Di Sumbawa pernah ada bioskop. Itu berarti pernah terjadi kegiatan apresiasi terhadap film di kampung halaman saya. Menurut cerita ibu saya, bioskop seperti magnet yang menarik kaum muda Sumbawa era 1970-an untuk datang, membeli tiket, dan menonton film-film India. Saya sempat heran kenapa hanya film India yang secara spontan disebut oleh ibu saya, bukannya menyebut salah satu judul film Indonesia. Alasannya sederhana, karena pada saat itu, akses terhadap film India lebih mudah. Bagi pemilik bioskop, yang paling penting adalah dengan memutar film-film India, jaminan keuntungan sudah pasti ditangan karena penontonnya selalu ramai. Namun, bukan berarti film-film Indonesia tidak laris di Sumbawa. Laris juga, tapi penontonnya tidak sebanyak penonton fanatik film-film India. Ketika saya tanya tentang film Indonesia dan bintang film yang paling diingatnya, ibu saya dengan spontan menjawab “Pengantin Remaja” dengan bintang Sophan Sophiaan dan Widyawati. Pengalaman terakhir ibu saya menonton film, saat ia mengandung anak ketiganya, sekitar pertengahan tahun 1983. Setelah itu bioskop tidak pernah lagi ia kunjungi karena tersibukkan dengan urusan rumah tangga.
Saya sendiri pernah nonton beberapa film di bioskop paling hits di kota saya bernama “Sumbawa Theater”. Waktu sekolah dasar, preferensi film saya adalah film silat yang diangkat dari sandiwara radio yaitu “Saur Sepuh”. Tentu saja selain film propaganda ala Orde Baru yang harus kita tonton yaitu “Pengkhianatan G-30-S/PKI” dan “Pemberontakan Sisa-sisa PKI di Blitar Selatan”. Beranjak remaja sekitar tahun 1997, film berharga yang saya tonton saat itu adalah “Romeo and Juliet”-nya Leonardo DiCaprio dan Claire Danes. Walau film tersebut baru kita nikmati setahun kemudian dari pemutarannya di Jakarta. Film-film lainnya adalah film sekelas “Cewek Metropolis”, film semi bokep versi Indonesia. Bukan karena saya suka, tapi karena nggak ada pilihan lain. Saya dan sahabat ingin punya pengalaman ke bioskop tapi nggak ada pilihan film, jadilah kami menonton film dengan kualitas buruk. Beberapa tahun kemudian satu per satu bioskop di Kabupaten Sumbawa tutup. Penyebabnya karena tidak ada penonton. Orang Sumbawa mulai beralih ke teknologi baru, VCD Player yang bisa mereka putar di rumah masing-masing. Menurut cerita beberapa orang, di Sumbawa sempat ada beberapa bioskop terutama di kecamatan-kecamatan yang cukup besar yaitu Sumbawa, Utan, Alas, Taliwang, dan Empang. Semua kini telah berubah fungsi menjadi gedung serbaguna atau mall. Di saat yang sama, VCD-VCD film maupun musik, kebanyakan bajakan banyak sekali beredar dan ditonton oleh anak muda di Sumbawa, termasuk saya.
Pasca Soeharto lengser, Mei 1998, saya hijrah ke Yogyakarta. Kota ini memberikan pengaruh positif terutama preferensi tentang film baik dari sisi produksi, distribusi, dan apresiasi. Selain kuliah, saya ikut beberapa kegiatan yang berkaitan dengan pertukaran pengetahuan termasuk film seperti Klub Menonton (Rumah Sinema), Mari Menonton (Kinoki), dan beberapa workshop produksi film dokumenter yang diselenggarakan oleh In-Docs. Berinteraksi dengan para pembuat film pendek di awal debut mereka sungguh menyenangkan. Akhirnya, saya membuat film dokumenter pertama saya “Beauty is Pain” pada tahun 2005 setelah saya ikut “Kick Start!”, workshop produksi film dokumenter yang diselenggarakan oleh In-Docs dan Rumah Sinema.
Beberapa bulan kemudian saya mengikuti Eagle Award Documentary Competition (EADC) yang diselenggarakan oleh In-Docs dan Metro TV. Dari kompetisi ini lahirlah film “Joki Kecil” yang memenangkan film dokumenter terbaik dan favorit pemirsa pada tahun 2005.
Ingin berbagi pengalaman tentang film dan pengetahuan menonton bersama anak muda di Sumbawa adalah motivasi terbesar saya untuk pulang kampung pada tahun 2013. Sebelum benar-benar memutuskan pulang, saya pernah beberapa kali menyelenggarakan acara nonton bareng dengan audiens utama para remaja. Antusiasme mereka sangat luar biasa karena menonton film-film alternative adalah pengalaman baru bagi mereka. Berangkat dari hal ini, saya dan beberapa teman sepakat untuk membentuk Sumbawa Cinema Society (SCS) pada tahun 2014. Seiring dengan berjalannya waktu, SCS menjadi organisasi yang sangat aktif dalam urusan pemutaran film di kota Sumbawa Besar. Pelajaran yang dapat dipetik dari hal ini adalah kami menyadari bahwa diperlukan sebuah jaringan kerja yang luas untuk berbagi pengalaman menonton.
Motivasi inilah yang mendorong saya untuk mengikuti program Indonesia Raja 2017. Memberikan pengalaman menonton dan mengapresiasi karya film adalah hal yang ingin saya lakukan di Sumbawa. Saya tidak bisa sendirian menyelenggarakan proses bertukar pengetahuan melalui film ini, sehingga saya butuh rekan-rekan yang mendukung saya. Melibatkan banyak orang untuk sebuah misi dan cita-cita bersama sudah pasti butuh kemampuan manajemen yang bagus. Indonesia Raja 2017 menawarkan sebuah kerjasama yang menurut saya akan sangat bermanfaat bagi saya pribadi dan juga SCS. Potensi yang kami miliki saat ini adalah berkolaborasi dengan organisasi anak muda lainnya seperti teater, music etnik, dan komunitas Sumbawa street artists. Bersama mereka kami ingin membangun sebuah jaringan kesenian yang menjadi wadah para anak muda di Sumbawa untuk mengekspresikan talenta yang mereka miliki. Dampak untuk komunitas, kami harapkan program Indonesia Raja 2017 ini akan menjadi wadah untuk mengapresiasi film lokal dari Sumbawa, sekaligus mengenal dan mengapresiasi film-film pendek lokal dari berbagai daerah di Indonesia yang masuk dalam jaringan ini dan film-film pendek internasional.
Ditulis olehYuli Andari Merdikaningtyas, Sumbawa Cinema Society (SCS)