Ada alasan mengapa Aceh dan Padang Panjang dijuluki sebagai “Serambi Mekkah”, sebuah julukan yang akrab di telinga masyarakat Indonesia selama ini. Yang sebenarnya merujuk kepada sejarah hadirnya kepercayaan dan syariat Islam yang sangat mendominasi dan sudah mengakar secara adat istiadat di wilayah tersebut sejak pertama kali Islam hadir di Nusantara. Di sinilah juga budaya Islam mulai disebarkan, dan di sinilah juga terjadi pemberontakan yang dilatar belakangi oleh agama dan suku selama masa Orde Baru.
Latar belakang histori, budaya, dan politis yang kita pahami terhadap Sumatera yang sangat mendasar inilah kemudian yang berusaha diuji dan diprovokasi oleh Akbar Rafsanjani dan Wahyudha, dua programmer film dalam Program Indonesia Raja 2022 Aceh dan Padang Panjang, seperti yang tersematkan dalam catatan program mereka: “Film-film pendek yang terpilih tahun ini mengundang penontonnya untuk membaca tafsiran yang berbeda dari narasi arus utama tentang budaya, agama, dan perempuan”. Unsur budaya, agama, dan perempuan menjadi tiga elemen penting yang akan menjadi pembeda dari narasi arus utama yang memposisikan diri sebagai kontra narasi terhadap konservatisme.
Sebenarnya polarisasi ini selalu mewarnai sejarah Indonesia, namun fenomena terbaru dalam masyarakat kita bisa dilacak sejak terjadinya Pilpres 2014 dan 2019 tuduhan konservatisme disematkan pada mayoritas organisasi Islam. Yang selama ini sering digunakan oleh elit politik menjelang pesta demokrasi sehingga membuat mereka perlahan mulai mendapat tempat penting dalam gejolak politik di Indonesia kembali pasca reformasi. Narasi tersebut akhirnya bergulir secara sistematis dan berakhir menjadi narasi “arus utama” melalui berbagai medium dari televisi, hingga sosial media yang kemudian cenderung mengarahkan opini masyarakat untuk kontra terhadap narasi konservatif sehingga dalam beberapa kasus berhasil memicu konflik terbuka di ruang publik.
Empat film pendek dalam Program Indonesia Raja 2022 Aceh dan Padang Panjang ini kemudian menjadi sangat penting dan relevan posisinya karena berusaha untuk melihat dan membuka diskusi tentang bagaimana sebenarnya daerah yang selama ini memiliki budaya Islam sangat kuat, dan hari ini dianggap konservatif melihat segala persoalan sosial. Yang banyak dari persoalan itu mungkin sulit untuk masuk pada narasi arus utama yang mengidam-idamkan progresifitas dalam masyarakat hari ini, beberapa justru masih dianggap tabu, dan sisanya selalu diperdebatkan. Bahkan beberapa isu hampir tidak pernah terdengar sama sekali.
TAREK PUKAT (Muhammad Ammar Roofif, 2021)
Tarek Pukat sendiri adalah budaya nelayan di pesisir Banda Aceh ketika sedang menjala ikan di sore hari. Film Tarek Pukat yang disutradarai oleh Muhammad Ammar Roofif ini memperkenalkan kita kepada kehidupan para nelayan di pesisir tempat budaya Tarek Pukat itu sendiri lahir. Ironinya, hari ini justru harus berjuang mati-matian untuk bertahan hidup saat pemerintah juga ingin meminimalisir budaya Tarek Pukat dengan dalih “modernisme sektor perikanan”. Alasan yang kemudian melegalisasi intervensi para pemilik modal ke batas-batas laut milik para nelayan tradisional.
Dalam kasus di film ini, kita dapat melihat dari sudut pandang para nelayan bagaimana para pemilik modal dan korporasi merasa harus berkuasa atas alat produksi dan sumber daya. Supaya dapat menguasai semua itu perusahaan harus memiliki alat yang lebih efektif, yaitu kapal-kapal modern dan peralatan lebih yang eksploitatif daripada milik para nelayan dengan budaya Tarek Pukatnya. Belum cukup sampai situ, mereka harus menaklukkan, mendominasi, dan merampas garis laut para nelayan untuk mendapatkan hasil ikan lebih banyak sehingga membuat para nelayan tidak lagi mendapat ikan yang cukup seperti dahulu. Sikap-sikap mendominasi, menaklukan, merampas itu mengingatkan saya dengan nilai-nilai dominan dalam konstruksi maskulinitas hegemonik (keyakinan, stereotip tentang laki-laki yang harus superior, dominan, dan berkuasa atas orang lain dan segala sesuatu). Unsur ini diperkuat ketika di antara mereka ternyata juga ada andil aparat negara yang ikut serta dalam merampas ikan milik nelayan dan seperti ujar para narasumber di dalam film bahwa hal tersebut sering sekali terjadi saat malam hari.
