Dalam era yang serba progresif, hasil seringkali lebih diutamakan ketimbang proses. Mereka yang menyisihkan proses menciptakan pola keyakinan bahwa segala sesuatu telah memiliki hasilnya sendiri. Dalam ajaran atau wewarah (nasehat) masyarakat Jawa, terdapat istilah nrimo ing pandum. Konsep ini terbentuk melalui indikator berupa, syukur, sabar, dan narimo. Syukur berarti penerimaan dengan rasa senang, sabar tentang pengendalian emosi, dan narimo yaitu menerima segara segala sesuatu dengan tenang. Jika berbicara masyarakat Jawa, sebagai suku terbesar di Indonesia, maka konsep nrimo ing pandum tidak bisa dianggap suatu hal minor.
Hal tersebut yang kemudian disorot oleh Gerry Junus selaku programmer Indonesia Raja untuk D.I. Yogyakarta dan Jawa Tengah. Dalam catatan program yang ditulisnya, ia menjadikan rekonstruksi terhadap istilah nrimo ing pandum sebagai benang merah dari film-film yang dipilih– bahwa masyarakat Jawa yang dianggap pasif karena terkesan menerima segala sesuatu sebagai bentuk nasib. Gerry Junus menyoroti konsep penerimaan ini melalui perbandingan cara manusia beradaptasi, dimana dulu mereka harus menghadapi lingkungan alam, sementara kini dipaksa menghadapi sesuatu yang mereka ciptakan, seperti kota, sistem ekonomi, dan status sosial.
Sistem ekonomi dan status sosial, berkaitan erat dengan konteks nrimo ing pandum dalam memproyeksikan pergerakan hidup untuk melawan sesuatu yang diterima seakan telah melekat dalam diri manusia. Sementara itu, kota sebagai habitat yang diciptakan manusia, mewadahi sekaligus mengekspresikan habit manusia yang mencakup budaya, interaksi, dan polemik kehidupan. Habitat sebagai latar tempat, juga dapat menjadi panduan dasar untuk mengenal karakter dalam film. Lalu, bagaimana pergerakan terhadap penerimaan dan habitat ini, merepresentasikan D.I. Yogyakarta dan Jawa Tengah?
Program yang terdiri dari 4 film ini, diawali dengan sebuah film karya Mauliya Maila, yang bertutur sederhana dalam Babad Wingking Griya (2022). Kesederhanaannya ditampilkan lewat permasalahan dua orang ibu-ibu bertetangga, yang ribut karena ayam milik salah satu ibu bernama Minah, merusuhi halaman Barokah, ibu yang lain. Konteks permasalahan utamanya, tentang pengurusan sertifikat tanah, ditampilkan secara dominan melalui eksposisi di awal film dengan medium radio. Penonton diajak memahami betapa pelik dan lucunya akibat dari ketidakjelasan batas-batas kepemilikan ruang sebagai habitat. Para karakter hanya terus mengira-ngira batas kepemilikan mereka, melakukan aktivitasnya dengan leluasa, sebelum kemudian karakter lain datang menyanggah dengan perkiraannya sendiri. Karena keengganan, yang lalu diperkuat dengan faktor ekonomi, tidak satupun dari ibu-ibu ini yang berusaha memperjelas batas-batas tersebut, melalui pengurusan sertifikat tanah.
Pada film ini, karakter yang hadir menolak konsep nrimo ing pandum sebagai sesuatu yang wajar terjadi. Barokah yang menolak ketidakacuhan Minah pada ayamnya yang bengal, dan Minah yang menolak dirinya dan ayamnya dicap buruk oleh Barokah. Penolakan kedua karakter ini tampaknya memicu konflik berkepanjangan, yang dilandasi oleh kebutuhan untuk menguasai ruang. Karena bahkan hingga di akhir film, lewat perebutan area yang diberi patok, tidak ada karakter yang benar-benar menerima, dan akan tetap bergelut demi habitat mereka.
