradara Riani Singgih, diproduksi di Indonesia

    Perlawanan dalam Ingatan Melalui Dokumenter Traces of My Brother

    Still Film Yongky's First Heartbeats (2024) sutradara Giovanni Rustanto, diproduksi di Indonesia

    Yongky’s First Heartbeats: Relasi Kuasa, Lapisan-Lapisannya, dan Upaya untuk Merekonstruksi Ingatan

    Still Film Program Minikino 4+, (Baris pertama dari kiri ke kanan): Balconies (2024) karya Xenia Smirnov; Chalisa (2024) karya Swati Agarwal; Filante (2024) karya Marion Jamault. (Baris ke dua dari kiri ke kanan): Kukeleku (2024) karya Jelle Janssen; The Girl With The Occupied Eyes (2024) karya André Carrilho; Hello Summer (2024) karya Martin Smatana, Veronika Zacharová.

    Minikino 4+: Film Pendek Sebagai Taman Bermain Semua Umur

    Still Film Above the Tamarind Tree (2024) sutradara Buthyna Al-Mohammadi

    Temu-Kenali Jalinan Relasi Lintas Spesies

    Still Film Program Our Planet (baris pertama dari kiri ke kanan), Water Sports (2025) sutradara Whammy Alcazaren; Silent Panorama (2024) sutradara Nicolas Piret, Flow of Being (2024) sutradara Helen Unt;  (baris kedua dari kiri ke kanan) Fish, Please! (2024) sutradara Haris Yuliyanto; EVEN TIDE (2023) sutradara Francesco Clerici; Becoming Air (2024) sutradara Alisi Telengut, Diego Galafassi

    Melihat Alam Sebagai Ruang dan Bagian dari Diri

  • NOTES
  • INTERVIEWS
  • INTERNATIONAL
  • OPINION
  • ABOUT
No Result
View All Result
Minikino Articles
  • Home
  • SHORT FILMS
    Still Film La Perra (2023) dan Masterpiece Mommy (2024)

    Yang Hilang dan Ditemukan: Relasi Ibu dan Anak Perempuan dalam Film “La Perra” dan ‘Masterpiece Mommy”

    Still Film My Therapist Said, I'm Full of Sadness (2024) oleh Monica Vanesa Tedja

    Problematika SOGIESC dan Gender Dysphoria dalam Narasi Intim Monica tentang Penerimaan Keluarga

    Still Film Tutaha Subang (Indonesia, 2024) disutradarai Wulan Putri

    Mempertanyakan Tutaha Subang : Kami Sudah Berjuang, tapi Kami Hanya Perempuan?

    Still Film WAShhh (2024) directed by Mickey Lai, produced in Malaysia and Ireland

    WAShhh (2024): How Naturality was Forced to Be Masked with Neutrality

    Still Film Dia Pergi Dan Belum Kembali (2024) sutradara Riani Singgih, diproduksi di Indonesia

    Perlawanan dalam Ingatan Melalui Dokumenter Traces of My Brother

    Still Film Yongky's First Heartbeats (2024) sutradara Giovanni Rustanto, diproduksi di Indonesia

    Yongky’s First Heartbeats: Relasi Kuasa, Lapisan-Lapisannya, dan Upaya untuk Merekonstruksi Ingatan

    Still Film Program Minikino 4+, (Baris pertama dari kiri ke kanan): Balconies (2024) karya Xenia Smirnov; Chalisa (2024) karya Swati Agarwal; Filante (2024) karya Marion Jamault. (Baris ke dua dari kiri ke kanan): Kukeleku (2024) karya Jelle Janssen; The Girl With The Occupied Eyes (2024) karya André Carrilho; Hello Summer (2024) karya Martin Smatana, Veronika Zacharová.

