“Those who do not remember the past are condemned to repeat it.”, kutipan masyhur dari seorang penyair, George Santayana tersebut seperti berusaha diingatkan kembali melalui program Indonesia Raja 2022: Daerah Istimewa Yogyakarta. Program ini mengangkat empat film dengan tema dan genre berbeda, dengan berbagai bentuk eksperimentasi cerita. Seperti yang dituliskan oleh Rasyid Faqih selaku programmer dalam catatan programnya, “keempat film ini memiliki suatu benang merah dari setiap isu yang diangkat yaitu: realitas”. Dalam hal ini, realitas yang dimaksud adalah latar waktu di masa pandemi dalam keempat film tersebut.
Realitas situasi pandemi menjadi topik penting karena berhasil membuat banyak orang merenungkan masa lalu, hari ini, dan bagaimana masa depan nanti. Seperti pengulangan peristiwa pandemi yang melanda dunia beberapa tahun sekali, konflik sosial, kelaparan yang terus terjadi, bahkan perang yang terus mengancam. Kita juga melihat dan mengalami sendiri bagaimana negara terpaksa menekan ruang gerak masyarakat selama pandemi Covid-19. Tidak jarang banyak kepentingan politik yang memanfaatkan situasi tersebut. Situasi yang seharusnya dapat mempererat hubungan antara negara dan rakyatnya, maupun antar masyarakat justru berbalik menjadi arena saling menjatuhkan.
Salah satu film dari program Indonesia Raja 2022: Daerah Istimewa Yogyakarta yang mencoba merefleksikan peristiwa ini dengan sejarah di masa lampau adalah Gerajak (Turmoil of the Season) karya Ezra Cecio. Film ini menurut saya menarik karena; pertama, secara isu, film ini mengangkat Gerakan Rakjat Kelaparan (Gerajak) yang merupakan sejarah sayap kiri di daerah Gunung Kidul yang perlahan mulai dilupakan pasca berkuasanya Orde Baru. Dan yang kedua, menarik melihat bagaimana filmmaker muda yang bukan berasal dari Gunung Kidul dan tidak mengalami langsung peristiwanya melihat Gerajak sebagai suatu hal yang masih relevan saat ini.
Film Gerajak, Pergerakan, dan Relasi Kuasa
Film Gerajak berusaha mengangkat peristiwa Gerajak di daerah Gunung Kidul dengan latar belakang peristiwa kekeringan, kelaparan, dan krisis pangan yang terjadi pada tahun 1963. Gerajak sendiri dibentuk oleh Barisan Tani Indonesia (anak organisasi Partai Komunis Indonesia) pada awal 1964 yang anggotanya terdiri dari kalangan Guru, Tani, dan Pamong Desa. Tujuan dari komite ini untuk membasmi apa yang D.N. Aidit sebut saat itu sebagai “Tujuh Setan Desa”: tuan tanah jahat, lintah darat, pengijon, tengkulak jahat, bandit desa, pejabat korup, dan kapitalis birokrat.
Dalam film ini, Ezra Cecio selaku sutradara berusaha mengambil pendekatan realis-magis dengan nuansa pewayangan (wayang orang) lengkap dengan narasi voice over seorang Dalang untuk membuka film ini. Sutradara juga mencoba menganalogikan intervensi politik saat itu dengan sosok Buto yang hadir di tengah-tengah beberapa boneka sawah dengan pakaian khas petani. Dengan menyirami butiran padi dan melumuri muka boneka-boneka petani ini dengan darah merah. Buto digambarkan seolah ia menyayangi dan mengayomi mereka semua dengan suatu “iming-iming”.
Analogi yang dilakukan sutradara menjadi masuk akal sebab, peristiwa Gerajak di Gunung Kidul merupakan anomali di dalam gerakan Tani. Karena di masanya PKI dianggap selalu berhasil dalam memobilisasi petani dan buruh. Gerajak adalah contoh dari kegagalan PKI yang sudah mulai keblinger kekuasaan dan berusaha menutupi kegagalannya sendiri yang justru berakhir dengan aksi kriminal. Apalagi hal tersebut terjadi tepat di dalam organisasi underbow PKI. Hal ini bisa terjadi karena hubungan petani dan tuan tanah di daerah feodal seperti Yogyakarta nyatanya lebih rumit dari yang dibayangkan oleh Partai, karena adanya relasi kuasa diantara penduduk yang terjalin dan mengakar secara adat sehingga sulit dipecah belah.
Tokoh Buto yang akhirnya menghancurkan boneka petani, dan meninggalkan mereka begitu saja ketika tahu bahwa selama ini yang mereka jarah justru kawannya sendiri. Seakan menyiratkan upaya “memerahkan petani” yang awalnya berhasil, justru berubah tidak terkendali ketika banyak anggota di dalam Gerajak sendiri perlahan keluar dari cita-cita politiknya. Mereka mulai melakukan penjarahan tidak pandang bulu, dan keluar dari misi-misi politis PKI yang akhirnya membuat Partai memutuskan untuk meninggalkan dan membubarkan Gerajak yang sebelumnya mereka dukung penuh sebagai alat politik.
