Sebagai seorang perempuan, saya melihat pembicaraan mengenai perempuan seolah erat akan dua hal yang kontradiktif. Kekuatan dan sekaligus kerentanan. Konstruksi sosial yang patriarkis menihilkan ruang aman bagi perempuan, yang entah disadari atau tidak mampu meluruhkan kekuatan perempuan itu sendiri. Setidaknya sampai hari ini saya masih mempercayai bahwa film merupakan medium untuk menyatukan visi dan menjaga harapan, film pendek A Ride To Nowhere (2022) barangkali adalah salah satunya. Seorang perempuan pekerja yang mau tidak mau harus melalui hari-hari panjangnya bergulat dengan realitas. A Ride To Nowhere sendiri merupakan film pendek RWI (Raoul Wallenberg Institute) Asia Pacific Award Nominees 2022 untuk Minikino Film Week 8. Tulisan ini akan berupaya untuk melihat keadaan perempuan, khususnya perempuan pekerja hari ini di tengah hantaman lingkungan yang patriarkis.
Tentang Perempuan Pekerja
“Perempuan pekerja” paling tidak menyandang dua aspek identitas yang sarat akan kerentanan, “sebagai perempuan” dan “sebagai pekerja”. Kultur patriarki dan diskriminasi gender yang mengakar dalam tubuh masyarakat, seringnya menyebabkan eksistensi perempuan yang bekerja menjadi polemik. A Ride To Nowhere karya Khozy Rizal menyajikan kisah Ade, seorang pengemudi perempuan ojek online yang merasakan timpangnya perbedaan perlakuan yang diterima laki-laki dan perempuan dalam industri kerja yang didominasi oleh laki-laki. Misalnya saja terdapat dalam salah satu adegan di mana penumpang langsung membatalkan pesanannya begitu tahu Ade perempuan selepas Ade menelepon. Atau ketika penumpang laki-laki yang meminta agar Ade duduk di belakang saja meski Ade sudah berulang kali mengatakan ia pun pandai mengendarai motor. Pun seperti minimnya pesanan yang masuk kepada Ade jika dibandingkan dengan teman laki-lakinya.
Fenomena tersebut memperlihatkan apa yang terjadi pada perempuan pekerja hari ini, bahwa perempuan pekerja mengalami ketidakadilan berbasis gender. Perempuan masih tidak diakui dan dibatasi peran, pemikiran, dan perlakuannya. Seakan-akan apa yang dimiliki perempuan pada dirinya tidak bisa (tidak akan bisa) mengungguli apa yang dimiliki laki-laki. Ade hanyalah satu contoh, dari banyaknya ironi perempuan pekerja lain di luar sana.
Lain di luar, lain pula di dalam rumah. Saya cukup akrab dengan kalimat yang kurang lebih berbunyi seperti ini, “Udah udah, perempuan yang masak-masak aja. Laki-lakinya biar di luar”. Di luar dalam arti baik itu melakukan pekerjaan lain yang mengandung unsur “kelelakian” atau itu sekadar nongkrong, merokok, minum kopi, dan sebagainya. Dalam kasus saya, kalimat tersebut sering terdengar misal pada acara masak bersama teman-teman. Namun, tidak sekali atau dua kali saja saya mendengar kalimat serupa. Artinya, barangkali, yang entah disadari atau tidak, fungsi sosial perempuan dalam masyarakat mengimani nilai-nilai patriarki sebagai landasan dalam memandang perempuan.
Maka, perempuan pekerja juga kerap menanggung beban dan peran ganda baik itu sebagai pencari nafkah maupun pekerja domestik. Domestifikasi yang diterima Ade dalam A Ride To Nowhere terjadi ketika teman laki-lakinya mengolok-olok Ade yang memilih bekerja sebagai pengemudi ojek online alih-alih menikah dan bekerja di rumah. Kalimat-kalimat yang dilontarkan oleh laki-laki kepada Ade dalam A Ride To Nowhere seolah berbunyi lain, bahwa perempuan sebagai individu akan utuh atau lengkap bila ditempatkan di rumah dan melakukan kerja-kerja domestik.
Perjuangan Seumur Hidup untuk Kesetaraan
Tadinya, saya kira sub bab ini cukup diberi judul “perjuangan panjang untuk kesetaraan”, tetapi panjang itu sepanjang apa? berapa lama? apa satuan ukurnya? saya berkutat dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut sebelum akhirnya menemukan judul baru yang kurang lebih mampu menggambarkan bagaimana perempuan memperjuangkan kesetaraan hari ini.
Sebut saja seperti perjuangan kesetaraan terutama pada otoritas tubuh perempuan itu sendiri. Bahkan untuk hal seintim tubuh pribadi, perempuan kerap didikte sehingga tidak lagi memiliki kendali atas tubuhnya. Sementara narasi-narasi kesetaraan terus digaungkan dari waktu ke waktu yang menjadi perjuangan panjang dan atau bahkan seumur hidup.
Saya teringat dengan sebesar apapun usaha yang Ade lakukan dalam mengubah penampilannya menjadi “laki-laki” dan berhasil membuat penumpang duduk di belakangnya, Ade tidak betul-betul bahagia dengan panggilan barunya. Hening dan lamunan cukup panjang di akhir film menyisakan kegetiran tersendiri di benak penonton. Barangkali perjuangan memang tidak akan pernah betul-betul berakhir.
Sebagaimana saya mengawali tulisan ini, tidak banyak yang tersisa dalam perasaan saya selepas menyaksikan A Ride To Nowhere selain lelah berkepanjangan. Keputusasaan yang dirasakan Ade tidak hanya dialami oleh satu dua perempuan, melainkan juga banyak di antara mereka. A Ride To Nowhere selain hadir merekam realitas perempuan dan bagaimana masyarakat memandang perempuan hari ini, juga merupakan medium refleksi sekaligus pengingat bahwa barangkali, kita belum betul-betul melangkah ke depan. Terutama dalam mewujudkan kesetaraan yang bebas akan diskriminasi pada perempuan. Perjalanan mewujudkan perempuan yang memiliki kuasa atas dirinya, tubuh, ruang gerak, juga mampu menentukan keputusan-keputusan atas hidupnya merupakan usaha yang mesti terus dirawat dari waktu ke waktu.
Discussion about this post