“Siapa yang terbunuh?” tanya Jacobo.
Ayahnya hanya diam, tak menjawab pertanyaan si anak yang kurang lebih sepantaran siswa taman kanak-kanak. Pertanyaan ini, barangkali memperlihatkan betapa umumnya wacana kekerasan yang hidup di sekitar wilayah penuh kekerasan. Hal tersebut, lantas dihadirkan dengan pendekatan yang berbeda, melalui kehangatan hubungan ayah-anak dalam film pendek Zarzal (Sebastián Valencia Muñoz, 2022).
Kekerasan dan konflik bersenjata menjadi situasi mencekam di Kolombia sejak tahun 60-an. Perdagangan dan budidaya kokain, serta adu kepentingan politik adalah pemicu dari banyaknya kasus pembantaian, penghilangan, penyiksaan, dan kejahatan HAM lainnya. Dengan latar yang sekelam itu, apakah film ini menjadi tunduk akan situasi yang melatarbelakanginya? Menurut saya, tidak.
Dalam durasi 18 menit, Sebastián Valencia Muñoz, selaku sutradara menghadirkan mood yang hangat melalui kedekatan hubungan ayah dan anak, dalam perjalanan menuju taman rekreasi air – sebuah pendekatan yang membuat saya melupakan sejenak betapa kelamnya situasi di balik film ini. Dengan warna vibrant dan tampilan gambar ala handycam, film ini ingin menunjukkan Kolombia pada tahun 90-an, sebagai latar yang menyenangkan. Tidak adanya musik ilustrasi yang mendampingi filmnya, turut mengundang saya untuk lebih menikmati momen-momen perbincangan yang remeh temeh dalam mobil, bermain di kolam air, serta makan bersama, untuk menunjukkan afeksi yang apa adanya dalam keluarga kecil ini.
Kalau kata Andrés Suárez, programmer Bogoshorts atau Bogotá Short Film Festival, yang sempat menjadi guest speaker dalam program Hybrid Internship for Film Festival Writers pada 27 Juli silam; Zarzal mengingatkannya dengan film panjang Aftersun (Charlotte Wells, 2022) yang konon sempat populer di Kolombia, karena tema kedekatan ayah-anak, dan visual filmnya. Menariknya, selain vakansi dan perceraian, kedua film ini menunjukkan hal-hal yang tidak dibicarakan para ayah demi tidak menginterupsi kesenangan para anak.
Si ayah memilih diam atas kekerasan dan konflik bersenjata yang dia ketahui dan sembunyikan dari Jacobo. Meskipun si ayah menunjukkan sisi lembut dan penuh kasih pada anaknya, dia tidak bisa melepaskan dirinya dari gerak-gerik yang patut dicurigai oleh penonton. Ia boleh saja ditunjukkan sedang menanyakan keberadaan seseorang, atau berencana menghadiri sebuah pertemuan, namun bahkan hingga akhir, tidak benar-benar terjelaskan siapa sebenarnya si ayah, dan apa yang sebenarnya ia kerjakan. Bisa jadi ia adalah seorang bapak ora sare yang tidak tidur setelah mengantar Jacobo pulang, dan malah ikut terlibat dalam tindakan kekerasan dan konflik bersenjata.
Penyembunyian kejadian kelam yang terjadi selama perjalanan Jacobo dan ayahnya, juga dilakukan sang sutradara melalui penataan gambar dalam penyampaian dialog. Ia memanfaatkan kerentanan sebuah dialog, tanpa gambar yang mendukung. Pertanyaan tentang pembunuhan pastor, atau peristiwa pembantaian satu keluarga di pinggir jalan boleh saja muncul, tapi mayat mereka tidak pernah ditampilkan. Pembahasan si ayah dan rekannya tentang hal yang misterius pun, ditampilkan dengan long shot, serta shot yang terpotong. Atau ibu yang mencari anaknya yang hilang? Sepertinya hanya terdengar suaranya saja, tidak ditampilkan wajah sedih atau putus asanya. Pendekatan ini membuat saya menyadari keberadaan kekerasan dalam dunia film ini, tanpa perlu menyaksikannya.