    Minikino 4+: Film Pendek Sebagai Taman Bermain Semua Umur

    Still Film Above the Tamarind Tree (2024) sutradara Buthyna Al-Mohammadi

    Temu-Kenali Jalinan Relasi Lintas Spesies

    Still Film Program Our Planet (baris pertama dari kiri ke kanan), Water Sports (2025) sutradara Whammy Alcazaren; Silent Panorama (2024) sutradara Nicolas Piret, Flow of Being (2024) sutradara Helen Unt;  (baris kedua dari kiri ke kanan) Fish, Please! (2024) sutradara Haris Yuliyanto; EVEN TIDE (2023) sutradara Francesco Clerici; Becoming Air (2024) sutradara Alisi Telengut, Diego Galafassi

    Melihat Alam Sebagai Ruang dan Bagian dari Diri

  • NOTES
  • INTERVIEWS
  • INTERNATIONAL
  • OPINION
  • ABOUT
No Result
View All Result
Minikino
No Result
View All Result
Home SHORT FILMS

Tentang Hidup dan Siasat Berbaur yang Berbeda

Indonesia Raja 2023: Jawa Barat

Felix Dustin by Felix Dustin
June 28, 2023
in SHORT FILMS
Reading Time: 7 mins read
Still Film Berdoa, Mulai (2022) karya Tanzilal Azizie (dok: istimewa)

Still Film Berdoa, Mulai (2022) karya Tanzilal Azizie (dok: istimewa)

Menjadi minoritas tidak selamanya bernasib buruk, begitu juga dengan menjadi mayoritas, tidak selamanya memiliki privilege di genggaman. Lagipula, definisi atau pengkotak-kotakan minoritas dan mayoritas ini sangat cair, karena umumnya  kotak ini didasarkan oleh jumlah yang dapat berubah sesuai konteks di sekitarnya. Misal, saya sebagai warga Indonesia berketurunan Tionghoa bisa menjadi minoritas apabila sedang berada di stasiun KRL Manggarai, tetapi bisa juga berubah menjadi mayoritas apabila berada di salah satu ruang kelas SMA Kristen di Jakarta.

Menonton 5 film pendek dari program Indonesia Raja 2023: Jawa Barat, membongkar pemahaman dangkal saya di atas mengenai kotak minoritas-mayoritas. Mengutip catatan yang disematkan oleh Kemala Astika, Programmer Indonesia Raja 2023: Jawa Barat, “…Akan tetapi, tidak jarang hal ini justru mampu menjadikan mereka memiliki tingkat kegigihan dan adaptabilitas yang tinggi, sehingga dapat bangkit dan mengikhlaskan segala tragedi kehidupan”, mewakili kelima film dalam program ini. Semua film berusaha memotret bagaimana karakter-karakter minoritas, hidup berdampingan dengan berbagai stigma dan pandangan, yang mencoba membatasi ruang gerak dalam kehidupan mereka.

Tulisan singkat ini juga akan mencoba untuk memperluas pemahaman akan bagaimana sebenarnya kotak-kotak definisi minoritas dan mayoritas, dapat berbicara lebih dari sekedar jumlah. Namun, bisa berkaitan erat dengan konteks sosial yang lebih luas.

Sendiri Beradaptasi

Perwujudan dari kelompok minoritas yang paling mudah untuk ditemui adalah pemeluk agama minoritas. Hal ini disajikan melalui film pendek yang menjadi pembuka, Berdoa, Mulai (2022) karya sutradara Tanzilal Azizie. Film pendek ini bercerita tentang kehidupan Ruth, seorang pelajar SMA beragama Kristen yang menempuh pendidikan di sekolah yang mayoritas pelajarnya beragama Islam. Fenomena ini tentunya merupakan pemandangan yang sudah biasa dijumpai di Indonesia. Tidak semua masyarakat Kristen berada di kelas ekonomi yang cukup untuk menyekolahkan anaknya di sekolah Kristen, yang notabene membutuhkan biaya lebih besar. Alhasil, kita dapat menemukan banyak sekali Ruth di luar sana yang membagikan pengalaman serupa.

Kehadiran pemeluk agama Islam sebagai kelompok mayoritas di film ini dihadirkan dalam kehidupan sehari-hari Ruth secara subtil. Peletakan Ruth dalam bingkai-bingkai adegan yang dikelilingi teman-temannya yang berhijab, ajaran guru di kelas yang  sangat  jelas  didasari  oleh  semangat  agama  Islam. Sampai  pertanyaan  membosankan mengenai bagaimana rasa daging babi, hingga suara Adzan dari masjid setempat yang luar biasa besar hingga bisa didengar Ruth dari kamar tidurnya. Meskipun hal-hal tersebut terkesan dipaksakan kepada Ruth, tetapi itu adalah bagian dari konsekuensi atas apapun keputusan yang menempatkan Ruth pada lingkungan tersebut. Sebuah keputusan “terpaksa” yang barangkali harus diambil atas dasar kondisi ekonomi yang melenyapkan opsi-opsi Ruth untuk bisa bersekolah di sekolah Kristen di daerahnya. 

