Sebagai bagian dari program Hybrid Internship for Film Festival Writers yang diadakan oleh Minikino, saya berkesempatan mengikuti berbagai sesi dengan pembicara tamu yang datang dari berbagai latar belakang—mulai dari industri film pendek sampai sirkuit festival internasional. Artikel ini merangkum salah satu sesi tersebut bersama pembicara tamu Gregory Coutaut, penulis untuk Le Polyester—sebuah situs film berbahasa Prancis yang memuat wawancara dan liputan festival film. Dalam diskusi kami, kami membahas tentang subjektivitas dalam seni, ekonomi di balik proses sulih suara, dan pentingnya menulis dalam bahasa ibu.
Satu pertanyaan utama yang ingin saya jawab lewat partisipasi dalam program ini adalah mengenai peran saya sebagai penulis. Apa sebenarnya yang saya capai dengan menulis tentang film, khususnya film pendek, festival film, dan industri di sekitarnya? Bagi Gregory dan Le Polyester, yang kerap menjadi satu-satunya media berbahasa Prancis di berbagai festival film, jawabannya cukup jelas. Mereka menulis dalam bahasa Prancis untuk memastikan adanya keberagaman opini dalam media film, karena mayoritas artikel tentang film ditulis dalam bahasa Inggris dan dari sudut pandang dunia Anglophone. Berangkat dari pemikiran ini, saya mulai mempertanyakan pendekatan saya sendiri, sebagai orang Indonesia yang lebih nyaman menulis dalam bahasa Inggris, dan menemukan bahwa ada empat pendekatan yang selama ini saya jalani dalam menulis tentang film.
Menulis Ulasan dan Analisis Film
Pendekatan pertama adalah sebagai penulis ulasan film, seperti Roger Ebert dan David Ehrlich yang menulis untuk surat kabar. Biasanya, film yang mereka ulas adalah film panjang komersial, dan tujuannya adalah untuk membantu penonton sebagai konsumen: film mana yang layak ditonton atau dibeli tiketnya. Maka, bentuk tulisannya pun disesuaikan dengan fungsi tersebut: daftar kelebihan dan kekurangan film, lengkap dengan sistem penilaian bintang. Format ini sangat cocok untuk membimbing pembaca dalam memilih film di bioskop. Namun, pendekatan ini terasa kurang relevan untuk film-film art-house dan film pendek yang tidak memiliki dukungan promosi sebesar film komersial.
Pendekatan kedua adalah sebagai penulis analisis—mereka yang melihat film sebagai wahana ide. Dahulu saya merasa berada dalam kelompok ini. Minat utama saya saat menulis tentang film adalah “membaca” film sebagai teks—seperti yang biasa dibahas di jurusan Sastra Inggris tempat saya kuliah. Misalnya, saat menulis tentang Princess Mononoke (1997, Hayao Miyazaki), saya akan membahas pengaruh ajaran Shinto dalam naskahnya, atau etika pribadi Miyazaki yang tercermin dalam film tersebut.
Saya masih menganggap pendekatan ini sangat menarik, tetapi kini pemahaman saya tentang apa saja yang layak dianalisis menjadi lebih luas. Misalnya, konteks produksi dan distribusi film juga bisa menjadi kajian yang sarat makna budaya. Hal-hal ini kompleks, memancing pemikiran, dan sangat layak untuk ditelaah lebih jauh.
Dalam salah satu sesi sebelumnya, saya berdiskusi dengan pembicara tamu Aditya Assarat tentang usahanya mendanai produksi film melalui Purin Pictures. Dari situ saya menyadari bahwa produser juga memegang peran besar dalam menentukan cerita seperti apa yang bisa sampai ke layar lebar—peran mereka bahkan bisa jadi lebih besar dari penulis naskah dan sutradara. Mereka bisa mendorong genre tertentu, latar budaya tertentu, dan membuka ruang bagi seniman yang mungkin tidak punya akses pendanaan. Saya dulu mengira produser hanyalah orang bisnis tanpa sisi seni (mungkin karena terbiasa dengan film komersial), tetapi ternyata mereka jauh lebih menarik daripada itu.
Demikian pula dengan festival film—mereka adalah medium dengan identitas dan gagasan tersendiri. Misalnya, Tampere Film Festival yang mencetak materi promosinya tanpa mencantumkan tahun penyelenggaraan agar bisa digunakan ulang. Dalam salah satu sesi, Riina Mikkonen—direktur eksekutif dan programmer di Tampere—bercerita bahwa inisiatif keberlanjutan ini mendorong peserta festival berpikir dan berdiskusi tentang gaya hidup berkelanjutan. Festival film ternyata juga bisa memicu dialog dan membentuk identitas unik, sama seperti film itu sendiri.