Film selanjutnya adalah Serangan Oemoem (Bro Dragon, The City is Under Attack!) (2022), yang sebagai judul terdengar begitu menggelegar, mengingat peristiwa serangan umum pada 1 Maret 1949, yang pernah terjadi di Yogyakarta. Tidak ada unsur sejarah yang muncul secara gamblang di film ini. Namun, apabila itu tentang pengusiran mundur dalam waktu singkat, maka iya, film ini sedikit mencolek kejadian penting itu. Terlepas dari judul aslinya, film ini merupakan sajian yang terasa begitu segar, pun absurd dari gaya animasi dan pembawaan naratif. Saat menontonnya, saya seketika teringat serial animasi The Amazing World of Gumball (2011-2019), yang memadukan style animasi 2 dimensi dengan latar dunia nyata, memberikan kesan ketergangguan, namun secara menarik mampu menyokong cerita.
Fajar Martha Santosa selaku sutradara memperlihatkan perbedaan cara suatu generasi menghadapi musibah, yang dalam film ini berupa monster raksasa. Generasi yang lebih tua, diperlihatkan hanya penuh kepasrahan menghadapi musibah, bahkan yang sekadar hanya melontarkan lelucon, barangkali terdengar seperti upaya untuk menertawakan ketidakberdayaan mereka. Di satu sisi, generasi muda, yang diwakili Gani, Sulis, dan Boba, lewat rasa penasarannya, seperti mengartikan ulang filosofi nrimo ing pandum, yang dalam wejangannya diikuti oleh kata-kata makaryo ing nyoto atau bekerja secara nyata. Anak-anak ini mencari naga Antaboga, suatu sosok yang dipercaya memberikan perlindungan bagi masyarakat Jawa (dan Bali). Pembawaannya ke setting masyarakat modern, menjadi penggambaran situasi, bagaimana hingga kini kepercayaan akan hal mistis masih ada, bahkan di saat generasi yang telah berganti.
Di satu sisi, habitat para karakter ini, Yogyakarta, disorot dengan cukup baik, entah kawasan kota berupa jalan, perumahan, dan gedung, maupun pinggirannya, berupa hutan dan sungai tempat naga Antaboga hidup yang masih belum terintervensi manusia. Dengan berdampingannya latar tempat, maka secara konsisten film ini menyajikan ragam dualitas, lewat generasi, ideologi, kepercayaan dan style animasi– bahwa selayaknya sebagian alam, yang dibangun menjadi kota untuk mempermudah kehidupan manusia, maka nasib harus diperjuangkan terlebih dahulu sebelum diterima.
Selanjutnya, kembali lagi ke Jawa Tengah, lebih tepatnya Kota Semarang dalam On The Way Loving You (2022), oleh Tatang A. Riyadi. Dengan latar kotanya yang ramai namun senyap, penonton diajak mengamati ragam pilu masyarakat urban, dalam kaitannya dengan hubungan asmara dan ekonomi. Tiga plot hadir bersama tiga sisi karakter dengan permasalahan selayaknya sebuah tahapan dalam hubungan asmara– tentang mencari kepastian, menghadapi, dan menerima. Asmara dalam latar kota, tampaknya dipilih karena lebih sering terekspresikan di publik, ketimbang perasaan lain seperti, kekecewaan, kesedihan, dan kemurkaan. Taman kota, mall, maupun bioskop, barang tentu bukanlah tempat awam untuk menyaksikan pemandangan ini.
Di sisi lain, film ini secara menarik, menjadikan jalanan kota dan pelengkapnya sebagai saksi bagaimana tiap tahapan dalam asmara berlangsung. Bagi si perempuan pencari kepastian, jalanan menjadi upayanya untuk menemukan jawaban atas kebingungan pada pasangannya. Spontanitas dalam ruang publik, memungkinkan ia untuk bertemu dengan beragam jenis orang yang tak dikenal. Pertemuan ini memperlihatkan kepada si perempuan berbagai masalah yang dihadapi manusia di jalanan. Saat masalah tersebut bersinggungan dengan situasinya, muncul semacam upaya perenungan, yang menjadi refleksi bagi si perempuan. Baginya, jalanan mungkin terasa lebih baik, ketimbang jawaban yang ditawarkan oleh pasangannya di dalam kontrakan, berupa kepastian yang enggan untuk diterimanya.

Dalam perjalanannya, si perempuan bertemu dengan pasangan yang “bukan punk” di angkot. Pasangan ini merepresentasikan upaya menghadapi komitmen, dengan bukan hanya memenuhi kebutuhan sendiri, namun juga buah dari komitmen mereka, berupa anak yang akan segera lahir. Jalanan menjadi tempat mereka mengadu nasib, ada berjualan di atas trotoar, ada yang menjadi tukang parkir di pinggir jalan. Pihak terakhir, sempat membawa si perempuan dan pasangan “bukan punk” ini melintasi jalanan, yang telah menjadi habitat keduanya setelah rumah, tempat ia mengais pundi-pundi rupiah. Si sopir angkot, merepresentasikan tahap menerima– mengendalikan kemudi atas keputusannya untuk bekerja demi keluarga yang dicintainya.