Selama kehadiran mayoritas tersebut hadir secara konstan sepanjang film, kita tidak banyak melihat reaksi Ruth akan hal itu. Ia hanya berada di dalam bingkai-bingkai adegan, menjadi bagian dari apa yang terjadi di sekitarnya. Hal ini membuat saya tidak siap dengan akhir film yang ditutup dengan Ruth yang secara tidak sengaja (atau sengaja) mengucap Bismillah sebelum makan bersama keluarganya. Tanpa sadar, minimnya reaksi Ruth yang terlihat di sepanjang film merupakan bentuk dirinya yang telah melebur dan beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya.

Simbol-simbol dari agama Islam yang ditampilkan secara subtil ini juga memperlihatkan bagaimana lingkungan sekolah dan tempat tinggal Ruth tidak berusaha memaksa Ruth untuk mempertanyakan kepercayaannya. Melainkan, simbol-simbol tersebut hadir sebagai sebuah identitas dari sebuah lingkungan masyarakat yang menjadi bagian dari tempat tinggal Ruth.

Berdoa, Mulai dapat dimaknai sebagai sebuah bentuk adaptasi yang dilakukan kelompok minoritas terhadap kebiasaan kelompok mayoritas yang tidak lagi diidentifikasi sebagai sebuah simbol agama, melainkan sebagai sebuah identitas dari lingkungan yang ditinggali.

Still Film Katura (2021) karya Joyo Luqman (dok: istimewa)

Bersiasat Untuk Bersuara

Definisi dan pemahaman saya terhadap apa yang disebut minoritas dan mayoritas diperluas lagi oleh film Katura (2021), oleh sutradara Joyo Luqman. Film dokumenter pendek ini bercerita tentang kehidupan Katura, seorang seniman batik senior dari Cirebon melalui karya-karyanya selama masa hidupnya. Uniknya, batik-batik yang Katura buat memiliki elemen khas yang merupakan perwujudan dari keresahan dan kritiknya terhadap kebijakan dan pemerintahan Indonesia. Beberapa batik dibuat berdasarkan konteks isu politik tertentu, ataupun merespons apa yang sedang terjadi pada wajah perpolitikan Indonesia di era tersebut. Salah satunya, motif batik tikus pada salah satu kain batik buatannya yang menyimbolkan koruptor.

Sebagai seorang seniman, Katura memperlakukan batik sebagai medium seninya. Baik sebagai sumber nafkah, maupun sebagai medium berekspresi. Katura sadar, sebagai seorang rakyat biasa, suara kritiknya tidak akan cukup lantang untuk sampai ke telinga-telinga para wakil rakyat. Oleh karena itu, ia memilih untuk menuangkan suaranya lewat medium seni yang Ia kuasai, yakni batik.

Katura memberikan saya sudut pandang baru dalam mendefinisikan kotak-kotak minoritas dan mayoritas. Berkaca pada konteks jumlah, Katura sebagai rakyat bisa dikelompokkan sebagai mayoritas, sedang kelompok minoritasnya adalah para wakil rakyat di pemerintahan. Tetapi, dari sudut pandang sosio-politik, kenyataannya Katura sebagai bagian dari mayoritas tidak otomatis dihadiahi dengan kuasa. Para wakil rakyat yang jumlahnya jauh lebih sedikit daripada rakyatnya, justru menjadi pemegang kuasa dan pengendali kebijakan negara. Karya-karya batik yang dibuatnya, dapat dipandang sebagai bentuk siasat yang dilakukannya agar bisa “bersuara” dari balik keterbatasan yang ia miliki. Katura menjadi contoh, sekaligus bukti bahwa menjadi mayoritas pun tidak luput dari adanya keterbatasan.

Mereka Yang Dipandang Berbeda

Menjadi minoritas juga terkadang erat kaitannya dengan menjadi berbeda. Pemaknaan istilah “berbeda” ini dapat merujuk ke banyak hal, beda dalam cara berpikir misalnya. Film pendek Domba Setan (2022) yang disutradarai oleh Angga Surangga kembali memberikan sudut pandang baru tentang hal ini. Film pendek ini bercerita tentang Asep, seorang pemuda yang sedang galau karena tekanan dari ayah pacarnya yang memaksa Ia untuk cepat menikahi putrinya.

