Sewaktu kecil, momen mati listrik merupakan peristiwa yang tidak hanya menyebalkan namun juga menyenangkan. Selain karena kegerahan mengharuskan kami menggelar karpet di teras, hal menyenangkan lain adalah dapat bermain dengan lelehan panas lilin yang jatuh ke alas serta membuat berbagai bentuk bayangan dengan tangan pada tembok yang terkena pantulan cahaya dari lilin. Sekelebat kenangan akan peristiwa tersebut muncul begitu saja di kepala saya usai menyaksikan film pendek Candlelight (2022) karya Polen LY. Film tersebut merupakan satu-satunya film pendek dengan format vertikal yang pernah saya tonton. Tidak sampai di situ saja keunikan lain terletak pada durasinya yang setidaknya menurut saya terbilang sangat singkat bila dibandingkan dengan film pendek lain yang pernah saya saksikan. Candlelight hadir dengan durasi kurang lebih tiga menit.
Dengan adanya durasi tersebut, alih-alih menyukarkan penonton, Candlelight hadir begitu lugas dan sederhana. Gagasan pembuat film dimaksimalkan dalam waktu tiga menit, dan sebagai penonton, saya dapat mengatakan gagasan yang berusaha disampaikan berhasil dan penonton memahami maksud film tersebut. Satu hal yang pasti adalah, film ini tidak hadir dengan ide-ide yang besar, berjarak, atau sukar dengan kita dan saya khususnya sebagai penonton awam film pendek. Film ini juga tidak berusaha menyampaikan gagasan-gagasan luar biasa di luar akal kepala manusia. Sebaliknya, alih-alih begitu, film ini menghadirkan ide yang sederhana. Baik judul film maupun elemen-elemen yang tersaji di dalamnya hanya ingin berbicara dan terkait soal lilin. Meski lebih jauh daripada sekadar lilin, kita dapat melihat dan menafsirkan sebuah “lilin” dalam kaca mata pemaknaan yang lebih lapang lagi.
Berbicara soal durasi dan ide sederhana, saya rasa hal tersebut berkaitan erat dengan bagaimana Candlelight menyajikan filmnya dalam format vertikal. Frame yang menentukan gerak dan ruang pemain dalam format ini barangkali yang menjadikan Candlelight disajikan dengan durasi yang ringkas dan lugas. Meski begitu, format vertikal yang umumnya dapat lebih mudah jika disaksikan di layar ponsel, membuat Candlelight memiliki kekhasannya tersendiri, yakni mudah dijangkau dan fleksibel. Format yang aksesibel dan fleksibel tersebut diiringi dengan jalan penceritaan yang sederhana, memungkinkan Candlelight untuk dapat dinikmati semua orang tidak terbatas ruang dan waktu.
Di awal film, kita dapat langsung melihat seluruh pemain hadir dalam satu layar. Dalam ruangan gelap yang hanya bercahayakan lilin, masing-masing dari mereka membaca buku. Konflik tiba ketika salah satu dari mereka tidak mempunyai lilin sebagai penerang membaca buku dan dua dari orang dewasa lainnya menolak berbagi lilin dengan orang tersebut. Namun, pertolongan hadir dari seorang perempuan kecil yang mengajaknya untuk sama-sama membaca buku dengan lilin yang seadanya.
Kesederhanaan film bergerak dengan ide yang kurang lebih sama hingga akhir. Sesaat setelah film berakhir, saya mempertanyakan, dari segala aktivitas, kenapa harus membaca? Apa yang sedang berusaha disentuh oleh pembuat film dengan aktivitas membaca dan apa hubungannya dengan lilin dan kegelapan? Saya mencoba mengurai benang kusut di kepala perlahan-lahan. Representasi kebaikan dari anak perempuan kecil yang membantu orang-orang dewasa di sekitarnya untuk sama-sama membaca buku merupakan gambaran bagaimana anak kecil yang suci dan polos mengajak orang dewasa (yang di awal dapat kita lihat digambarkan dengan penuh egoisme). Serupa gambaran umum tentang bagaimana buku dengan segala pengetahuan di dalamnya dapat menghindarkan manusia dari hal-hal negatif.
Selain itu pula, setelah mengingat-ingat kembali dan mencoba menghubungkan yang satu dengan yang lain, saya mengira bahwa lilin di dalam Candlelight dapat bermakna sebagai penghalau kegelapan, kebuntuan, kesesatan, apapun itu. Sama halnya dengan buku yang kerap dikatakan sebagai jendela dunia atau sumber dari segala pengetahuan. Maka cahaya dalam lilin merupakan penerang, penerang untuk jiwa dari segala kegelapan dan ketidaktahuan.
Selanjutnya dalam Candlelight, kita akan melihat bagaimana solidaritas menjadi sesuatu yang bisa membuka jalan bagi kebuntuan. Idenya seringkali kita dengar, gotong royong. Namun kenyataannya, tidak semua orang punya memiliki akses. Apalagi akses akan pengetahuan. Oleh karenanya film ini menjadi semacam metafora sederhana tentang aksesibilitas dan pengetahuan.
Hemat saya selepas menyaksikan Candlelight, meski lilin sudah habis terbakar, fungsinya tidak lantas begitu saja hilang. Lilin menjelma hal lain; pengorbanan, manfaat, kebaikan, perubahan, dan barangkali semangat baru.
Discussion about this post