Saat membayangkan ruang urban, terlintas gambaran gedung-gedung perkotaan yang berdiri di antara pepohonan di sepanjang jalan, serta orang-orang yang sibuk menjalani rutinitas mereka di dalamnya. Kehidupan yang mereka jalani bergantung pada ruang yang hadir, membentuk persepsi tentang masa kini dan masa depan.
Pemikiran tersebut muncul setelah menonton program film pendek S-Express 2024: Singapore yang diprogram oleh Leong Puiyee. Tepat pada bulan Mei silam, saya melakukan perjalanan ke Singapura selama tiga hari untuk keperluan studi kampus. Hal yang saya amati situasi ruang urban Singapura begitu ramai dan padat di mana orang saling berlalu-lalang dengan sigap. Selagi memperhatikan sekeliling, saya merasa bahwa segalanya berlalu begitu cepat, tanpa ada jeda.
Apakah ritus seperti kontemplasi, yang umumnya membutuhkan ketenangan, masih bisa dilakukan? Program S-Express 2024: Singapore memberikan perspektif segar tentang bagaimana ruang dan psikis manusia saling bertaut di tengah gegap gempita Singapura. Film-film dalam program ini membawa saya jalan jalan. Melihat bagaimana filmmaker asal Singapura ini memaknai ruang urban dengan memadukannya melalui penggambaran yang variatif.
Ruang pertama yang saya masuki dalam film ini adalah kolam renang melalui Chomp It! (2023) garapan Mark Chua dan Lam Li Shuen. Kolam dalam benak saya adalah ruang publik yang menyenangkan, dan menjadi tujuan khas vakansi masyarakat kota. Namun film ini mematahkan ekspektasi saya, menyeret imajinasi ke dalam kontradiksi ruang-ruang yang tampak menyenangkan namun menyimpan realitas brutal. Ketika memikirkan kolam renang, kita membayangkan keceriaan dan tawa, namun Chomp It! menampilkan sisi sebaliknya. Karakternya hidup dalam kepuasan semu, sementara di baliknya terjadi kompetisi sengit demi imbalan. Realitas ini menggambarkan individu yang bersaing di tengah ilusi kehidupan yang berwarna-warni.
Film pendek selanjutnya berlatar di antara perkebunan dan jalan raya yang cukup legendaris sejarahnya, menyajikan kehidupan sekaligus kematian. Spirited City (2023) yang disutradarai oleh Ang Siew Ching memantik penonton untuk menyimak lapis demi lapis frame yang tumpang tindih. Usaha tersebut merangkai pernyataan artistik dan kontekstual mengenai memori suatu ruang. Film ini menggambarkan adanya harmoni antara spiritualitas alam gaib dan kehidupan modern Singapura di abad ke-21.
Ang Siew menunjukkan bahwa kehidupan modern dan pembangunan ruang urban tidak selalu menghapus yang spiritual. Di sepanjang Kheam Hock Road, terdapat lokasi pemakaman yang berdampingan dengan alam, menjadikan ruang urban sebagai jembatan menuju kehidupan spiritual. Sebelumnya, ada rencana untuk menggali makam-makam ini demi pembangunan jalan, yang berisiko menghapus memori sejarah Kheam Hock Road dengan beton dan aspal. Namun, dengan dibatalkannya proyek tersebut, Spirited City menggambarkan dinamika antara melestarikan memori masa lalu serta menghormati roh nenek moyang, atau mengorbankannya demi mobilitas masyarakat urban.
Beyond the Other Shore (2023) arahan Pek Jia Hao dan Ang Jia Jun menceritakan rutinitas seorang lansia yang bekerja sebagai teknisi di antara mesin cuci yang berputar di penatu. Film ini menggambarkan bagaimana menua mempengaruhi keinginan untuk tetap mandiri, fungsional, dan tidak merepotkan keluarga. Tokoh utamanya berjuang untuk bertahan meskipun usia menjadi penghalang. Ketika cita-cita sulit dicapai dan keterbatasan semakin nyata, ia menyadari bahwa kematian adalah kemungkinan yang tak terhindarkan di masa depan.
Saat membahas ruang urban yang inklusif, penting untuk mempertimbangkan lansia sebagai salah satu penerima manfaat. Standar minimumnya adalah memastikan mereka merasa nyaman dan aman dalam beraktivitas. Inklusivitas ini memberikan kesempatan bagi lansia untuk menjalani rutinitas dan mengekspresikan diri. Pada titik tertentu, ada keinginan bagi mereka untuk tetap terhubung dengan ruang yang melibatkan mereka, termasuk menjalani pekerjaan kasar di usia senja. Meskipun anaknya mendorongnya untuk berhenti, tekadnya untuk bekerja tetap kuat, karena rutinitas itu memberinya rasa hidup.