Di samping itu, Tarek Pukat hingga hari ini masih dianggap sebagai warisan budaya dari Banda Aceh yang bahkan menginspirasi salah satu tarian tradisional dengan nama yang sama, malah tarian tersebut lebih terkenal daripada perjuangan para nelayannya. Hal ini bisa nampak dari banyaknya media massa yang lebih sering melihat Tarek Pukat sebagai nama suatu tarian, daripada budaya nelayan di pesisir pantai Banda Aceh sehingga jarang sekali masalah antara nelayan dan para pemilik modal di pesisir ini muncul di linimasa kita.
Semua hal tersebut membuat film Tarek Pukat sangat krusial posisinya untuk memberi sebuah statement kepada masyarakat dan terkhususnya Pemerintah bahwa Tarek Pukat saat ini bukan lagi sekedar eksotisme daerah yang selalu bisa dieksploitasi melalui sektor pariwisata demi meningkatkan pendapatan daerah saja, namun juga sudah masuk pada ranah krisis sosial di wilayah Banda Aceh yang harus diperhatikan dan ditangani lebih serius. Sebab sejatinya kapitalisme dan maskulinitas hegemonik akan selalu beriringan. Jika ia tidak segera diselesaikan maka seperti halnya sifat maskulin hegemonik itu sendiri, ia akan selalu berakhir dengan konfrontasi dan kekerasan fisik seperti yang sering kita saksikan.
IBU (Rici Viondra, 2021)
Histori pasca-kolonial di Indonesia mewariskan pemahaman tentang kerajaan dan kesultanan yang sangat identik dengan sistem patriarkis, jarang sekali kita mendengar adanya seorang Ratu dari salah satu kerajaan di Nusantara terlebih saat pengaruh Islam menguat. Sistem patriarkis ini bahkan masih diwariskan secara turun temurun, terutama di dalam keluarga dan memiliki pengaruh besar dalam sosial dan politik kita hari ini.
Film kedua dalam program ini IBU karya sutradara Rici Viondra berusaha memprovokasi pemahaman keluarga patriarkis dan sistem maskulin hegemonik yang tertanam di dalam kepala penonton, melalui falsafah serta peran seorang perempuan dewasa di sebuah keluarga dalam tradisi Minangkabau. Bercerita tentang seorang Ibu yang sudah terbiasa tinggal sendiri tiba-tiba harus menerima kehadiran anak lelakinya beserta istri dan cucu di rumahnya lagi tanpa tahu bahwa anaknya sendiri justru memiliki maksud lain untuk mengambil alih rumah tersebut.
Di Minangkabau sendiri ada istilah Bundo Kanduang yang diimplementasikan di berbagai aspek kehidupan masyarakat yang matrilineal bahkan mempengaruhi bentuk falsafah arsitektur bangunan di daerah tersebut. “Bundo kanduang limpapeh rumah nan gadang” adalah pepatah terkenal dalam budaya Minangkabau yang menggambarkan bagaimana perempuan dewasa yang sudah menikah dan beragama Islam dianggap derajatnya sangat tinggi untuk memimpin, mengatur, serta memutuskan semua hal terkait nasib hidup anak-anak serta cucunya. Derajat yang tinggi inilah juga yang membuat wanita berperan penting sebagai pewaris dan penjaga pusaka di dalam keluarga yang akhirnya membuat keputusan seorang Ibu sangatlah krusial di dalam rumah. Walau tidak bisa dipastikan sejak kapan budaya ini mengakar. Jejak budaya ini bisa kita lihat dari Singgasana Bundo Kanduang di Rumah Gadang/Istana Pagaruyung di Minangkabau yang menjadi bukti bahwa perempuan pernah menjadi penguasa di wilayah Minangkabau.
Disaat banyak kerajaan dan kesultanan di Nusantara sangat memelihara tradisi patriarkis, yang tentu saja budaya tersebut masih diturunkan melalui berbagai aspek hidup masyarakat saat ini. Di Minangkabau hal yang sebaliknya sudah dilakukan sejak lama, dan masih diterapkan terutama pada kehidupan berumah tangga. Yang mana sangat berhasil ditampilkan oleh Rici Viondra dengan menempatkan sosok Ibu yang rela dan berbesar hati untuk mengalah serta berkorban demi anak dan cucunya, walaupun ia tahu akan kehilangan kedudukannya sebagai seorang pemimpin keluarga di dalam rumah. Sebenarnya scene ini berusaha menggambarkan kondisi terkini tradisi matrilineal yang terancam punah disaat budaya patriarki sendiri juga sudah mulai menguat di wilayah Minangkabau terutama karena semakin banyaknya pengaruh budaya baru yang masuk melalui keterbukaan informasi, migrasi (karena faktor ekonomi dan sosial), dan tentu saja perkawinan antar suku.