Dalam film pendek ini, kegalauan Asep menjadi sebuah hal yang membingungkan bagi teman-temannya, sebuah hal yang “berbeda”. Bagi teman-temannya, perkara menikah adalah perkara yang kecil, mudah, tidak usah dipusingkan. Mereka pun bingung melihat Asep segalau itu hanya karena perkara kecil. Menurut Asep, menikah tidak hanya seputar prosedur, datang ke KUA, dinikahkan oleh penghulu dan dihadiri oleh beberapa saksi. Menikah bagi Asep merupakan hal sakral yang keputusannya perlu dipikirkan matang-matang. Cukup penting sehingga mengganggu pikirannya, yang diterjemahkan secara baik lewat bentuk film horror sebagai personifikasi dari kegalauan Asep menyikapi masalah ini.

Perbedaan selanjutnya datang dari karakter utama sebuah film dokumenter pendek karya sutradara Rofie Nur Fauzie dan Mohamad Sulaeman berjudul Baby Girl (2021), bernama Miss Cunenk. Film ini bercerita tentang Miss Cunenk dalam menjalani kehidupan sehari-harinya sebagai seorang transpuan. Miss Cunenk sadar kalau dirinya berbeda. Seperti pada awal film, Ia terlihat menjadi pengisi acara ulang tahun sebagai penyanyi. Lalu ia tidak malu menjadi seorang influencer dengan persona transpuan. Memang, dalam dunia  yang  ideal,  Miss Cunenk  seharusnya  tidak  perlu  malu  menjadi  seorang transpuan, pun juga menjadi seorang penyanyi, atau profesi apapun yang ia inginkan.

Still Film Baby Girl (2021) karya Rofie Nur Fauzie (dok: istimewa)

Meskipun begitu, Miss Cunenk tetap sadar bahwa dunia tidak seideal itu, ia hidup di tengah-tengah lingkungan yang konservatif. Perbedaan yang ia miliki pasti memberikan konsekuensi, ia juga tidak menuntut agar semua orang menerima perbedaannya. Hal tersebut ditunjukkan dari sebuah adegan yang memperlihatkan bagaimana Miss Cunenk mempertimbangkan tawaran untuk mengisi acara anak-anak karena ia adalah seorang transpuan. Adegan lain juga memperlihatkan dirinya yang mengawali panggilannya bersama pihak rumah sakit bersalin dengan memberitahu bahwa dirinya adalah seorang transpuan, sebelum menjelaskan keinginannya untuk berdonasi ke sana.

Perbedaan identitas seringkali diasosiasikan dengan stigma-stigma diskriminatif seperti, tidak normal, aneh, menyimpang, sesat, dan lain sebagainya. Stigma-stigma tersebut pun menjadi justifikasi dari berbagai tindak diskriminasi, persekusi, tak jarang perampasan hak-hak asasi, yang dilakukan oleh kelompok mayoritas melalui kuasa yang mereka genggam. Kenyataan pahit ini diceritakan lewat sebuah film dokumenter pendek berjudul A Prayer (2022) karya sutradara Ibara Baiano Lanjare.

Sepanjang film, kita hanya dihadirkan dengan adegan seseorang sedang melakukan shalat. Tetapi, adegan tersebut bertolak belakang dengan audio yang diputar. Audio tersebut merupakan rekaman sebuah panggilan dengan seorang penyintas tragedi pembunuhan jemaat Ahmadiyah di Cikeusik, Ahmad Masihuddin. Lewat rekaman panggilan tersebut, Ahmad menceritakan kronologis kejadian tragis yang Ia alami 2011 lalu di Cikeusik, sebuah desa terpencil di provinsi Banten.

Islam Ahmadiyah merupakan salah satu aliran agama Islam yang tumbuh karena kepercayaan umatnya terhadap sosok Mirza Ghulam Ahmad sebagai penerus nabi Muhammad. Perbedaan kepercayaan ini tidak dapat diterima oleh jemaat Islam arus utama, dianggap sesat dan menyimpang. Bahkan sejumlah negara menolak mereka untuk mengidentifikasikan diri sebagai Muslim. Kontroversi ini mengakibatkan banyaknya tindakan persekusi dan diskriminasi yang diterima oleh jemaat-jemaatnya. 

