Bayangkan skenario ini: kamu sedang dalam kondisi emosional yang rentan, lantas untuk memperbaiki suasana hatimu, kamu memilih untuk menonton film di bioskop. Kamu memilih satu film sekenanya, sedikit berharap bahwa ekspektasimu bisa teraih, sekalipun sedikit. Namun, apa yang kamu dapatkan justru sebaliknya. Alih-alih merasa dipeluk hangat, perasaanmu justru dilempar asal-asalan, dijejal, dan sepenuhnya tersendat! Serangkaian adegan eksplisit tanpa aba-aba trigger warning di mula membuatmu linglung dan tak ada yang bisa meredakannya selepas keluar dari bioskop, dengan emosi yang belum tertata.
Sayangnya skenario tadi bukan teks fiksional semata, melainkan juga cerita banyak orang, salah satunya saya. Pengalaman tadi saya rasakan bersama seorang teman ketika menonton suatu film lokal yang membawa isu trauma kekerasan seksual. Meski bukan penyintas kekerasan, perasaan tak mengenakkan membuat pengalaman menonton saya betul-betul tak nyaman. Sembari mengeluh dan mengumpat, saya dan teman saya pun ke warmindo persis di sebelah bangunan bioskop. Kami duduk, perlahan memproses apa yang baru saja kami alami.
Barangkali memang tidak ada upaya aftercare yang lazim ditemui selepas menonton film di bioskop dan/atau festival film, tetapi saya pun bertanya-tanya: adakah ruang yang mengupayakan untuk merawat audiens-nya, tidak hanya sebelum dan selama pemutaran berlangsung, tetapi juga selepas pemutaran filmnya? Apakah ini semata jadi beban dan tanggung jawab tiap individu, dan apabila bukan tanggung jawab sendiri, harus ke manakah kita?
Tulisan ini berpijak dari catatan saya selama mengikuti sesi guest speaker dalam rangkaian Minikino Hybrid Internship for Festival Writer bersama Moritz Lehr (2/5) dan Ben Thompson (15/5) pada bulan Mei yang lalu. Moritz bekerja sebagai kurator program kompetisi dokumenter di interfilm Berlin dan dalam perjumpaan daring bersamanya kami membicarakan implementasi trigger warning dalam festival. Dua minggu setelah perkenalan tadi, kami berbincang dengan Ben yang menduduki posisi VP, Shorts Programming Festival Film Tribeca perihal pengalamannya menyusun program penayangan dalam festival. Dari sana, saya merefleksikan bagaimana praktik perawatan diri dan festival dalam ekosistem sinema secara menyeluruh bisa diupayakan, lebih-lebih dilaksanakan secara berkesadaran dan berkelanjutan.
Menciptakan Ruang Aman
Moritz membuka percakapan dengan pernyataan yang cukup menggigit: Film pendek memiliki potensi besar untuk menarik perhatian penonton. Akan tetapi di saat yang sama, film pendek juga berpotensi menimbulkan trauma ulang, memicu atau menciptakan situasi yang dapat menimbulkan rasa tidak nyaman, bahkan problematis bagi individu di antara penonton.
Dalam kondisi demikian, trigger warning dan content warning posisinya jadi esensial. Ia jadi introduksi, semacam mencicip potongan buah mangga ketika akan membelinya di kedai buah pinggir jalan atau ketika mencium tester parfum sewaktu berjalan di mal. Baik trigger warning maupun content warning, keduanya sama-sama bertujuan untuk menjadi peringatan. Trigger warning secara spesifik menandai film dengan konten yang dapat memicu respons trauma pada individu dengan PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder) atau kondisi lainnya yang berkaitan dengan trauma. Di sisi lain, content warning mengacu ke peringatan akan konten film yang berpotensi mengganggu atau menyinggung dan sifatnya lebih umum.
Membubuhkan trigger warning atau content warning dalam informasi sebelum ataupun saat penayangan tak sepenuhnya lepas dari tantangan. Ada potensi spoiler yang mengganggu pengalaman menonton, terlebih jika label trigger warning merupakan plot sentral yang menggerakan narasi film. Akan tetapi, saya pikir tantangan tersebut bisa saja ditanggulangi misalnya dengan memberikan opsi untuk membaca informasi trigger warning bagi audiens yang ingin melihatnya saja. Inisiatif untuk menambahkan trigger warning atau content warning saya kira punya urgensi yang lebih besar guna merealisasikan festival film sebagai ruang aman dan bukan jargon saja.
Akan tetapi upaya menciptakan ruang aman tidak hanya berhenti pada memberi label pada film-film yang dapat memicu respons trauma dan menyinggung. Langkah tadi hanyalah satu dari sekian cara untuk mewujudkan ruang festival yang aman bagi semua orang. Contoh lain, misalnya, sebagaimana Minikino Film Week menyediakan active listeners atau psikolog bagi audiens yang ingin menyampaikan keluh kesah, mengelola emosi, atau sekadar membicarakan apa yang baru saja ditonton.