Beberapa faktor tersebut akhirnya membuat sutradara lebih suka menutup film Ibu, tanpa kehadiran seorang Ibu.
SEMUA KARENA CINTA (Beni Arona, 2021)
Faktor migrasi sangat penting dalam mendeskripsikan budaya di Sumatera hari ini, karena migrasi desa-kota ataupun sebaliknya selalu akan menimbulkan timbal balik baru dalam budaya di masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan salah satunya dalam cara berpikir dan memaknai sesuatu. Dalam film Semua Karena Cinta, Beni Arona mengajak kita melihat kembali Tsunami yang melanda daerah Aceh pada tahun 2004 dari sudut pandang seorang keluarga pendatang. Alfi yang memiliki trauma setelah kehilangan sang Ibu pada tragedi Tsunami di masa lalu, lantas memiliki hubungan yang renggang dengan Ayahnya sendiri. Walau keduanya berasal dari daerah Medan keterikatan mereka dengan Aceh mulai dipertanyakan oleh Alfi, sebagai suatu tindakan yang kontradiktif sebab jika mereka orang Medan, apa tuntutan baginya kini untuk menetap terus di Banda Aceh? Bukankah lebih baik kembali pulang ke Medan bersama keluarga besar. Pertanyaan tentang keterikatan budaya ini menjadi konflik yang menghantarkan karakter dalam memahami Ayahnya juga budaya dan bentuk-bentuk lain dari ikatan manusia terhadap suatu daerah yang tidak hanya ditentukan oleh di mana ia lahir, atau apa suku dari leluhurnya.
Tsunami akhirnya menjadi topik penting bagi sutradara untuk memancing permasalahan dalam film ini sampai akhirnya membuat saya bertanya-tanya, mengapa harus Tsunami? Dan bagaimana sebenarnya warga Banda Aceh memaknai tragedi tersebut hari ini?
Dan untuk menjawabnya, kita harus ingat bahwa Tsunami tahun 2004 lah yang akhirnya berhasil mengakhiri konflik berdarah di daerah tersebut setahun kemudian. Sebelumnya konflik tersebut dilatarbelakangi oleh perbedaan ideologi dan penolakan terhadap para pendatang terutama dari pulau Jawa, menyebabkan kecemburuan sosial dan melahirkan gerakan separatisme di masa Orde Baru. Konflik Aceh menurut Komnas HAM memakan korban jiwa hingga 15.000 orang sejak 1976-2005 sampai akhirnya bencana Tsunami hadir sebagai momentum bagi GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dan Pemerintah Republik Indonesia untuk duduk di meja perundingan dan menandatangani perjanjian Helsinki di Finlandia untuk mengakhiri konflik pada tanggal 27 Februari 2005. Yang kemudian memiliki pengaruh besar tidak hanya secara politis namun juga bagaimana masyarakat di Banda Aceh dapat berkembang hari ini.
Apa yang terjadi dengan Alfi dan Ayahnya dalam film ini adalah contoh fenomena sederhana yang terjadi di sekitar masyarakat Banda Aceh yang mengungkap bahwa tragedi Tsunami masih mempengaruhi cara masyarakatnya bertindak, berpikir, dan memahami bahkan hingga setelah 18 tahun berlalu. Walaupun Tsunami akan selalu membuka luka dan duka terhadap orang-orang yang meninggalkan mereka lebih dahulu saat itu, disaat bersamaan juga memberi kesempatan serta pelajaran kepada masing-masing orang untuk merenungkan segala pertentangan yang terjadi untuk bisa berdamai dan bersama sebagai sesama manusia dalam segala kondisi yang ada terlepas dari perbedaan suku, ras, dan agama. Sehingga disanalah terbentuk ikatan baru antara penduduk asli maupun pendatang dengan wilayah dan budaya Aceh itu sendiri.
MANYALAK (Rere Reza, 2021)
Seperti yang sempat dibahas di beberapa film sebelumnya, kehadiran pendatang baru selalu menimbulkan konflik dalam proses akulturasi yang terjadi, selain faktor ekonomi, sosial, ataupun ras, konflik di seputaran Agama kerap muncul karena kuatnya akar budaya Islam di wilayah ini. Film dokumenter pendek Manyalak karya sutradara Rere Reza menutup program ini dengan menyajikan pertentangan antara budaya dan agama yang sangat kuat di wilayah Minangkabau, Sumatera Barat. Polemik tersebut terjadi karena beberapa masyarakat adat masih memelihara anjing untuk mereka ajak berburu babi yang dianggap sebagai hama atau orang Minang sering sebut aktivitasnya sebagai “babughu kondiak”, sementara mereka menyadari bagi para muslim pendatang atau bahkan diluar wilayah Minang hal tersebut dianggap tabu.