Indonesia pun tidak menjadi tempat yang aman bagi para jemaat Ahmadiyah. CNN Indonesia mencatat beberapa kasus persekusi yang terjadi di Indonesia, mulai dari pengusiran di Bangka pada 2016, pengrusakan masjid di Depok, Bogor, dan NTB pada 2011 dan 2018, hingga penyerangan terhadap jemaat di Cikeusik pada 2011. Semua tindakan tersebut dilakukan oleh oknum yang mengidentifikasikan diri sebagai umat agama Islam arus utama, bertujuan untuk membubarkan dan melenyapkan paham Islam Ahmadiyah di Indonesia.  

Dalam A Prayer kronologi kejadian diceritakan dengan detil oleh Ahmad, seperti sebuah memori pahit, terekam jelas di kepalanya yang nyaris hancur tersebut. Menonton film ini, saya terus menerus mempertanyakan diri saya. “Bagaimana bisa saya tidak pernah tahu adanya tragedi ini? Apakah saya yang ignorant?”. Seiring menonton, pertanyaan tersebut tampak sudah tidak menjadi penting lagi. Pertanyaan lain yang lebih besar (dan mungkin lebih penting) muncul, “Apakah tragedi seperti ini akan terulang kembali?”.

Sebagai film penutup, A Prayer menjadi sebuah bahan renungan, serta pengingat bagi kita. Bahwa di balik kelompok-kelompok minoritas yang dapat beradaptasi, bersiasat, dan hidup berdampingan dengan segala keterbatasan yang dimilikinya, masih ada kelompok minoritas lain yang bahkan tidak memiliki kesempatan untuk hidup dengan tenang. 

Pernyataan, “…sehingga dapat bangkit dan mengikhlaskan segala tragedi kehidupan.” yang tersemat dalam catatan Kemala Astika, memantik pertanyaan di kepala saya. “Apakah Ahmad dan penyintas lainnya bisa benar-benar bangkit dan ikhlas?”, atau “Apakah semata-mata karena berbeda dengan kebanyakan, Ahmad dan penyintas lainnya pantas mengalami tragedi kehidupan sepahit itu?”.

Kelima film dari program Indonesia Raja 2023: Jawa Barat mencoba untuk mempertanyakan kembali kotak-kotak minoritas dan mayoritas. Memperluas definisi dan menunjukan upaya-upaya yang dilakukan mereka untuk bisa hidup di tengah-tengah keterbatasan yang dibangun oleh norma-norma masyarakat. Beberapa dapat beradaptasi, bersiasat, dan hidup berdampingan dengan pagar-pagar pembatas tersebut. Tetapi, beberapa mengalami sesuatu yang lebih besar dari sekedar keterbatasan. Sesuatu yang memaksa mereka menjadi bagian dari sejarah pahit kemanusiaan, lalu hidup memasrahkan diri setelahnya.

Editor: Ahmad Fauzi
Penulis merupakan salah satu dari empat peserta terpilih Minikino Hybrid Internship for Film Festival Writers (May-November 2023). Program Indonesia Raja 2023: Jawa Barat dapat dipinjam untuk diputar di layar lebar. Informasi lebih lanjut tersedia di https://minikino.org/indonesiaraja/
Tags: A PrayerBaby GirlBerdoa MulaiDomba SetanIndonesia Raja 2023Jawa BaratKatura
ShareTweetShareSend
Previous Post

Dinamika Manusia dan Habitatnya

Next Post

Nonton dan Ngopi: Ngasak Cerita dari Ladang Kebudayaan

Felix Dustin

Felix Dustin

Felix is a final-year film student in Multimedia Nusantara University. Previously a scriptwriter and a film festival enthusiast, in 2023 he got the chance to participate in UCIFEST 14 as the Competition Film Programmer. Since then, he aspires to work in the film festival ecosystem while still likes to write short film script in his free time.