Ketiga cerita dalam film ini menunjukkan bahwa cinta tidak lagi dipandang sebagai afeksi yang pasrah, namun tentang bagaimana cara mempertahankannya lebih lama melalui pemenuhan kebutuhan hidup. Cinta menjadi seolah tidak realistis, di tengah tuntutan ekonomi dan sosial yang keras di kota. Para karakter dalam film ini, didewasakan oleh cinta dan keputusan mereka untuk bergerak, di kota, dimana manusia-manusianya harus selalu bergerak.
Film Gadis dan Penatu (2023) adalah pilihan film yang menutup program dengan penuh gejolak, melalui perjuangan Santi dalam meraih keinginannya. Santi yang bercita-cita menjadi pegawai sebuah hotel, mendapat penolakan dari ibunya, yang meminta Santi agar tetap membantunya mengelola usaha laundry (penatu). Represi ibu Santi yang berlandaskan trauma, mengalami perlawanan oleh Santi. Santi merasa dirinya mempunyai hak untuk mencoba dan menggapai hal yang diinginkannya. Serupa dengan film sebelumnya, yang juga berasal dari Yogyakarta, Santi sebagai generasi muda digambarkan tidak akan menerima begitu saja kodrat pemberian, dan pengalaman ibunya sebagai sebuah pakem. Domestikasi sebagai anak dan perempuan menjadi suatu hal yang ingin Santi lawan.
Hal yang menarik dari film ini adalah pemilihan lokasinya. Alam Al Ghifari, selaku sutradara mengundang penontonnya untuk mengeksplorasi daerah Kali Code, sebuah kawasan perkampungan tengah kota Yogyakarta, yang dilalui oleh sungai Kali Code. Kawasan yang barangkali cukup jarang digambarkan dalam film. Santi diperlihatkan naik-turun tangga yang terlihat amat curam, sebagai bentuk perjuangan masyarakat yang hidup di kawasan ini, yang dengan susah payah muncul ke permukaan, dan berat hati untuk kembali bersembunyi di balik hiruk pikuk perkotaan. Pengambilan gambar extreme long shot, dapat dikatakan sebagai usaha menarik untuk menunjukkan lanskap Kota Yogyakarta, sekaligus menunjukkan begitu banyaknya masyarakat yang terlihat begitu kecil dengan kisah yang sering kali terluput begitu saja.
Dapat dikatakan bahwa program Indonesia Raja 2023 D.I. Yogyakarta dan Jawa Tengah ini mampu menghadirkan keberagaman, sekaligus keserupaan permasalahan di daerah ini. Keberagaman yang muncul bukan sebatas tema, namun juga gaya dan latar tempat. Keputusan dalam membagi jumlah film untuk tiap daerah, menjadi suatu hal yang tidak lagi diprioritaskan dalam pemrograman, sebab Gerry Junus selaku programmer mampu membawakan bahasan menarik lewat aspek keruangan dan pergerakan dalam konsep nrimo ing pandum. Aspek yang keruangan yang muncul sebagai wujud karya dan tempat hidup manusia, mampu menampung berbagai permasalahan dalam tiap film. Saya seakan diberi kesempatan untuk melihat ragam ekspresi dari fasad bangunan, halaman, jalanan, dan kawasan kota, serta pemukiman. Baik ekspresi sosial, budaya, ekonomi, maupun manusia yang hidup di dalamnya.
Dengan merekonstruksi istilah nrimo ing pandum, sebagai suatu hal yang bersifat ajek, film-film dalam program ini menunjukkan pergerakan dan pergolakan hidup manusia, sebelum sepenuhnya berserah diri pada kemahakuasaan dan suatu keadaan yang “memang begitu”. Pada akhirnya, program ini menunjukkan, dalam ruang yang diam, ekspresi manusia tergambar dari aktivitas mereka–dalam tiap pergerakan manusia, ada perlawanan terhadap sesuatu yang dianggap stagnan, berupa nasib yang harus diterima.
Discussion about this post