Tidak ada yang tahu sejak kapan Anjing bersahabat dengan orang-orang Minang, namun usia hubungan itu seumur dengan suku Minang itu sendiri, setidaknya jejak hubungan mereka dapat dilacak hingga masa Kerajaan Pariangan. Babughu Kondiak sendiri bagi orang Minang dianggap sebagai ajang olahraga sekaligus pembasmian hama. Di sana beberapa anjing akan dilepaskan di tengah ladang, sawah, atau hutan untuk saling berebut babi hutan yang nampak berkeliaran. Anjing yang paling cakap dalam merobek dan mengoyak si babi hutan biasanya akan mendapat apresiasi lebih atau bahkan terjadi perpindahan tangan pemilik setelah berburu.
Dalam film ini justru kita mampu melihat bahwa pemahaman orang asli Minang terhadap posisi anjing dalam lingkungan bermasyarakat Muslim hari ini cukup progresif yang diperlihatkan lewat beberapa scene para penduduk yang merawat anjingnya lebih rajin ketimbang merawat diri sendiri, dan hal tersebut memang diakui sendiri oleh mereka. Walau begitu kita juga tidak bisa mengatakan bahwa budaya ini melanggar syariat, karena para ulama memiliki alasan kuat bahwa dalam syariat Islam tidak pernah ada larangan memelihara Anjing, apalagi jika alasannya untuk membasmi hama seperti babi. Sementara dalam hadits juga dijelaskan walaupun air liur anjing termasuk kategori najis mughaladah (najis besar) ia tetap bisa dibersihkan dengan berwudhu menggunakan air dan pasir sebanyak tujuh kali.
Lantas mengapa sikap pro dan kontra terhadap budaya masyarakat Minang ini masih bisa terjadi jika dalam agama itu sendiri bahkan tidak ada larangannya? Jawabannya adalah, kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat Indonesia tentang animal rights, di dunia akademis maupun agama. Terlebih secara umum masyarakat masih menerapkan paradigma antroposentrisme, yaitu pemahaman bahwa manusia merupakan spesies paling penting dan lebih terpusat daripada hewan. Dan sudut pandang ini sangat kuat karena bukan hanya kepada hewan namun juga persoalan keragaman hayati dan seluruh ekologi yang ada di bumi. Sehingga manusia selalu memandang diri mereka lebih tinggi derajatnya daripada hewan, yang akhirnya menyebabkan animal rights tidak memiliki urgensi yang sama seperti human rights dalam persepsi masyarakat secara umum.
Hal ini ditambah rumit dengan fenomena Arabisasi di Indonesia yang sebenarnya sudah ada kehadirannya sejak 1980 an namun terasa semakin menguat hari ini pasca polarisasi politik 2014, yang kehadirannya mulai diwaspadai pemerintah melalui pelarangan berbagai macam organisasi yang dianggap melakukan usaha-usaha Arabisasi dan sering menimbulkan distorsi pemahaman selain antara “kafir” dan “non-kafir”, juga antara mana yang “suci” dan “haram”. Sehingga masyarakat terbiasa melihat dan menilai segala permasalahan hanya sebatas hitam dan putih saja termasuk dalam persoalan anjing.
Melalui sekelumit masalah tersebut, Rere Reza melalui film Manyalak hadir dan memposisikan diri untuk memprovokasi pemahaman kaum muslim di Indonesia terutama dalam memaknai apa yang diharamkan dan apa yang tidak diharamkan dengan sangat vulgar melalui wawancara langsung para pemilik Anjing dan para ulama di Minangkabau. Narasi yang sengaja dibuat oleh Reza, bukan saja kontra terhadap narasi arus utama yang baru ada dan ramai belakangan ini, namun juga narasi utama yang sudah tertanam dalam benak masyarakat Indonesia secara turun temurun.
Melalui keempat film dalam program ini, kita mampu melihat bagaimana sinema menjadi kekuatan yang sarat ekspresi dari suatu kelompok masyarakat yang marah, melawan, sedih, dan bahagia bersama-sama. Aceh dan Padang Panjang mungkin hanya satu dari sekian banyak wilayah yang dalam sejarahnya sering mengalami represi, diskriminasi dan bencana alam. Namun semua tragedi itu tidaklah membuat mereka menyerah dan justru menjadi retrospeksi dalam melihat masa depan yang lebih baik. Film-film ini kemudian hadir dari mereka sebagai bukti bahwa semangat, harapan, dan perlawanan akan tetap hidup di hari ini dan masa depan.
Discussion about this post