Akan tetapi, penyembunyian tersebut berbanding terbalik dengan ucapan frontal Jacobo yang sempat saya singgung di awal tulisan. Jujur, pada kali pertama Jacobo mengucapkannya, hal ini cukup mengundang tawa, sebab terasa seperti komedi gelap yang diucapkan dengan begitu lugu. Namun kemudian, pengulangan tindakan yang terjadi membuat saya bertanya. Haruskah saya menertawai ini? Jacobo sering ditampilkan membicarakan hal-hal yang berbau kekerasan, mulai dari kematian pastor yang sadis, hingga ajakan kepada ayahnya untuk menabrak tukang sayur atau sapi dengan mobil – untuk dimakan. Jacobo tampaknya mengalami desensitisasi terhadap kekerasan, atau berkurangnya respon emosional seseorang terhadap kekerasan.
Fenomena serupa juga tampak pada masyarakat yang hidup di sekitar Jacobo dan ayahnya. Masyarakat ini terlihat ceria, dan hidup biasa-biasa saja – berjualan, bermain, bersekolah. Mereka ditampilkan menjawab pertanyaan tentang orang hilang, seakan menjawab pertanyaan biasa tentang alamat; menengok orang terbunuh, seakan menengok orang yang mengalami kecelakaan di jalanan. Konsep kekerasan seakan menjadi wacana yang begitu membumi. Tidak ada hal-hal yang begitu dramatis dalam film ini, hanya yang biasa, dan dibiasakan.
Rupanya, terlepas dari pilihan sang sutradara untuk membungkus kelamnya kondisi sosio-politik dengan pembawaan yang hangat, kisah ini tampaknya masih tidak bisa lepas dari hal kelam lainnya – tentang lingkaran setan yang terbentuk antara si ayah dan Jacobo, serta masyarakat di sekitar mereka. Si ayah yang melalui gelagatnya, terindikasi terlibat dalam tindak kekerasan dan konflik bersenjata, secara tidak langsung membentuk wacana tentang kekerasan, yang nantinya akan dibincangkan oleh anaknya dan masyarakat. Perbincangan tersebut, alih-alih dianulir atau dijelaskan oleh si ayah, malah dibiarkan begitu saja. Sebuah pola yang begitu kompleks dan berpotensi menimbulkan diskusi yang menarik pasca menonton.
Pembacaan di atas juga dapat diinterpretasikan melalui judul filmnya. “Zarzal”, adalah salah satu nama kota di Kolombia, tempat cerita ini kemungkinan berlangsung. Namun dalam bahasa Spanyol, bahasa resmi Kolombia, “Zarzal” juga berarti semak berduri atau semak belukar. Beberapa jenis semak berduri, seperti Lantana Camara, memiliki bunga yang indah, namun dapat merusak ekosistem karena sifat invasifnya yang mampu menumbangkan tanaman asli. Jika diabaikan atau dibiarkan begitu saja, tanaman ini dapat tumbuh liar dan tersebar dengan mudah melalui bijinya. Maka sejalan dengan konsep semak berduri ini, film pendek Zarzal (2022) dengan pembawaannya yang indah, menunjukkan sebuah fenomena dari pengabaian wacana tentang kekerasan, yang barangkali memiliki potensi untuk dilanggengkan atau dibiarkan tumbuh liar.
Namun, jika diizinkan untuk memaknai film pendek ini lebih sederhana, saya akan memilih shot pertama dan terakhirnya. Shot seorang pria dan anaknya yang mendorong gerobak; serta shot jalan yang tak tahu ada di mana, dan akan pergi kemana. Sebuah film tentang keluarga, serta hal-hal yang disembunyikan di baliknya.
Discussion about this post