Dapatkah kita menulis sesuatu yang jauh berjarak dengan kita? Pertanyaan tersebut muncul secara acak di dalam benak saya ketika pertama kali menuliskan kembali isi kepala selepas menyaksikan Indonesia Raja 2022: Aceh dan Padang Panjang. Tumbuh dan berkembang dalam di wilayah seperti Bintaro dan Ciputat dengan kultur yang tak jauh berbeda antara satu dan lainnya membuat saya merasakan jarak tersebut. Latar belakang budaya, bahasa, tradisi, serta adat istiadat Aceh dan Padang Panjang membuat saya penasaran. Apakah saya bisa mengurai kembali ingatan seusai menonton film-film pendek dari daerah ini untuk meluruhkan jarak antara saya dengan Aceh dan Padang Panjang.
Dulu, waktu saya masih kecil, saya ingat pernah menonton film panjang Hafalan Shalat Delisa (2011) yang berlatarkan tsunami Aceh. Saya menontonnya berulang kali di televisi. Begitu juga film Tjoet Nya’ Dhien (1988), film biopik perjuangan perempuan Aceh menyentuh saya. Lalu ada film Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (2013). Beberapa sastrawan asal Sumatera Barat seperti Marah Rusli, Abdul Moeis, Hamka, dan Selasih juga pernah saya baca karyanya. Itulah pengalaman berkenalan dengan Aceh dan Padang Panjang yang jadi dasar ingatan mengenai keadaan politik, budaya, dan demografi yang barangkali relevan dengan empat film pendek dalam program Indonesia Raja 2022: Aceh dan Padang Panjang ini.
Baik Aceh maupun Padang Panjang keduanya sama-sama memiliki julukan Serambi Mekkah. Latar belakang historis keislaman yang kental hingga saat inilah yang membuat Aceh dan Padang Panjang dikenal dengan julukan tersebut. Empat film pendek ini berusaha memotret realitas sekarang terkait bagaimana masyarakat Aceh dan Padang Panjang memaknai tantangan zaman. Melalui program Indonesia Raja 2022: Aceh dan Padang Panjang dengan tajuk Budaya, Agama, dan Perempuan. Programmer Akbar Rafsanjani dan Wahyudha menyematkan catatan, “Film-film pendek yang terpilih tahun ini mengundang penonton untuk membaca tafsiran berbeda dari narasi arus utama tentang budaya, agama, dan perempuan”.
Tradisi dan Benturan Perubahan
Film pendek pertama yang diputar adalah Tarek Pukat (2021), film dokumenter yang disutradarai oleh Muhammad Ammar Roofif ini menceritakan kehidupan nelayan di pesisir pantai yang menggantungkan hidup dari mencari ikan. Teknik yang biasa digunakan nelayan untuk menangkap ikan adalah dengan pukat, dalam budaya Aceh dikenal dengan istilah tarek pukat. Teknik tersebut telah mengakar lama dan menjadi bagian tradisi. Pukat sebagai alat untuk menangkap ikan dinilai tidak berbahaya bagi lingkungan sekitarnya. Tradisi ini juga menguatkan kebersamaan yang terjalin di antara para nelayan. Kesabaran dan semangat para nelayan dibutuhkan agar hasil tangkapan dapat ditarik sepenuhnya. Tarek pukat merupakan cerminan gotong royong, nilai tradisi masyarakat Aceh.
Film pendek berdurasi 21 menit ini berupaya menampilkan kehidupan nelayan kecil yang perlahan terganggu dengan kehadiran nelayan dengan kapal-kapal besar. Nelayan-nelayan kecil menyebut kapal berkapasitas besar ini sebagai nelayan berlampu, sebab beroperasi pada malam hari dengan lampu. Salah satu nelayan kecil beranggapan usaha mereka selama ini sia-sia, sebab nelayan besar memiliki backing yang kuat. Nelayan besar terkadang beroperasi sampai laut dangkal, sehingga mengurangi ikan-ikan yang ada di daerah tersebut. Akibatnya nelayan kecil hanya mendapatkan sedikit ikan.
Ada upaya penindasan, perampasan, dan penaklukan wilayah yang dilakukan oleh nelayan besar memberikan dampak buruk bagi ekosistem laut. Nelayan besar menggunakan pukat harimau yang menggasak habis biota dasar laut. Kehadiran nelayan besar merugikan dua hal sekaligus, nelayan kecil dan lingkungan sekitar itu sendiri. Film dokumenter pendek yang menyajikan sudut pandang para nelayan kecil ini menyingkap sisi lain modernisme. Kehadirannya ternyata turut merampas hak masyarakat kecil dan mengganggu berlangsungnya ekosistem sekitar.