Posisi festival film dalam menciptakan ruang bersama yang aman, dalam kata lain merawat audiensnya, secara lebih lanjut juga dapat diterjemahkan lewat bagaimana film dirangkai dan dipresentasikan dalam program. Festival film seharusnya mendudukkan dan melihat film melalui bingkai kepekaan sosial, ihwal siapa yang dibicarakan di dalam film, juga siapa yang ingin kita ajak bicara melalui medium film.

Memprogram Festival Selayaknya Memasak untuk Seseorang
Ketika memikirkan mengenai penyusunan program/kurasi pemutaran film pada suatu gelaran festival, metafora yang ada dalam kepala saya adalah menjahit. Merangkai film saya bayangkan layaknya menjahit satu ‘benang’ film dengan yang lain dalam narasi senada hingga menjadi pakaian. Namun, dalam sesi guest speaker bersama Ben Thompson, saya lantas mempertimbangkan perbandingan yang saya gunakan. Barangkali, memprogram festival lebih mirip dengan memasak dan sang pemrogram diposisikan sebagai juru masak. Too many cooks spoil the broth, terlalu banyak kepala dalam suatu tugas maka hasilnya tak akan sempurna.
Selama bekerja untuk Festival Film Tribeca, Ben lebih kurang sudah mengkurasi 13.000 film, dan seturut durasi itu pula kepekaan dan preferensinya dalam merangkai program berkembang. Satu hal yang ia garis bawahi ialah bagaimana seorang pemrogram bisa (dan harus) menemukan nilai suatu film pendek yang berdiri sendiri, sebelum ia tergabung dalam ikatan suatu program. Hal demikian amat berpengaruh dalam pengalaman menonton, tentang bagaimana urutan film disajikan dan juga mengenai informasi ataupun ingatan apa yang audiens bisa bawa setelah menonton. Programmer juga harus cermat dalam mengkurasi film-film yang memiliki kesamaan ataupun perbedaan dan lebih lanjut memberikan sorotan khusus pada narasi-narasi yang dirasa perlu diangkat.
Saya kira amatlah muskil untuk menciptakan menu yang disukai semua orang tanpa terkecuali. Pernyataan dalam spirit yang sama pun disampaikan oleh Ben, yang saya kutip: “One of the hardest thing as a [film] programmer is selecting things that do not necessarily resonate with you.” (Salah satu hal yang paling sulit sebagai pemrogram adalah memilih film yang tak sesuai dengan dirimu).
Di sinilah lantas peran merawat audiens yang dilakukan oleh pemrogram menjadi prominen. Pemrogram yang baik saya pikir dapat melihat audiens sebagai agen yang berkesadaran dengan bagasi pengetahuan dan preferensi yang beragam. Ia akan memasak program sesuai dengan seleranya, tetapi ia tak bisa sepenuhnya melepaskan kerja pemrograman dari khalayak umum yang segera akan menikmatinya.
Menonton film adalah pengalaman subjektif dan kolektif dalam waktu yang sama. Oleh karenanya, pemrogram dapat mempertimbangkan bagaimana penonton (baik dalam pengertian individual maupun komunal) dapat berkoneksi dengan film maupun keseluruhan program, tentunya dalam ruang yang aman. Secara praktikal, Ben memberikan contoh seperti bagaimana seorang pemrogram dapat menguntai film-film yang tidak hanya menonjolkan karakter laki-laki, membuka ruang diskusi mengenai isu-isu marjinalitas, atau film bertemakan keluarga dari berbagai belahan dunia. Sudah barang tentu, upaya perawatan yang demikian juga bisa dibarengi dengan informasi perihal trigger warning sebagaimana yang dibicarakan pada bagian sebelumnya.
Secara lebih lanjut, program penayangan juga menjadi interaksi empatetik. Pemrogram sangat mungkin memilih film yang ia rasa penting untuk dialami, meskipun memiliki konten yang berseberangan dengan nilai yang dianutnya. Akan selalu ada nuansa dan konteks yang pemrogram perhatikan agar masakan akhir berupa rentetan film pendek yang dijahit dapat ‘disantap’ banyak orang.
Merefleksikan Perawatan
Pada akhirnya, pertanyaan (atau permasalahan) yang kemudian muncul ialah, apakah langkah pembentukan ruang aman dengan merawat audiens secara hati-hati tersebut disambut oleh pihak-pihak lain selain penyelenggara? Menonton film, sadar atau tidak, melibatkan kerja-kerja perawatan. Sebagaimana festival beserta pemrogram dan jajaran pekerja budaya di dalamnya merawat audiens festival, begitupun sebaliknya.
Hingga kalimat ini, tulisan ini baru meliputi bagaimana festival merawat audiensnya. Namun, festival apapun secara naturnya tak bisa dilepaskan dari sifat kolaboratif. Ketika kita kembali lagi pada pertanyaan tentang siapa yang bertanggung jawab ketika kita merasa tak nyaman pasca menonton suatu film dalam gelaran festival, ada satu ruang jawaban yang kemudian terbuka. Sekalipun festival sudah menyusun sedemikian rupa cetak biru untuk merawat audiens, apabila gayung tidak bersambut, butuh kerja ekstra keras untuk bisa merealisasikan perawatan optimal untuk semua. Tinggal apakah ruang aman itu menjadi niscaya atau buzzword semata?
Editor: Natania Marcella
Discussion about this post