Related Posts

Still Film La Perra (2023) dan Masterpiece Mommy (2024)

Yang Hilang dan Ditemukan: Relasi Ibu dan Anak Perempuan dalam Film “La Perra” dan ‘Masterpiece Mommy”

October 20, 2025
Still Film My Therapist Said, I'm Full of Sadness (2024) oleh Monica Vanesa Tedja

Problematika SOGIESC dan Gender Dysphoria dalam Narasi Intim Monica tentang Penerimaan Keluarga

October 9, 2025
Still Film Tutaha Subang (Indonesia, 2024) disutradarai Wulan Putri

Mempertanyakan Tutaha Subang : Kami Sudah Berjuang, tapi Kami Hanya Perempuan?

September 9, 2025
Still Film WAShhh (2024) directed by Mickey Lai, produced in Malaysia and Ireland

WAShhh (2024): How Naturality was Forced to Be Masked with Neutrality

September 4, 2025
Still Film Dia Pergi Dan Belum Kembali (2024) sutradara Riani Singgih, diproduksi di Indonesia

Perlawanan dalam Ingatan Melalui Dokumenter Traces of My Brother

September 4, 2025
Still Film Yongky's First Heartbeats (2024) sutradara Giovanni Rustanto, diproduksi di Indonesia

Yongky’s First Heartbeats: Relasi Kuasa, Lapisan-Lapisannya, dan Upaya untuk Merekonstruksi Ingatan

September 4, 2025

Discussion about this post

Archives

Kirim Tulisan

Siapapun boleh ikutan meramaikan halaman artikel di minikino.org.

Silahkan kirim artikel anda ke redaksi@minikino.org. Isinya bebas, mau berbagi, curhat, kritik, saran, asalkan masih dalam lingkup kegiatan-kegiatan yang dilakukan Minikino, film pendek dan budaya sinema, baik khusus atau secara umum. Agar halaman ini bisa menjadi catatan bersama untuk kerja yang lebih baik lagi ke depan.

ArticlesTerbaru

Still Film 12 Moments Before Flag-Raising Ceremony (2025) arahan Zhizheng Qu

Berbagi Sentimen Tentang Jurang Generasi Bersama Owen Effendi dalam Kaitannya dengan 12 Moments Before Flag-Raising Ceremony (2025)

November 5, 2025
Still Film My Paws are Soft, My Bones are Heavy (2024) arahan Garry Christian

Melankolia Masa Muda dalam Percakapan Bersama Garry Christian dan Feisha Permanayadi

October 31, 2025
Southeast Asia Connection MFW11 di Dharma Negara Alaya

Sebelum Praproduksi dan Setelah Pascaproduksi: 7th Short Film Market at Minikino Film Week

October 31, 2025

Estetika Politik dan Kuasa Advokasi Film Pendek: Membahas Trilogi Awyu bersama Wulan Putri dan Harryaldi Kurniawan

October 24, 2025
Still Film Dengarlah Nyanyian Pingpong (2024) arahan Andrew Kose

Percakapan Bersama Andrew Kose: Menyoal Kepekaan dan Konteks dalam Dengarlah Nyanyian Pingpong (2024)

October 24, 2025

ABOUT MINIKINO

Minikino is an Indonesia’s short film festival organization with an international networking. We work throughout the year, arranging and organizing various forms of short film festivals and its supporting activities with their own sub-focus.

Recent Posts

  • Berbagi Sentimen Tentang Jurang Generasi Bersama Owen Effendi dalam Kaitannya dengan 12 Moments Before Flag-Raising Ceremony (2025)
  • Melankolia Masa Muda dalam Percakapan Bersama Garry Christian dan Feisha Permanayadi
  • Sebelum Praproduksi dan Setelah Pascaproduksi: 7th Short Film Market at Minikino Film Week
  • Estetika Politik dan Kuasa Advokasi Film Pendek: Membahas Trilogi Awyu bersama Wulan Putri dan Harryaldi Kurniawan
  • Percakapan Bersama Andrew Kose: Menyoal Kepekaan dan Konteks dalam Dengarlah Nyanyian Pingpong (2024)

CATEGORIES

  • ARTICLES
  • INTERVIEWS
  • NOTES
  • OPINION
  • PODCAST
  • SHORT FILMS
  • VIDEO

Minikino Film Week 10

  • MINIKINO.ORG
  • FILM WEEK
  • INDONESIA RAJA
  • BEGADANG

© 2021 Minikino | Yayasan Kino Media

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • SHORT FILMS
  • NOTES
  • INTERVIEWS
  • INTERNATIONAL
  • OPINION
  • ABOUT

© 2021 Minikino | Yayasan Kino Media