Setelah Orde Baru berkuasa beberapa tahun setelah peristiwa Gerajak, banyak sejarah tentang gerakan sayap kiri berusaha dihilangkan. Sebagian peristiwa disetir ulang oleh rezim Soeharto untuk menempatkan PKI sebagai musuh negara. Narasi PKI sebagai bahaya laten dibangun melalui dua propaganda atas peristiwa besar yaitu PKI Madiun (1948) dan G30S (1965). Alhasil selama 32 tahun publik sulit sekali mendapat akses terhadap film, buku, dan dokumen yang berhubungan atau membahas tentang gerakan kiri secara objektif di Indonesia. Baru setelah tumbangnya Orde Baru, banyak upaya untuk menarasikan ulang peristiwa yang berkaitan dengan gerakan sayap kiri dalam berbagai sudut pandang. Film ini menjadi salah satu media yang bertujuan untuk memediasi publik terhadap peristiwa-peristiwa kelam bangsa di masa lalu yang selama ini selalu dijadikan “hantu” politik oleh Orde Baru.
Merefleksikan Sejarah Lewat Gerajak
Munculnya film-film (dokumenter dan fiksi) yang berangkat dari peristiwa di seputaran 1960-1965 dalam dua dekade terakhir seperti Mass Grave (2001), Jagal (2012), Senyap (2014), You and I (2021) dan sekarang Gerajak (2022) merupakan konter narasi terhadap film-film propaganda seperti Pengkhianatan G30S/PKI (1983). Selain itu, film-film ini juga jadi bukti adanya kehausan publik terhadap sudut pandang di luar narasi dominan terhadap peristiwa sejarah di masa lalu yang aksesnya selalu dilarang selama 32 tahun.
Selain juga membuktikan menguatnya kesadaran publik atas mediasi terhadap isu-isu sosial hari ini yang sebenarnya juga pernah terjadi dan tidak pernah terselesaikan oleh negara. Fenomena kemunculan film-film sejenis ini akhirnya merupakan suatu statement dan ajakan kepada publik untuk lebih bijak menyikapi dan menghayati sejarah. Terlebih bagaimana kita memaknai dan memutus rantai dendam sejarah agar peristiwanya tidak terulang lagi.
Sehingga dari beragam kecenderungan tersebut, saya memaknai pentingnya kehadiran film Gerajak di masa sekarang, selain menambah diskursus tentang pentingnya membaca kembali sejarah seperti peristiwa Gerajak yang selama ini kurang terdokumentasikan dengan baik. Ia juga berperan penting dalam menyajikan suatu statement, gugatan, dan sindiran politis atas politik kepentingan sejak pertama kali pandemi covid-19 menyebar dua tahun lalu. Politik kepentingan yang sama tidak bertanggung jawab nya seperti yang dilakukan elit partai PKI saat terjadi pada peristiwa Gerajak.
Dua peristiwa tersebut, Pandemi Covid-19 dan Gerajak sama-sama membuat saya mempertanyakan “Siapa yang akan menanggung korban jiwa yang berjatuhan akibat kelaparan dan penyakit?” dan “Apa kompensasi yang didapatkan oleh rakyat (yang masih bertahan hidup) setelahnya?” Dua pertanyaan yang jawabannya masih misteri sampai sekarang. Kehadiran narasi voice over dalang seolah sedang memainkan wayang di awal dan akhir film Gerajak terdengar getir dan penting.
Walaupun sosoknya tak nampak, seorang Dalang dalam tradisi pewayangan sendiri bukan hanya sekedar narator dan pencerita. Dalang dalam budaya Jawa dipercaya sebagai mediator antara dunia manusia dan dunia roh. Kehadirannya dalam film ini adalah jawaban atas kegelisahan dan pertanyaan yang muncul. Dalang berlaku bagai Syaman, yang memiliki akses dan dapat mempengaruhi roh-roh baik dan jahat yang merasukinya selama pertunjukan/ritual. Ia melakukan peramalan, penyembuhan, dan menentramkan suasana. Begitulah film Gerajak merefleksikan masa lalu, dan akhirnya menjelma sebuah pernyataan politis yang relevan dengan situasi pandemi saat ini. Lebih dari itu, film ini juga menjadi satu dari sedikit usaha mediasi publik lewat “roh jahat” seperti yang digambarkan sutradara melalui tokoh Buto yang dianggap hadir, menghasut, lalu meninggalkan rakyat kelaparan begitu saja.
Discussion about this post