Film Pendek sebagai Karya Unik
Pendekatan ketiga adalah sebagai kritikus film—berbeda dari pengulas film. Saya selalu ingin menjadi seperti Varda, Truffaut, dan Rohmer—tokoh-tokoh film Prancis yang menulis tentang film sebagai bentuk seni dan membentuk dasar teoretis cara kita membicarakan sinema. Teori auteur, cinéma vérité—gagasan-gagasan besar yang pertama kali muncul sebagai esai di Cahiers du Cinéma sebelum kemudian diwujudkan lewat gelombang French New Wave. Mereka menulis karena cinta pada sinema dan keyakinan bahwa film layak mendapat tempat sejajar dengan teater dan sastra.
Mungkin Gregory terlalu rendah hati untuk mengakuinya, tapi kehadirannya sebagai penulis berbahasa Prancis tentunya akan diperhatikan karena Prancis memiliki sejarah panjang dalam perkembangan teori film. Orang-orang menghargai opini dari budaya yang melahirkan gagasan seperti auteurism dan death of the author.
Saya merasa punya kesamaan kecil dengan para idola yang saya sebut barusan, yaitu ketika menulis tentang berbagai bentuk sinema yang ada—salah satunya film pendek. Film pendek punya model ekonomi yang berbeda dari film panjang komersial maupun art-house. Karena durasinya singkat, biasanya ditayangkan dalam satu program bersama film-film pendek lain. Ini menciptakan kemungkinan baru dalam pengalaman menonton. Misalnya, satu film mengekspresikan kesepian lewat gambar gelap dan audio yang tak sinkron, lalu film berikutnya menggunakan teknik yang sama untuk menggambarkan kebingungan. Karena ditonton secara berurutan, penonton bisa lebih peka terhadap niat dan teknik para pembuatnya.
Kalau perjuangan kritikus era French New Wave adalah agar sinema dipandang sebagai seni yang serius, maka perjuangan kritikus film abad ke-21 adalah memastikan bahwa keragaman bentuk sinema juga mendapat pengakuan. Masih ada anggapan bahwa film pendek hanyalah “batu loncatan” sebelum membuat film panjang. Pandangan ini sudah lama ditinggalkan di seni lain—penulis dihargai atas cerpen mereka, musisi atas single-nya, bukan hanya novel dan album. Pengakuan terhadap film pendek sebagai karya seni sudah tumbuh di festival-festival film pendek dan beberapa bagian industri, dan sebagai penulis, tugas kita adalah menyebarkan pemahaman ini serta membentuk kosa kata yang mendukung apresiasi tersebut.
Penulis Festival dan Aksi Menunjuk
Saya percaya hampir semua orang pernah merasakan dorongan untuk “menampilkan dan bercerita”. Entah menunjuk awan dengan bentuk unik sambil berkata, “Lihat!” atau mengajak teman ngobrol tentang buku bagus yang baru dibaca. Dari situ, biasanya muncul pertanyaan lanjutan: “Memangnya apa yang kamu suka dari itu? Apa yang membuatnya menarik?”
Gregory Coutaut membuat paralel kegiatan menulis tentang film dengan penerjemahan. Kita berusaha menerjemahkan ide dan emosi dari satu bahasa ke bahasa lain. Misalnya, menulis artikel sepanjang 800 kata untuk menggambarkan pengalaman menonton program film pendek. Kita mencoba menyampaikan makna, emosi, dan mungkin pentingnya karya tersebut. Hasilnya tentu takkan pernah sempurna, karena seperti terjemahan, sebuah tulisan tak akan bisa menggantikan pengalaman langsung. Tapi bukan berarti tulisan tersebut tidak bernilai. Tulisan ini tetap bisa berdampak.
Gregory juga menyamakan kegiatan ini dengan kurasi program film pendek—yakni menyusun dan menyajikan karya-karya menarik dengan cara yang membuat penonton dapat mengapresiasinya. Untuk saat ini, pendekatan itu yang paling bermakna bagi saya: melihat diri saya sebagai penerjemah, dan tulisan saya sebagai bentuk penerjemahan. Sebuah jembatan antara dunia sinema dan dunia pembaca; sebuah upaya menjadikan pengalaman festival film lebih mudah diakses oleh mereka yang membaca dari kejauhan atau dari masa depan; dan semoga, membantu pembaca memahami sedikit lebih dalam tentang ekspresi seni dalam medium yang berbeda.
editor: Fransiska Prihadi
Discussion about this post