Selanjutnya, saya memasuki keramaian di Peninsula Plaza Market seperti yang ditunjukkan melalui Sundays in Between (2023) karya Ye Thu. Kesibukan yang terlihat dalam film ini semakin asyik untuk disimak saat audio percakapan-percakapan yang tumpang tindih turut meramaikan suasana. Namun, esensi suara ini lebih dari sekadar memberi suasana; lambat laun, penonton sadar bahwa percakapan-percakapan tersebut terdengar karena tokoh utama menguping di balik itu semua. Melalui dirinya, penonton dapat mengetahui rotasi kehidupan para pengunjung melalui cerita-cerita yang ia dapat lewat menguping.
Soundscape yang membentuk ruang urban di Peninsula Plaza Market terdiri dari percakapan yang tumpang tindih di tengah hiruk-pikuk aktivitas jual beli. Keunikan soundscape ini memberikan makna khusus bagi ruang urban tersebut. Ruang ini dipenuhi oleh jutaan orang dengan cerita masing-masing, dan terkadang, melalui percakapan mereka, kita dapat mengintip kehidupan orang lain yang mungkin memiliki kesamaan dengan pengalaman kita sendiri atau mengungkap kisah tak terduga yang biasanya kita temui dalam fiksi.
Saya merasa terhubung dengan film ini karena sering secara tidak sengaja mendengarkan percakapan orang lain, yang kemudian memberi saya rasa lega bahwa kita tidak sendirian dalam menghadapi kehidupan. Lucunya, kita bisa merasa dekat dengan orang asing hanya karena percakapan mereka menggema dengan apa yang kita alami.
Terakhir saya seperti dibawa masuk ke sebuah rumah yang tenang dari luar namun riuh di dalam. Perasaan khas “rumah” yang dibangun keluarga urban lewat film I look into the mirror and repeat to myself (2023) arahan Giselle Lin. Mendengarkan cerita orang asing memang menyenangkan, tetapi sulit untuk benar-benar mendengar kisah atau perspektif dari anggota keluarga kita sendiri, terutama saudara kita sendiri. Ruang urban menyajikan dinamika yang berbeda-beda dan unik bagi para manusia yang menjalaninya termasuk di sistem keluarga.
Kultur patriarkis mendorong adanya kompetisi antar perempuan, termasuk antara persaudaraan sesama perempuan dalam lingkup keluarga. Dinamika girlhood dalam keluarga yang dilingkupi oleh trauma generasionak terasa rumit untuk diterjemahkan dengan kata-kata. Dibutuhkan empati dan ketulusan untuk dapat merefleksikan apa yang dirasakan oleh saudari kita selama ini.
Kehangatan film pendek ini disampaikan melalui karakter-karakter yang mencerminkan nama masing-masing saudari. Xuan Yi, si sulung, melambangkan kebahagiaan, sementara Xuan Heng dikenal karena ketekunan dan konsistensinya. Xuan Ting bersinar dan cantik, Xuan Ying brilian, dan Xuan Qing, si bungsu, melambangkan hari yang baik. Meskipun kepribadian mereka berbeda, kehidupan mereka saling terjalin dan mempengaruhi cara mereka menghadapi hidup secara dewasa. Momen-momen traumatis dari masa lalu justru mempererat hubungan mereka dan membantu memutus siklus trauma generasional. Pengalaman mereka memberikan dukungan dan rasa tidak sendirian, baik untuk perempuan di Singapura maupun di Indonesia.
Program ini akhirnya menunjukkan bahwa meskipun ruang urban Singapura kecil, padat, dan cepat, ia masih bisa menjadi tempat untuk kontemplasi dan refleksi di tengah kebisingan. Program ini menjalin ruang sebagai bentuk memahami masa lalu, masa kini, dan masa depan. Proses ini memungkinkan kita untuk berempati, meski ada tantangan dalam mengatasi keterasingan dan memahami orang lain lebih dalam. Setelah menonton program ini, saya mendapatkan perspektif baru tentang Singapura. Meskipun terkenal dengan stabilitas dan kesuksesannya, program S-Express memberikan pandangan alternatif yang lebih humanis tentang makna ruang dan eksistensi di Singapura yang sibuk dan ramai.
Discussion about this post