“Akar kekerasan berbasis gender (KGB) adalah ketimpangan relasi kuasa antara gender pelaku dan korban sebagai hasil dari sistem patriarki”, ujar Dhyta Caturani, pendiri dari PurpleCode Collective. Dhyta adalah salah satu pembicara dalam sesi webinar Kompetisi dan Produksi Film Vertikal bertema KGB yang diselenggarakan oleh Minikino bekerja sama dengan Internews dan FilmAid. Pada sesi webinar hari Jumat, 19 Juli 2024, Dhyta memaparkan bagaimana akar dan faktor penyebab KBG, untuk pembekalan bagi para peserta yang mendaftar. Selain Dhyta, ada juga Bani Nasution, I Made Suarbawa, dan Kiki Febriyanti yang juga menjadi pembicara sekaligus mentor dalam kompetisi ini.
Menurut Eric Sasono dari Internews Indonesia, seperti dilansir dari Tatkala, tujuan dari kompetisi ini adalah mendorong para pembuat film untuk mengangkat cerita-cerita yang sering kali tersembunyi atau diabaikan. Eric juga mengatakan kompetisi ini diharapkan dapat mengedukasi penonton tentang dampak dan cara mengatasi kekerasan berbasis gender.
Dikarenakan tema kompetisi dan produksi merupakan isu struktural yang serius, maka diadakan sebuah webinar yang mengeksplorasi lebih lanjut tema KGB ini. Menurut saya, Minikino mengambil langkah yang benar dalam membuat sebuah sesi pembekalan ini. Ibaratnya, apabila kita membuat suatu hal, maka ada tanggung jawab besar yang diemban kemudian. Tidak asal hanya menyelenggarakan acara dan menuntut hasil. Terbaiknya, sesi webinar ini kemudian menjadi salah satu bentuk tanggung jawab Minikino dengan menciptakan ruangan edukasi untuk penciptaan karya yang lebih baik dan juga lingkungan yang aman untuk semuanya.
Kekerasan Berbasis Gender
Materi dari Dhyta berfokus pada pemaparan berlanjut dan komprehensif mengenai tema KBG. Dhyta memberikan semacam hipotesis. Mengajak para audiens webinar menjawab apakah itu sebuah kekerasan berbasis gender atau bukan. Sebagian besar telah menjawab dengan benar, dan mungkin sudah tidak asing mengenai contoh kekerasan berbasis gender dikarenakan budaya patriarkis yang mendarah daging di sekitar kita.
Dhyta pun tak luput mengingatkan bahwa KGB terjadi juga di platform online. Bahkan dalam pernikahan yang terpatri dalam pikiran banyak orang, kewajiban perempuan sebatas memenuhi kebutuhan sexual. Sehingga pantang bagi perempuan menolak untuk memenuhi kebutuhan seksual pasangannya.
Selain itu, Dhyta juga menyinggung syarat bagi filmmaker yang ingin mengangkat pengalaman orang lain ke layar ataupun media publik lainnya. Dhyta menggarisbawahi bahwa consent tidak berhenti ketika izin untuk penceritaan ulang sudah didapatkan, keterlibatan pemilik pengalaman hidup yang sedang diceritakan dibutuhkan dalam setiap proses produksi.
Di saat yang sama, saya sendiri teringat dengan film Vina: Sebelum 7 Hari (2024) garapan Anggy Umbara. Film horor kontroversial yang sempat dikritik masyarakat karena dinilai terlalu vulgar dalam menayangkan adegan rekonstruksi dengan apa yang terjadi di dunia nyata. Ketika rumah produksi film tersebut dipertanyakan tujuannya terkait adegan tersebut, jawaban mereka sekadar agar film terasa nyata sehingga pesan dari film tetap tersampaikan.
Saya membayangkan bagaimana proses perizinan ketika korban yang diceritakan dalam film, sayangnya telah meninggal dunia. Apakah persetujuan untuk pembuatan film ini cukup hanya berasal dari keluarga saja kah? Pertanyaan moral seperti itu muncul di kepala saya. Kesempatan untuk mendiskusikan dan mengonfirmasi metode serta proses penceritaan ulang pengalaman hidup sudah sepenuhnya hilang. Ini adalah hal krusial dan merupakan hak dasar korban sebagai pemilik pengalaman.
Film Vertikal Untuk Advokasi
Berkantong tujuan untuk menjamah sebanyak-banyaknya khalayak umum, film vertikal dipilih menjadi format ketentuan dalam kompetisi kali ini. Bani Nasution adalah seorang sutradara dan penulis naskah yang dikenal lewat film pendek Dua Ikan dan Sepiring Nasi (2021). Bani memperlihatkan beberapa karya film pendek vertikal, salah satunya berasal dari sutradara kondang, Garin Nugroho, dalam film pendeknya yang dibuat untuk keperluan marketing OPPO yang berjudul Siklus. Film vertikal nyatanya bukan sebuah hal yang baru dan merupakan variasi lain dari portraiture. Saya sendiri seringkali menikmati film vertikal, akhir-akhir ini ada yang dinamakan ReelShorts juga. Format TV Series yang disesuaikan untuk kaum short attention span—yaitu saya sendiri—yang setiap episodenya memiliki maksimal durasi 15-20 detik.
I Made Suarbawa, perwakilan Minikino sekaligus mentor, menjelaskan bahwa dengan perkembangan zaman, masyarakat sangat erat dengan smartphone, dan media sosial seperti TikTok dan Instagram, format vertikal kini menjadi narasi visual yang dinilai praktis dan kian populer. Kebiasaan kita dalam melakukan doom scrolling di media sosial mematenkan hal tersebut. Maka munculah film vertikal sebagai pilihan kesekian untuk menjangkau massa lebih banyak.
Terakhir, sesi dari Kiki Febriyanti, Kiki adalah pembuat film yang berfokus pada tema gender. Dia menjelaskan pentingnya melibatkan representasi perempuan di balik layar. Asumsi saya, dengan tema KBG yang diminta untuk pembuatan film vertikal ini, kemungkinan besar akan banyak berasal dari sudut pandang dan pengalaman pribadi perempuan atau kelompok minoritas gender.
Saat ini, tema dan peran film tentunya selain berfungsi untuk advokasi, juga untuk mendorong adanya perubahan pandangan masyarakat terhadap gender serta kekerasan. Pada praktiknya, representasi perempuan di industri film itu sendiri masih sangat minim, terkesan eksploitatif, serta melanggengkan stereotip pada perempuan.
Saat sesi selesai saya merasa webinar ini memberi bekal yang sangat berharga untuk saya pribadi yang diberi kesempatan untuk mengobservasi sesi ini. Saya sangat menanti bagaimana para peserta akhirnya memproduksi film untuk Kompetisi Film Vertikal bertema KBG dengan format yang populer dan mudah diakses. Terlebih fokus pada keterlibatan perempuan di balik layar, membuat kompetisi ini tidak hanya berfungsi sebagai sarana advokasi tetapi juga sebagai upaya untuk mengubah pandangan masyarakat tentang gender dan kekerasan. Minikino, bersama dengan para mentor dan pembicara, telah memberikan ruang edukasi yang krusial untuk menciptakan karya yang lebih bertanggung jawab dan lingkungan yang lebih inklusif.
Discussion about this post