Dalam film dokumenter pendek Perfected Grammar (2024, Andrea Suwito), saya menemukan kombinasi yang unik namun ironis antara penuturan tata bahasa Indonesia dan lembar kelam sejarah 1965. Dengan dialog dan diksi puitis yang samar mencoba menyeret paksa peristiwa pahit di masa lalu, menghadirkan sajian sinematik yang seolah menjebak tahun yang tak pernah berakhir dan putaran waktu yang menolak henti dalam 10 menit durasi film ini. Percayalah, belajar bahasa Indonesia tak pernah sememilukan ini.
Sebagai salah satu kolaborator Minikino Studio dalam pembuatan deskripsi audio Bahasa Indonesia untuk program inklusif di Minikino Film Week 10, saya berkesempatan mendengarkan Perfected Grammar lebih awal. Jujur saja, saya tidak dapat memahami apa pun saat mendengar film ini pertama kali. Dialog dalam film ini berada di dasar kompartemen ingatan saya.
Hal-hal yang saya dengarkan di awal hanyalah suara latar dan klip demi klip seperti suara kamera memotret. Saya menduganya sebagai gambar atau foto yang ditunjukan satu persatu. Kemudian, dialog berbahasa Indonesia dari seorang perempuan dengan dialek asing, lalu dialog perempuan tua. Saya tahu dari warna suaranya. Saya mendengarkan film ini sampai akhir dan tetap tak memahami apa pun, selain indikasi samar yang saya dapatkan dari dialog. Semula saya mengira ini adalah sesuatu yang mengarah ke tahun 1998.
Barulah ketika proses perekaman deskripsi audio hampir usai, Edo Wulia, direktur Minikino sekaligus penata suara untuk deskripsi audio, membacakan teks narasi di akhir, ingatan yang berada di dasar memori saya seolah langsung mencelat keluar. Ingatan akan informasi hilangnya generasi intelektual Indonesia setelah peristiwa 1965.
Edo membaca teks tersebut sampai akhir, saya tekun mendengarkan lalu tersadar teks itu lazimnya ditemukan di tulisan panjang alih-alih pada sebuah film. Entah mengapa ini mengingatkan saya akan satu trik bernama Show, don’t tell dalam menulis, yakni lebih banyak menunjukan (Show) ketimbang mengatakan (tell). Saya kira, trik ini juga akan lebih baik diterapkan untuk film.
Namun terlepas dari hal itu, Perfected Grammar adalah film yang diperlukan untuk mengingatkan siapapun bahwa tahun 1965 masih belum berakhir. Termasuk saya, yang tak pernah punya cukup kesadaran bahwa tahun tersebut masih dekat dengan tahun saya lahir. Sampai saya mendengarkan dialog dari orang yang terkait langsung dengan peristiwa ini.
Ketika Edo mendeskripsikan visual film dalam Perfected Grammar yang tak menunjukan wajah sepenuhnya, saya baru betul-betul memahami bahwa peristiwa kelam di masa lalu itu masih sensitif untuk ditunjukan dan dibicarakan terang-terangan. Ada perasaan trauma, enggan, takut, serta campuran getir dan pahit, bahkan untuk Indonesia sendiri yang sungkan menuturkan sejarahnya yang sesungguhnya. Sebuah bangsa yang enggan belajar dari sejarahnya sendiri dan takut menerima kenyataan peristiwa kelam masa lalu.
Barang kali, semua akan terasa jauh lebih getir dan pahit untuk diterima, sampai-sampai Indonesia tak akan menunjukan wajah sejarahnya sama sekali. Namun jika Indonesia melakukannya, mungkin itu bukan wajah Indonesia yang kita kenal selama ini. Yang separuh wajahnya tidak pernah kita lihat sama sekali.
Bagi saya, generasi yang lahir di tahun 2000an, pada tahun 2024 saat saya menulis ulasan ini, tahun 1965 terasa amat jauh. Jauh sekali sampai saya tak menyadari bahwa beberapa orang mungkin masih hidup untuk menuturkan kepedihan nasib mereka yang dicabut identitasnya dengan cap tak mengenakan yang tersemat seumur hidup sampai mereka meninggal.
Saya pernah membaca tentang hilangnya generasi intelektual Indonesia pasca kemelut politik 65. Soekarno mengirimkan ribuan mahasiswa keluar negeri dengan harapan agar mereka bisa turut membangun Indonesia, sampai akhirnya Soeharto naik ke tampuk pemerintahan dan menyingkirkan semua yang dianggap loyal terhadap Soekarno, termasuk mereka yang dianggap berhaluan kiri. Para mahasiswa yang dikirim belajar ke luar negeri saat pemerintahan Soekarno pun ikut tersingkir. Mereka dilarang pulang, paspor mereka dicabut, dan cap-cap tak mengenakan itu tersemat seumur hidup sampai mereka meninggal dunia.
Saya tak pernah mencoba untuk mencari tahu lebih lanjut karena belum tertarik menggali peristiwa 1965. Saya juga tidak pernah benar-benar memahami kerumitannya. Buat saya pada waktu itu, seputar 1965 tidak menunjukan apa pun selain betapa bagian sejarah yang satu ini terlipat rapat, tertutup rapi, dan disembunyikan jauh-jauh dari buku-buku sejarah, termasuk referensi untuk mempelajarinya.
Saat ini, saya merasa film Perfected Grammar menjadi berkali lipat lebih penting. Dialog-dialognya puitis dengan penceritaan sederhana namun sarat makna. Garis waktu film ini mampu menunjukan bagaimana tahun demi tahun terlewati, namun sejarah serta orang-orang yang menjadi bagian di dalamnya masih terus tergopoh-gopoh berusaha mengingatkan siapa pun bahwa tahun 1965 adalah tahun yang tak pernah, atau tak akan pernah berakhir untuk Indonesia dan generasi intelektualnya yang tercerabut dari akar.
Discussion about this post