Perubahan zaman mempengaruhi ranah publik dan juga keluarga. Film Ibu (2021), film pendek produksi Padang Panjang yang disutradarai oleh Rici Viondra ini memperkenalkan penonton pada kedatangan keluarga kecil ke rumah Ibu yang semula tinggal sendiri. Rasa sepi yang dirasakan ibu langsung terasa di dalam rumah. Kamera menyoroti tembok kusam, perabotan reot, dan barang-barang jadul yang menghiasi rumah memberikan kesan bahwa Ibu lama tinggal sendiri di rumah tersebut. Bahkan mungkin hampir separuh usianya.
Kedatangan anak laki-laki, menantu, dan cucu Ibu memberikan secercah kebahagiaan. Anak, diperlihatkan bersikap acuh tak acuh pada Ibu. Tradisi Minangkabau populer memuliakan perempuan. Di luar daerah ini, kita akrab dengan nasihat memuliakan sosok ibu lantaran jasanya yang tak terhingga. Namun, Ibu di film ini nasibnya berbeda. Saat anak berniat untuk menjual rumah yang ditempati Ibu, saya merasakan haru. Ekspektasi awal yang terbangun saat melihat judul film mengecoh persepsi saya tentang hangat dan kasih sayang keluarga dalam tradisi Minangkabau. Film pendek ini ternyata menyajikan cinta Ibu yang ditunjukkan lewat kepasrahan dan keikhlasannya menerima keputusan sang anak.
Masyarakat Minangkabau dengan sistem kekerabatan matrilineal umumnya mementinkan keturunan dari garis ibu. Keistimewaan yang dimiliki oleh perempuan Minangkabau salah satunya adalah terkait hak properti seperti rumah. Alih-alih berusaha untuk memiliki rumah, laki-laki dalam adat Minangkabau bertugas untuk melindungi harta tersebut. Pergeseran posisi perempuan Minang di Sumatera Barat yang terekam dalam Ibu ini barangkali yang cerminan kondisi Minangkabau hari ini.
Tarek Pukat dan Ibu menyodorkan perubahan tradisi dan adat istiadat yang terjadi dalam masyarakat Aceh dan Padang Panjang.

Upaya Memaknai Pertentangan
Setiap kali saya gelisah, saya selalu berusaha menghubungkannya dengan kecamatan kecil nan sumpek, tempat saya mencari ilmu, namanya Ciputat. Rasa benci tapi cinta dengan Ciputat inilah yang barangkali membuat saya banyak memaklumi dan memahami perasaan karakter Bapak dalam film Semua Karena Cinta (2021).
Film pendek garapan Beni Arona ini menceritakan keluarga pendatang dari Medan yang memilih untuk menetap di Aceh sejak peristiwa tsunami 2004 merenggut nyawa Ibu. Film ini mengambil sudut pandang sang anak, Alfi, yang menolak untuk tetap tinggal di Aceh lantaran trauma peristiwa tsunami akan kembali terjadi. Penonton diajak turut merasakan betapa Aceh sudah tidak lagi menjadi tempat yang menyenangkan untuk Alfi. Baginya yang tersisa dari Aceh adalah kegundahan, pertentangan, dan ketakutan yang tiada habis. Sebagai penonton, mudah untuk memberi komentar betapa pentingnya komunikasi bapak dan anak. Pada akhirnya proses penerimaan Alfi terhadap pilihan bapak beriringan dengan penerimaan Alfi terhadap Aceh dengan segala hiruk pikuknya.

Isu tentang pertentangan hadir dalam bentuk lain dalam Semua Karena Cinta, Menyalak (2021) yang menggambarkan dilema antara agama dan tradisi. Film dokumenter asal Padang Panjang yang disutradarai oleh Rere dan Reza ini secara garis besar menceritakan tradisi berburu babi hutan dalam masyarakat Minangkabau. Tradisi unik yang disebut sebagai berburu kandiak atau babi hutan ini dilakukan untuk membasmi hama babi yang merusak tanaman. Aktivitas memburu babi hutan ini juga dianggap sebagai bentuk olahraga yang dapat menyehatkan tubuh. Menariknya, film dokumenter ini menyuguhkan dua elemen yang saling bersinggungan dalam masyarakat Minangkabau, yakni agama dan tradisi.
Penonton diberikan sudut pandang masyarakat tradisi dan diberikan pula sudut pandang tokoh agama. Alih-alih menutup rapat-rapat tradisi atau agama, kita diperlihatkan masyarakat tradisi yang mulai progresif terhadap ajaran-ajaran Islam. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya segelintir pertanyaan yang diajukan oleh sekelompok masyarakat tradisi terkait hukum memelihara anjing dalam Islam. Kemunculan pertanyaan tersebut dapat ditafsirkan sebagai bentuk keterbukaan pikiran masyarakat tradisi terhadap nilai-nilai agama Islam.
Menyalak menutup program Indonesia Raja 2022: Aceh dan Padang Panjang dengan sajian yang solid. Keempat film pendek dalam program ini, dapat kita lihat sebagai representasi masyarakat Aceh dan Padang Panjang memaknai tantangan zaman, yang tidak selalu dimaknai dengan kobaran semangat berapi-api. Ada kalanya hilang arah, putus asa, namun juga ada upaya-upaya berdamai, beradaptasi, dan menerima dengan lapang. Satu hal yang tidak luruh dari tokoh-tokoh dalam keempat film ini adalah kemampuan untuk tidak menyerah.
Discussion about this post